Setelah merasa kondisi tubuh jauh lebih baik, Livy bergegas mengunjungi mansion Torres. Ia tidak menggunakan bus, melainkan El sengaja memerintah sopir pribadi untuk mengantarnya ke kediaman keluarga. Pria itu mengkhawatirkan kondisi Livy, karena wanita ini bersikeras menyampaikan vitamin secara langsung.Dalam perjalanan menuju mansion, Livy melamun sebab El secara terang-terangan berharap dirinya hamil. Bahkan lelaki itu menjanjikan masa depan yang manis dan indah. Diikuti ancaman Tuan Fabregas terus menggaung dalam kepala.“Nona, kita sudah sampai.” Sopir pribadi membuka pintu penumpang, namun Livy bergeming, pandangannya lurus ke depan. “Nona Fabregas? Apa Anda memerlukan sesuatu?” sambungnya.“Oh, terima kasih Pak.” Livy menginjakkan kaki di halaman mewah itu. Degup jantungnya bertambah kencang karena berani menemui Sonia, lagi pula ia hanya menjalankan perintah sang ayah. Sebelumnya Livy telah mengirim pesan pada kakak angkatnya, tetapi tidak dibalas.Di sana, ia disambut oleh
Satu jam sebelumnya di tempat berbeda, dua pria saling berhadapan, sorot intimidasi terpancar dari keempat mata. “Aku dengar Tuan Lorenzo berkerja sama dengan istriku? Ah lebih tepatnya … Sonia.” El berdiri tepat di depan meja kerja Kepala Tim Redaksi. “Boleh aku duduk?” sambungnya.Tanpa menginjakkan kaki di Torres Inc, El langsung menuju kantor media pemberitaan. Di sana ia ingin menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. “Silakan Tuan Torres, anggap saja ruang kerja Anda,” tutur pria yang seumuran dengannya. El duduk dengan menumpuk satu paha di atas paha satunya. Ia mengangkat dagu dan memperhatikan ruangan yang cukup nyaman, lalu mengangguk dan berdeham. “Aku pikir tidak etis kantor media sebesar ini memberitakan kebohongan. Katakan padaku apa yang dijanjikan istriku … ah maksudku Sonia?” Bola mata biru safir El menatap tajam.Sedangkan pria di depannya mengerutkan kening tampak berpikir, namun El lebih dulu memberi pengingat. Presdir Torres Inc meletakkan ponselnya ke atas meja,
“Livy? Katakan dengan jujur, anak itu milikku ‘kan?” El mengangkat dagu adik ipar yang menunduk. Pria ini menanti jawaban, meskipun hati kecilnya membenarkan. Namun, wanita di depannya hanya diam saja. Livy mengatup rapat mulut, kedua matanya berubah buram akibat dipenuhi kristal bening. Kata-kata untuk menjawab tertahan di bibir, lidahnya terasa kelu, seolah daging tak bertulang itu diikat dan ditarik ke belakang. Pikirannya berkecamuk, ia takut pada ancaman Tuan Fabregas. Livy bukankah cenayang yang bisa meramal kejadian di masa depan, ia hanya waspada dari kondisi tak terduga.“Livyata? Sayang?” El mengelus puncak kepala wanitanya, lantas membawa Livy ke dalam pelukan, membelai sepanjang tulang punggung . “Apa ada seseorang yang mengancam? Siapa? Sergio? Aku bisa melindungimu.”Mendengar kata-kata menenangkan hati, Livy tertegun lalu menyentuh perut ratanya. Ia menelan ludah sembari memejamkan mata, mencari kekuatan. Kemudian menggeleng pelan, sebagai jawaban dari pertanyaan El ya
“Menurutmu apa aku harus diam saja?” El membalas tatapan mata Livy.“Entahlah aku bingung, aku belum siap ayah mengetahui kalau janin dalam kandunganku ini …”“Jangan berpikir macam-macam biar aku saja. Kamu fokus pada kehamilanmu, aku mencintamu Livyta.” El mengabsen wajah mulus kekasihnya, tidak jemu memandang dan menyentuhnya.Malam semakin larut, sepasang kekasih itu terlelap dengan nyenyak, bahkan Livy merasa nyaman berada di pelukan El. Kini ia yakin keputusannya memberitahu kebenaran pada El bukan suatu kesalahan. Keduanya terbangun cukup siang, setelah mentari mulai menunjukkan sinarnya. Bahkan dua kali perawat yang hendak masuk mengurungkan niat, selain pintu yang terkunci, dua pasang kaki saling bertumpuk di atas ranjang pasien.“Selamat pagi sayang. Aku pikir mimpi, terbangun di samping bidadari, ternyata ini kenyataan,” goda El mencolek dagu kekasihnya. Menjadikan pipi tirus Livy bersemu merah, belum juga nyawanya terkumpul sudah digoda seperti ini. Ia langsung membayangk
