“Livy? Katakan dengan jujur, anak itu milikku ‘kan?” El mengangkat dagu adik ipar yang menunduk. Pria ini menanti jawaban, meskipun hati kecilnya membenarkan. Namun, wanita di depannya hanya diam saja. Livy mengatup rapat mulut, kedua matanya berubah buram akibat dipenuhi kristal bening. Kata-kata untuk menjawab tertahan di bibir, lidahnya terasa kelu, seolah daging tak bertulang itu diikat dan ditarik ke belakang. Pikirannya berkecamuk, ia takut pada ancaman Tuan Fabregas. Livy bukankah cenayang yang bisa meramal kejadian di masa depan, ia hanya waspada dari kondisi tak terduga.“Livyata? Sayang?” El mengelus puncak kepala wanitanya, lantas membawa Livy ke dalam pelukan, membelai sepanjang tulang punggung . “Apa ada seseorang yang mengancam? Siapa? Sergio? Aku bisa melindungimu.”Mendengar kata-kata menenangkan hati, Livy tertegun lalu menyentuh perut ratanya. Ia menelan ludah sembari memejamkan mata, mencari kekuatan. Kemudian menggeleng pelan, sebagai jawaban dari pertanyaan El ya
“Menurutmu apa aku harus diam saja?” El membalas tatapan mata Livy.“Entahlah aku bingung, aku belum siap ayah mengetahui kalau janin dalam kandunganku ini …”“Jangan berpikir macam-macam biar aku saja. Kamu fokus pada kehamilanmu, aku mencintamu Livyta.” El mengabsen wajah mulus kekasihnya, tidak jemu memandang dan menyentuhnya.Malam semakin larut, sepasang kekasih itu terlelap dengan nyenyak, bahkan Livy merasa nyaman berada di pelukan El. Kini ia yakin keputusannya memberitahu kebenaran pada El bukan suatu kesalahan. Keduanya terbangun cukup siang, setelah mentari mulai menunjukkan sinarnya. Bahkan dua kali perawat yang hendak masuk mengurungkan niat, selain pintu yang terkunci, dua pasang kaki saling bertumpuk di atas ranjang pasien.“Selamat pagi sayang. Aku pikir mimpi, terbangun di samping bidadari, ternyata ini kenyataan,” goda El mencolek dagu kekasihnya. Menjadikan pipi tirus Livy bersemu merah, belum juga nyawanya terkumpul sudah digoda seperti ini. Ia langsung membayangk
Sementara itu di tempat berbeda, tepatnya di salah satu apartemen mewah seorang pria baru saja terbangun dari tidurnya. Sergio membuka mata karena mendengar suara tangis bayi yang tidak bisa berhenti.“Astaga Karla di mana ibumu? Kenapa kamu sendirian di sini?” Sergio segera menggendong bayi malang itu dari atas kasur lantai. “Bisa-bisanya dia meninggalkan anakku,” sambung pria dengan rambut berantakan.Bahkan area dapur dan ruang keluarga tampak berantakan, perabotan dan baju kotor berserakan. Sisa makan malam saja belum dibersihkan dari meja makan.“Apa yang wanita itu kerjakan sejak pagi?” geram Sergio melirik apartemennya berubah seperti penampungan sampah.Tidak lama, pintu depan terbuka, Sergio melongokan kepala dan berdecak sebal, lantaran kekasihnya tertawa riang sembari membawa beberapa kantong. Dengan segera, pria ini mencegat wanita itu, menyerahkan bayi dari gendongannya.“Hebat sekali kamu keluar apartemen, meninggalkan anakku dan ruangan belum rapi?!” sentak Sergio.“Maaf
“Kalau ini anak Sergio, tega sekali suamimu itu membiarkan istrinya sendirian,” sindir Sonia.“I-ini anak …” Livy melirik El yang menganggukkan kepala dan tersenyum. Namun, ketika bibir tipisnya hendak menjawab, ia mendengar ayah angkatnya mengeluh sakit dada. Sehingga perhatian Livy teralihkan pada pria paruh baya itu, mulutnya pun kembali tertutup rapat.Sigap El memberi ayah mertua minum dan berdiri tepat dibelakang Tuan Fabregas. Pria ini mengeluarkan saputangan, membantu menyeka air yang tumpah membasahi tangan mertua.“Ini anakku dan … Sergio,” jawab Livy dengan suara bergetar.Seketika El mengeratkan rahang, urat pada lehernya berkedut dan gigi saling bergemeletuk. Ia mengepalkan tangan, tidak rela darah dagingnya diakui milik Sergio.“Oh aku pikir anak pria lain,” sinis Sonia, setelah itu mendekati sang suami, mencium pipi El dan memegang lengan kekar dengan manja. “Sayang, bisa minta tolong antar ayah ke poli jantung? Dadanya sesak.”El yang kesal karena Livy berbohong, meng
“Ya ampun,” Livy terpekik kemudian meraih remote dan menyalakan lampu.Seketika matanya terbelalak melihat seorang pria sedang meringis di atas ranjang. Wajah tampan itu terlihat sangat kesakitan. Livvy merasa bersalah karena telah bertindak kasar pada kakak ipar sekaligus kekasihnya ini. “Kak El maaf,” lirihnya menundukkan sedikit kepala. “Kenapa Kakak datang tiba-tiba?”“Pahaku sakit sayang … kamu tidak mau menolong? Jangan tanya hal lain.” El menunjuk paha dengan jari telunjuk. Livy kebingungan bagaimana mengobati, ia pun memilih menghubungi perawat, hendak menekan tombol panggilan. Akan tetapi El malah merengkuh pinggul ibu hamil, hingga kedua tangan wanita ini tersampir pada bahu, posisinya pun sangat dekat.“Aku tidak butuh orang lain yang merawat lukaku! Hanya kamu …” El memajukan kepala dan memiringkannya, bersiap melumat bibir ranum yang dirindukan.Sayang, Livy malah menolehkan kepala, sehingga presdir tampan melabuhkan kecupan pada tulang rahang. Ibu hamil ini bisa merasak
“Kamu duduk di sana.” El menunjuk meja konter. Selesai makan malam, Tuan Fabregas yang kelelahan lebih dulu ke kamar. Sedangkan Livy dan El berdua di ruang makan, pria ini tidak tega pujaan hatinya membereskan piring kotor sendirian. “Biar aku yang mencuci piring. Rumah ini harus memiliki mesin pencuci piring sendiri! Kamu tidak boleh Livy atau aku sewa asisten rumah tangga,” ujar El sembari membersihkan piring.“Aku saja Kak, kalau ayah turun dan melihat kita. Semuanya pasti terbongkar, aku …” Livy menunduk sejenak lalu mengangkat kembali kepalanya. “Aku belum siap Kak.”“Sayang, Livyata, dengarkan aku. Semakin cepat ayah tahu, justru bagus!” ucap El sempat melirik perut kekasihnya. “Kandunganmu semakin lama tambah besar, kamu tega membohongi siapa ayah biologisnya?” Livy menggeleng, dan mengigit bibir bawah. Sungguh ia bingung berada di pusara masalah pelik. Namun satu hal yang pasti, dalam waktu dekat Sergio akan menceraikannya. Sehingga ia bisa bernapas lega terbebas dari belen
“Aku akan meninggalkan Sonia, demi anak kita,” ujar El.‘Demi anak?’ Batin Livy berkecamuk.Mendengar jawaban dari El, leher Livy seolah tercekik, suaranya pun tercekat di tenggorokan. Bahkan ia sulit menelan saliva karena terlalu kental. Bukan senang tetapi hatinya sakit mengetahui jawaban sang kekasih.Kenapa?Entahlah, pikiran serta hatinya merasa jika semua pria sama. Kini, Livy membayangkan hal yang dilakukan Sergio, suaminya itu tega memilih selingkuhannya, begitu juga dengan El.“Kakak tega menceraikan Kak Sonia?” Tanya Livy dengan suara lirih.“Bukan tega sayang. Kamu tahu aku tidak akan melakukannya jika hubungan kami normal. Pernikahanku dan Sonia bertahan karena abuela dan ayahmu. Kami berusaha saling mencintai tetapi tidak bisa.” El memeluk Livy, menyangga dagu pada bahu.“Sonia akan lebih bahagia jika bersatu dengan kekasihnya,” tambah El.Seketika kening Livy mengerut, ia tidak pernah mendengar sang kakak memiliki kekasih. Sebab Sonia selalu sibuk dengan dunia model, dulu
“Sayang? Apa maksudmu?” Sonia membeliak mendengar pernyataan sang suami.“Iya benar aku tanggung jawab, memangnya salah?” Ekor mata El melirik tajam pada Sonia. Sedangkan Livy yang berdiri di sisi ayah angkatnya menggeleng lemah, wajahnya sudah pucat pasi. Ia menelan saliva serta memenuhi rongga dada dengan oksigen. Saking tegangnya, perut bagian bawah terasa kram. Tangannya mencari pegangan, ia berusaha menggapai lengan Tuan Fabregas.Sayang, pria paruh baya itu malah menjauh, memundurkan tubuh, enggan disentuh oleh anak angkatnya sendiri. Sehingga Livy, nyaris luruh di atas lantai, beruntung El bergerak cepat.“El jangan! Biarkan saja!” Cegah Sonia menahan pergelangan tangan sang suami.Akan tetapi Presdir Torres Inc tak menghiraukan ocehan Sonia, sigap meraih tubuh ibu dari anaknya sebelum menyentuh lantai. Pria ini tidak sungkan memeluk posesif tubuh Livy di depan mertua dan istri. El lebih mirip suami siaga darpada kakak ipar yang perhatian. Membuat rasa benci di hati Sonia sema
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa