kira-kira Livy-nya dikasih tau kah sama El?
“Kamu ingat, aku pernah tanya apa perlu mencari tahu tentang ayah kandungmu?” El menggenggam tangan Livy, menyatukan jemari.Wanita ini mengangguk pelan, tidak menyangka sang suami masih membahas pria di masa lalu yang meninggalkan ibunya di kala mengandung. Sebenarnya Livy tidak mau tahu lagi, tetapi ia menghargai El bicara sampai tuntas.“Sebenarnya ayahmu, ada di dekatmu, selama ini selalu bersama,” tandas El, lalu satu tangannya membelai puncak kepala dan meraih bahu Livy, membawanya ke dalam pelukan erat dan hangat.“Umm … maksudnya apa? Siapa?” Rasa penasaran Livy melambung tinggi.“Ayah kandungmu itu … Tuan Fabregas, maaf terlambat memberitahu,” gumam El semakin mengeratkan pelukan.Sesaat Livy tercenung, lantas terkekeh pelan, ia tahu pria paruh baya itu memang ayahnya. Sosok yang membesarkan dan menghidupinya, bukan berarti menjadi ayah kandung.“Kak? Jangan bercanda, tidak lucu! Sebaiknya kita ke ruangan dokter,” ajak Livy, berusaha melepas pelukan karena enggan membahas ayah
“Sayang? Kenapa diam?” El menolehkan kepala, melihat istrinya membisu serta meremas sepuluh jari tangan.“Aku … takut Kak, bagaimana kalau—““Tidak akan, Tuan Fabregas pasti menerimamu,” ucap El meredam sedikit kecemasan Livy.Seusai mendapat kabar dari anak buah, meski ragu Livy menerima ajakan suaminya. Pagi itu juga, mereka bergegas ke rumah sakit. Wanita ini sempat dirundung dilema, pikirannya bercabang ke segala arah. Akan tetapi ia meyakinkan hati, menerima kenyataan bahwa sosok lelaki yang membesarkannya memang ayah kandungnya.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, El berusaha menenangkan sang istri. Sebab raut wajah cemas begitu kentara memenuhi paras ayunya.Tiba di rumah sakit, Livy mengayunkan kaki dengan pelan, selain mengimbangi El, ia juga menormalkan irama jantung. Bingung, tanggapan apa yang seharusnya diberikan saat bertemu Tuan Fabregas.Namun, keduanya tidak diizinkan masuk, selain pria paruh baya itu masih dalam penanganan tim dokter. Kondisi pasien pun memerluk
“Napasnya sempat terhenti, setelah kami melakukan pertolongan pertama, pasien bisa diselamatkan. Tapi—“Livy terkesiap mendengarnya, ia menimpali penjelasan dokter, “Tapi apa dokter?”“Tapi pada umumnya dalam waktu 24 jam ke depan, pasien yang pernah mengalami henti jantung tidak menutup kemungkinan kembali mengalami keadaan serupa,” jelas dokter lalu menepuk bahu Livy memberinya kekuatan.Seketika, Livy terhuyung ke belakangan, raganya berubah lemas, bahkan ia tak sanggup berpikir jernih. Entah mengapa jalan takdirnya sangat berliku, baru saja mengetahui Tuan Fabregas ayah kandungnya, di waktu yang sama pria paruh baya itu sedang kritis.“Dokter bilang ayah berhasil diselamatkan, apa bisa sembuh?” tanya Livy suaranya tercekat di tenggorokan.“Harapan hidup tetap ada meskipun memiliki resiko kerusakan otak dan fungsi organ lain. Sebab, selama jantung berhenti, suplai darah dan oksigen tidak diterima oleh tubuh,” sambung dokter membuat Livy menelan saliva terasa lengket.“Kalau begitu,
“Tidak ada hubungan darah?” lirih Livy, bibirnya bergetar, kedua tangan mengepal di sisi tubuh bahkan gigi saling bergemeretak.Ia teringat kalimat terakhir sang ayah, jika Sonia bukan kakak kandungnya. Ingin sekali, Livy bertanya pada wanita di depannya ini. Sayang, lidahnya terasa kelu, lagi pula sekarang bukanlah waktu yang tepat menyampaikan suatu kabar.“Cih, tunggu apa lagi? Cepat pergi! Puas kamu, membunuh ayah secara tidak langsung? Jahat!” cerca Sonia terus menerus.“Sonia! Jangan sampai aku berbuat kasar!” desis El menatap sengit pada mantan istri.“Kenapa aku harus patuh?! Aku bukan istrimu lagi El.” Senyum miring Sonia , lantas berjalan angkuh menyapa para tamu yang menyatakan belasungkawa.Sementara dari kejauhan, Livy hanya bisa menyoroti tingkah laku Sonia. Kakaknya itu banyak menerima perhatian dari kolega Tuan Fabregas. **Pagi ini iring-iringan keluarga mengantar Tuan Fabregas ke tempat peristirahatan terakhir. Termasuk Livy dan Al, ibu muda ini tampak pucat, hampir