Sementara itu di tempat berbeda, tepatnya di salah satu apartemen mewah seorang pria baru saja terbangun dari tidurnya. Sergio membuka mata karena mendengar suara tangis bayi yang tidak bisa berhenti.“Astaga Karla di mana ibumu? Kenapa kamu sendirian di sini?” Sergio segera menggendong bayi malang itu dari atas kasur lantai. “Bisa-bisanya dia meninggalkan anakku,” sambung pria dengan rambut berantakan.Bahkan area dapur dan ruang keluarga tampak berantakan, perabotan dan baju kotor berserakan. Sisa makan malam saja belum dibersihkan dari meja makan.“Apa yang wanita itu kerjakan sejak pagi?” geram Sergio melirik apartemennya berubah seperti penampungan sampah.Tidak lama, pintu depan terbuka, Sergio melongokan kepala dan berdecak sebal, lantaran kekasihnya tertawa riang sembari membawa beberapa kantong. Dengan segera, pria ini mencegat wanita itu, menyerahkan bayi dari gendongannya.“Hebat sekali kamu keluar apartemen, meninggalkan anakku dan ruangan belum rapi?!” sentak Sergio.“Maaf
“Kalau ini anak Sergio, tega sekali suamimu itu membiarkan istrinya sendirian,” sindir Sonia.“I-ini anak …” Livy melirik El yang menganggukkan kepala dan tersenyum. Namun, ketika bibir tipisnya hendak menjawab, ia mendengar ayah angkatnya mengeluh sakit dada. Sehingga perhatian Livy teralihkan pada pria paruh baya itu, mulutnya pun kembali tertutup rapat.Sigap El memberi ayah mertua minum dan berdiri tepat dibelakang Tuan Fabregas. Pria ini mengeluarkan saputangan, membantu menyeka air yang tumpah membasahi tangan mertua.“Ini anakku dan … Sergio,” jawab Livy dengan suara bergetar.Seketika El mengeratkan rahang, urat pada lehernya berkedut dan gigi saling bergemeletuk. Ia mengepalkan tangan, tidak rela darah dagingnya diakui milik Sergio.“Oh aku pikir anak pria lain,” sinis Sonia, setelah itu mendekati sang suami, mencium pipi El dan memegang lengan kekar dengan manja. “Sayang, bisa minta tolong antar ayah ke poli jantung? Dadanya sesak.”El yang kesal karena Livy berbohong, meng
“Ya ampun,” Livy terpekik kemudian meraih remote dan menyalakan lampu.Seketika matanya terbelalak melihat seorang pria sedang meringis di atas ranjang. Wajah tampan itu terlihat sangat kesakitan. Livvy merasa bersalah karena telah bertindak kasar pada kakak ipar sekaligus kekasihnya ini. “Kak El maaf,” lirihnya menundukkan sedikit kepala. “Kenapa Kakak datang tiba-tiba?”“Pahaku sakit sayang … kamu tidak mau menolong? Jangan tanya hal lain.” El menunjuk paha dengan jari telunjuk. Livy kebingungan bagaimana mengobati, ia pun memilih menghubungi perawat, hendak menekan tombol panggilan. Akan tetapi El malah merengkuh pinggul ibu hamil, hingga kedua tangan wanita ini tersampir pada bahu, posisinya pun sangat dekat.“Aku tidak butuh orang lain yang merawat lukaku! Hanya kamu …” El memajukan kepala dan memiringkannya, bersiap melumat bibir ranum yang dirindukan.Sayang, Livy malah menolehkan kepala, sehingga presdir tampan melabuhkan kecupan pada tulang rahang. Ibu hamil ini bisa merasak
“Kamu duduk di sana.” El menunjuk meja konter. Selesai makan malam, Tuan Fabregas yang kelelahan lebih dulu ke kamar. Sedangkan Livy dan El berdua di ruang makan, pria ini tidak tega pujaan hatinya membereskan piring kotor sendirian. “Biar aku yang mencuci piring. Rumah ini harus memiliki mesin pencuci piring sendiri! Kamu tidak boleh Livy atau aku sewa asisten rumah tangga,” ujar El sembari membersihkan piring.“Aku saja Kak, kalau ayah turun dan melihat kita. Semuanya pasti terbongkar, aku …” Livy menunduk sejenak lalu mengangkat kembali kepalanya. “Aku belum siap Kak.”“Sayang, Livyata, dengarkan aku. Semakin cepat ayah tahu, justru bagus!” ucap El sempat melirik perut kekasihnya. “Kandunganmu semakin lama tambah besar, kamu tega membohongi siapa ayah biologisnya?” Livy menggeleng, dan mengigit bibir bawah. Sungguh ia bingung berada di pusara masalah pelik. Namun satu hal yang pasti, dalam waktu dekat Sergio akan menceraikannya. Sehingga ia bisa bernapas lega terbebas dari belen