semoga bapak yang satu ini sadar ya kalau Livy memang sayang dan mereka ga musuhan lagi. setuju?
“Anak itu pasti hanya cari muka, penjilat handal,” sinis Tuan Fabregas.Perawat seta dokter saling pandang mendengar ucapan pria yang baru saja siuman. Merasa tak enak hati, dan perlu menjelaskan lebih lanjut. Dokter menceritakan semuanya, termasuk keadaan Livy yang sedang menyusui memaksa untuk donor darah.Saat itu juga pria paruh baya mengetahui cucu dari anak angkatnya selamat. Apa pria ini senang? Tidak! Tuan Fabregas menganggap bayi yang dilahirkan Livy, sebuah kesialan hingga kondisi keluarganya hancur.“Kalau begitu kami pamit, permisi Tuan.” Dokter dan perawat bergegas keluar dari ICU.“Hem, terima kasih dokter.”Sedangkan di dalam ruangan, Tuan Fabregas nampak memikirkan deretan kalimat yang disampaikan dokter jaga. Ia tidak percaya, dirinya dan Livy memiliki golongan darah yang sama, padahal dengan Sonia saja berbeda. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri, sebab mengingat kejadian belakangan ini. Bahkan tujuannya gagal akibat kecelakaan, padahal ia berniat menemui pengurus p
“Livyata, dia … argh, sebenarnya apa yang ada di pikirannya?” desah El berulang kali mengatur napas yang memburu.Di Swiss tepatnya Kota Zurich, El tengah susah payah menelan saliva, lantaran rasa rindunya kian menggunung tak terhingga. Sejak tadi, ia menahan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Bukan karena minum alkohol atau obat perangsang.Akan tetapi penampilan Livy-nya pada layar laptop, sangat … menggoda sisi primitif sebagai seorang pria. Jakun El naik turun, bagian bawah tubuhnya menegang sempurna, sial tidak bisa mendapatkan pelepasan saat ini juga.El bingung, entah sial atau beruntung memerintah adik bungsunya untuk mengekor dan menempel pada sang istri. Sekarang, ia sendiri kesulitan jauh dari mansion. Seandainya bisa, pasti detik ini juga El bertolak ke Madrid. [Sayang?]El memicingkan mata, telinganya didekatkan pada ponsel. Suara yang dirindukan selama beberapa hari ini terdengar merdu dan … tersimpan luka di dalamnya.[Apa kamu mendengarku? Halo Kak?]Akhirnya,
“Kak El?!” pekik Livy.Wanita ini membuka matanya, ia melirik jam, waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Di luar masih gelap, suhu udara dingin, tetapi tubuhnya berkeringat sebesar biji jagung. Bahkan degup jantungnya kian cepat karena … “Huh, hanya mimpi buruk, mungkin aku terlalu memikirkan Kak El,” gumam Livy, kembali menarik selimut, menenggelamkan diri di bawah kain tebal itu.Namun, tiba-tiba saja pintu kamar diketuk cukup keras. Bukan Estefania, sebab adik iparnya berbaring tepat di sisi Livy. Ia menurunkan kaki ke lantai, tidak lupa memakai sandal bulu berwarna merah muda. Entah mengapa tangannya mendadak tremor, sulit menggapai knop pintu.Sebelum membuka pintu, Livy sempat menoleh pada dua orang di atas ranjang, mereka sama sekali tidak terganggu. Ia memutar knop dan pintu perlahan terbuka. Livy mengerutkan kening, kerongkongannya terasa mengering tak berlendir lagi, napasnya pun terasa sakit. Ia melihat ibu mertua dirangkul oleh Emilia, wajah wanita paruh baya itu mer
“Dari sekian banyak anak perempuan, apa alasanmu memberiku rekomendasi anak itu?” desak Tuan Fabregas tepat di hadapan wanita berambut putih serta kulit keriput.Di tengah kondisinya belum stabil, pria paruh baya nekat pergi dari rumah sakit. Sebab, keingintahuannya sangatlah tinggi mengenai masa lalu Livy. Bahkan dalam perjalanan menuju Barcelona, Tuan Fabregas hampir dilarikan ke rumah sakit. Napasnya sesak, keringat dingin serta jantung berdebar tak karuan diselingi panas menjalar pada punggung.“Apa gadis itu anaknya Sonja? Katakan yang sejujurnya!” tuntutnya lagi tak ingin kehilangan waktu, sebab petugas panti memberi waktu kurang dari setengah jam.“Sonja? Di mana dia? Kasihan wanita itu, dia tidak gila … dia dibunuh, ya dibunuh,” desis wanita sepuh sembari mengayun punggung di kursi.“Ck, Sonja itu depresi, dia bunuh diri bukan dibunuh!” desis pria ini mengepalkan tangan keriputnya.Tuan Fabregas yakin kekasihnya itu mengalami gangguan jiwa karena dirinya tidak bisa bertanggun