Dalam sekejap ruang tamu berubah hening, panas, membuat udara sesak serta gersang. Ya, bagi sebagian orang, bukan Livy atau El.Ibu muda ini mengerjap, mulutnya sedikit terbuka, bola mata bergerak-gerak secara bergntian menatap El dan pengacara. Ia mereguk air liur terasa kelat, telapak tangannya menggosok telinga dengan lembut—memastikan tidak salah mendengar.Keterkejutan Livy pecah, saat Sonia mengamuk dan murka, hendak melampiaskan luapan emosi. Sorot mata Sonia menyala-nyala, dagu lancip terangkat, pundaknya turun-naik, menghampiri pengacara.“Kamu pasti tidak bisa membaca? Aku ingin lihat buktinya! Kalian sudah gila dan …” Sonia memutar 90 derajat tubuhnya, menunjuk Livy, berteriak, “Apa-apaan tua bangka itu menyebutnya anak kandung? Dia sakit jiwa, bisa-bisanya mengakui anak angkat sebagai adik kandungku!”“Nona Sonia, mohon duduk dengan tenang!” titah pengacara mengangkat sebelah tangan.Sayang, mantan model terkenal itu menepis tangan pengacara dan merebut surat wasiat. Matany
“Kenapa kamu tidak bisa menghancurkan El? Ck lemah.” Sonia mendengus kasar seraya melipat tangan depan dada.Wanita ini mengunjungi seseorang di gedung bertingkat. Percaya diri memasuki ruang pimpinan, duduk tepat di atas meja kerja. Kedua tungkainya sengaja dinaikan, menunjukkan kulit mulus nan kenyal. “Sonia, tidak bisa seperti itu, kamu ‘kan tahu siapa mantanmu? Dia pernah jatuh tapi … bahkan para tetua mempercayainya.”“Lalu? Apa yang sudah kamu lakukan untukku?” tanya Sonia bernada ketus.Pria berkemeja putih dengan dasi dilonggarkan itu berdiri dari kursinya, merunduk hingga hidung menempel pada tulang pipi Sonia. Sorot mata yang kecil teramat tajam menyelami kedua manik coklat sang wanita.“Kamu pikir ulahmu tidak merepotkan aku?” Pria ini menyeringai, mendorong bahu Sonia hingga tubuhnya turun beberapa senti. “Kalau bukan karena aku, mungkin … tindakan cerobohmu diketahui El.”Sonia mendesis, tak mampu melawan kalimat itu. Ia akui, tanpa campur tangan pria ini pasti dirinya t
“Ini semua karena aku,” cicit Livy di balik pintu. Mati-matian ia menahan embusan napasnya tidak terdengar ke dalam.Wanita ini merasa bersalah pada sang suami, ia merapatkan kelopak, menggigit bibir bawahnya. Otaknya ingat betul setiap permasalahan datang silih berganti, setelah El menyatakan tanggung jawab atas tragedi malam panas itu.Seketika Livy menjauhkan kelopak, manik coklatnya berkilat lurus ke depan. Ia mendesis membayangkan sosok itu berani menyakiti suaminya. Demi apa pun ia bersumpah dalam hati, tak akan mengampuni siapa saja pelaku yang mencelakai El.Saat wanita ini tengah dikuasai kobaran api amarah, mendadak pintu terbuka lebar. Alonso terperanjat, spontan menelan ludah lalu sedikit menoleh ke belakang.“Nyonya Livy?” Suara Alonso berubah tegang. “Tuan Muda El ada di dalam, silakan masuk.” Alonso menggeser tubuh, memberi ruang untuk Livy.“Terima kasih Paman.” Livy membungkuk sesaat, menghormati pria paruh baya di depannya. Bagaimanapun, Alonso telah mengabdi selama p
“Livy?!” geram El melihat pipi mulus sang istri tergores sisi bindex. “Sonia kamu berani menyentuh istriku!” desisnya.“Iya, memangnya kenapa Sayang?! Aku tidak mau pura-pura baik, itu melelahkan. Mari kita berperang secara terbuka.” Seringai Sonia membalas tatapan sengit pasangan suami istri di depannya.Tak hanya itu, kesialan Livy belum usai. Ketakutan menjadi nyata, karena anggota keluarga yang juga merupakan pemegang saham satu per satu meninggalkan ruang rapat.Tentu, semua ini ulah Sonia, cakarnya masih mencengkeram kuat keluarga Fabregas. Meskipun menyebabkan kerugian, mereka tetap mempercayai Sonia, tidak mudah beralih pada Livy—dianggap anak haram yang tidak memiliki keahlian.“Kamu lihat ‘kan?” ejek Sonia, mengangkat kedua bahunya lalu mengikis jarak dengan Livy, tetapi El segera menghalangi. “Kamu memang anak kandung pria pesakitan itu, tapi … akulah yang diakui di keluarga ini, ku pastikan kamu tidak akan pernah merebut posisiku Livyata!” Sonia bersikukuh tak tahu malu.M