“Ba-bagaimana mungkin? Dia bukan anakku? Aku hidup dengannya selama 30 tahun.” Tuan Fabregas gemetaran, sekujur tubuhnya memanas, terkejut membaca hasil tes DNA.“Argh!” teriak pria paruh baya ini melempar peralatan makan dari atas meja. Bahkan secara sadar, kedua tungkainya yang sudah tidak bisa berjalan nekat turun dari atas ranjang. Tuan Fabregas mendesis perih saat pecahan keramik menusuk serta menyatat telapak kaki.Namun, ada yang lebih terluka lebih daripada itu. Apa? Tentu saja hatinya, seketika tak berbentuk lagi seusai mengetahui fakta mencengangkan.Paska menerima informasi dari wanita di panti wreda, Tuan Fabregas bergegas kembali ke Madrid. Tidak ke rumah sakit, melainkan pulang ke rumahnya. Di sana, ia mengacak-acak kamar putri kesayangan. Lalu membawa beberapa sampel ke rumah sakit.Setelah menunggu cukup lama, hari ini hasil tes dirinya dan Sonia keluar. Pihak rumah sakit mengirim melalui surel. “Tuan, apa yang Anda lakukan?!” pekik perawat melihat kondisi kamar kacau
“Kamu ingat, aku pernah tanya apa perlu mencari tahu tentang ayah kandungmu?” El menggenggam tangan Livy, menyatukan jemari.Wanita ini mengangguk pelan, tidak menyangka sang suami masih membahas pria di masa lalu yang meninggalkan ibunya di kala mengandung. Sebenarnya Livy tidak mau tahu lagi, tetapi ia menghargai El bicara sampai tuntas.“Sebenarnya ayahmu, ada di dekatmu, selama ini selalu bersama,” tandas El, lalu satu tangannya membelai puncak kepala dan meraih bahu Livy, membawanya ke dalam pelukan erat dan hangat.“Umm … maksudnya apa? Siapa?” Rasa penasaran Livy melambung tinggi.“Ayah kandungmu itu … Tuan Fabregas, maaf terlambat memberitahu,” gumam El semakin mengeratkan pelukan.Sesaat Livy tercenung, lantas terkekeh pelan, ia tahu pria paruh baya itu memang ayahnya. Sosok yang membesarkan dan menghidupinya, bukan berarti menjadi ayah kandung.“Kak? Jangan bercanda, tidak lucu! Sebaiknya kita ke ruangan dokter,” ajak Livy, berusaha melepas pelukan karena enggan membahas ayah
“Sayang? Kenapa diam?” El menolehkan kepala, melihat istrinya membisu serta meremas sepuluh jari tangan.“Aku … takut Kak, bagaimana kalau—““Tidak akan, Tuan Fabregas pasti menerimamu,” ucap El meredam sedikit kecemasan Livy.Seusai mendapat kabar dari anak buah, meski ragu Livy menerima ajakan suaminya. Pagi itu juga, mereka bergegas ke rumah sakit. Wanita ini sempat dirundung dilema, pikirannya bercabang ke segala arah. Akan tetapi ia meyakinkan hati, menerima kenyataan bahwa sosok lelaki yang membesarkannya memang ayah kandungnya.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, El berusaha menenangkan sang istri. Sebab raut wajah cemas begitu kentara memenuhi paras ayunya.Tiba di rumah sakit, Livy mengayunkan kaki dengan pelan, selain mengimbangi El, ia juga menormalkan irama jantung. Bingung, tanggapan apa yang seharusnya diberikan saat bertemu Tuan Fabregas.Namun, keduanya tidak diizinkan masuk, selain pria paruh baya itu masih dalam penanganan tim dokter. Kondisi pasien pun memerluk
“Napasnya sempat terhenti, setelah kami melakukan pertolongan pertama, pasien bisa diselamatkan. Tapi—“Livy terkesiap mendengarnya, ia menimpali penjelasan dokter, “Tapi apa dokter?”“Tapi pada umumnya dalam waktu 24 jam ke depan, pasien yang pernah mengalami henti jantung tidak menutup kemungkinan kembali mengalami keadaan serupa,” jelas dokter lalu menepuk bahu Livy memberinya kekuatan.Seketika, Livy terhuyung ke belakangan, raganya berubah lemas, bahkan ia tak sanggup berpikir jernih. Entah mengapa jalan takdirnya sangat berliku, baru saja mengetahui Tuan Fabregas ayah kandungnya, di waktu yang sama pria paruh baya itu sedang kritis.“Dokter bilang ayah berhasil diselamatkan, apa bisa sembuh?” tanya Livy suaranya tercekat di tenggorokan.“Harapan hidup tetap ada meskipun memiliki resiko kerusakan otak dan fungsi organ lain. Sebab, selama jantung berhenti, suplai darah dan oksigen tidak diterima oleh tubuh,” sambung dokter membuat Livy menelan saliva terasa lengket.“Kalau begitu,
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa