Suara Claudia berseru keras dengan nada bergetar penuh emosi. Matanya memerah, akibat tangisnya. Gadis itu sama sekali tak mengira akan tindakan Christian yang menolak panggilan telepon Ella.Tadi, Claudia sama sekali tak memiliki niat untuk menolak panggilan kakaknya. Hanya saja untuk menjawab dirinya belum sanggup. Dia dilingkupi rasa bersalah yang mendalam pada kakaknya itu.Tindakan Christian sekarang, membuatnya sangat kesal luar biasa. Sekalipun, Claudia telah dilingkupi perasaan bersalah, tapi dia tidak pernah bermaksud untuk menolak panggilan kakaknya. Kalau sudah seperti ini, bisa saja kakaknya akan berpikiran yang tidak-tidak padanya. Christian semakin membuat Claudia masuk ke dalam lubang masalah semakin dalam.“Tidak usah pikirkan keluargamu. Kita sekarang berada di Seoul. Fokus pada apa yang ada di sini. Jangan pikirkan apa yang ada di New York. Lanjutkan makanmu. Aku tidak mau kau sakit,” balas Christian menegaskan dan menekankan.Claudia masih tetap diam menatap kesal C
Sudah lebih dari dua minggu Claudia dan Christian berada di Seoul. Pekerjaan mereka satu demi satu sudah terselesaikan. Claudia juga telah menemukan ide paling cocok untuk co-working space yang diinginkan oleh Shawn. Bukan hanya Claudia yang sudah menyelesaikan pekerjaannya, tapi Christian pun telah menyelesaikan pekerjaannya.Selama di Seoul, Claudia dan Christian tetap bersikap professional menyelesaikan pekerjaannya, meskipun mereka terlibat dalam suatu hubungan yang rumit. Mereka tak saling banyak bicara. Kondisi lengan Christian sudah membaik, membuat Claudia tak perlu lagi untuk tetap tinggal di kamar hotel yang sama dengan Christian.Sejak kejadian waktu itu, Claudia memang lebih banyak diam. Bahkan bicara dengan Christian saja hanya seperlunya, namun setiap kali Christian ingin mencium ataupun memeluknya tetap Claudia tidak akan menolak. Bukan tanpa alasan, tentu Claudia tahu bahwa melakukan penolakan hanya berujung percuma. Selain penolakan sia-sia, Claudia tidak menampik ba
Kalimat yang lolos di bibir Christian, begitu mudah, dan tanpa sama sekali merasakan bersalah sedikit pun. Pria itu seolah tak sama sekali memiliki beban untuk melepas istrinya. Padahal mereka telah menjalin hubungan lama.Perkataan Christian itu membuat Claudia melebarkan mata tak percaya. Sungguh, gadis itu sama sekali tak mengira kalau Christian akan mengatakan ingin menceraikan kakaknya. Begitu mudah Christian mengatakan kalimat itu.Claudia tak merasa bahagia sama sekali. Yang ada malah gadis itu merasa sesak dan sakit hati luar biasa. Bagaimanapun dirinya sangat tahu bahwa kakaknya sangat mencintai Christian. Dia yakin kakaknya akan sangat terluka jika benar sampai bercerai dengan Christian.“Kau sudah gila, Christian! Kau tidak boleh menceraikan kakakku,” seru Claudia berapi-api. Emosinya menyulut mendengar Christian akan menceraikan kakaknya. Claudia memang bukanlah perempuan baik. Gadis itu menyadari dosa kesalahan yang telah dia lakukan. Meski dia tahu kesalahannya tidak ak
New York, USA. Hiruk pikuk padatnya kota New York begitu menyambut. Banyak orang yang berlalu lalang berjalan di trotoar. Mereka nampak sibuk seperti tengah mengejar waktu. Yang pasti orang-orang yang berlalu lalang itu memakai pakaian formal yang mana menandakan bahwa mereka adalah para pekerja kantoran.Saat ini, Claudia dan Christian tengah berada di dalam mobil. Mereka sudah tiba di New York, dan sopir pun telah menjemput mereka. Awalnya, Claudia ingin tak satu mobil dengan Christian, namun sayangnya niat Claudia harus terkubur jauh-jauh. Tentu saja Christian tak mungkin membiarkan gadis itu tak satu mobil dengannya. “Tadi Shawn mengirimkanku email,” ucap Christian memulai percakapan.Claudia melirik Christian. “Apa Shawn membahas tentang design co-working space?”Christian menganggukan kepalanya. “Hasil design-mu sudah dilihat Shawn. Seperti biasa, dia mengagumi design-mu.” Nada bicara Christian begitu dingin, seakan menekan ego dalam dirinya. Ego akan kecemburuan buta tak je
Claudia menatap cermin dengan pandangan kosong ke depan, menyimpan sesuatu hal yang mengusik pikirannya. Kepulangannya ke rumah, membuat rasa bersalahnya semakin menelusup ke dalam dirinya.Claudia tidak sanggup melihat kakak dan kedua orang tuanya. Ya, setiap kali dirinya melihat kedua orang tuanya, malah yang ada dirinya semakin merasa bersalah atas dosa besar yang telah dilakukannya.Jika saja bisa, Claudia ingin sekali pergi sejauh mungkin, berlari dari masalah ini, namun kenyataan yang ada dirinya terjebak dan tak bisa pergi ke mana pun. Ada hati yang akan hancur terluka kalau dirinya pergi dari kenyataan ini.Tatapan Claudia teralih pada foto keluarganya yang ada di atas meja rias. Tampak mata gadis itu berkaca-kaca menahan air mata agar tak tumpah. Sekarang, dirinya amat menyadari bahwa dirinya sangatlah bersalah. Claudia telah terjebak semakin dalam, dan tak bisa untuk keluar dari jebakan itu.Suara ketukan pintu terdengar sontak membuat Claudia membuyarkan lamunannya. Gadis i
“E-Elan?”Nama itu tercetus di bibir Ella pelan. Raut wajah wanita itu menunjukkan jelas kepanikan serta rasa takut luar biasa. Debar jantung tak karuan membuatnya ingin melarikan diri dari tempatnya berada, namun semua itu adalah hal yang tak mungkin. Ella membisu terpaku tak bisa berkutik sedikit pun.Napas Ella sudah tercekat bahkan seolah ingin berhenti bernapas. Segala hal muncul di dalam benaknya. Otaknya berpikir bagaimana dirinya harus bertindak. Menghindar pergi bukan juga solusi. Yang ada malah nanti dirinya pasti akan dicurigai oleh keluarganya.Ya, beberapa saat pria bernama Elan itu menatap Ella dengan tatapan yang memiliki jutaan arti luas. Tatapan yang bermakna bahwa ada sesuatu terjadi di antara mereka. Sesuatu hal yang selama ini begitu banyak tertutupi, dan tak pernah terungkap.“Elan, akhirnya kau datang.” Grania bangkit berdiri, memberikan pelukan pada pria bernama Elan.“Elan, duduklah,” ujar Benny meminta Elan untuk duduk.Grania melepaskan pelukannya. “Ayo, dudu
“Mom, di mana Kak Ella?” tanya Claudia seraya menatap Grania. Gadis itu mencari keberadaan kakaknya, namun malah kakaknya itu tidak ada. Tidak biasanya kakaknya pergi menghilang di tengah acara makan malam seperti ini.“Kakakmu sedang di toilet,” jawab Grania sambil meminum orange juice yang baru saja diantar oleh sang pelayan.Mereka semua kini berada di ruang bersantai. Setelah makan malam, waktunya mereka untuk berbincang-bincang. Namun, tak ada Ella karena kebetulana tadi Ella memang pergi ke toilet. Tepat ketika Ella pergi ke toilet, Elan juga berpamitan ke depan sebentar karena ingin menjawab panggilan telepon.Claudia terdiam sebentar. “Ke toilet lama sekali. Apa Kak Ella sakit perut, Mom?”Grania menurunkan gelasnya. “Ya, mungkin kakakmu sakit perut, Sayang.” Claudia mengangguk-anggukan kepalanya, merespon ucapan ibunya.“Sayang, tolong bantu aku carikan dokumenku yang kemarin. Aku ingin menunjukkan pada Elan nanti,” ujar Benny meminta tolong pada sang istri, yang posisinya
“Christian, di mana Claudia dan Ella?” Benny bertanya pada sang menantu di kala melihat menantunya itu hanya seorang diri. Tak ada kedua putrinya di sana.“Ella masih di toilet. Claudia menyusul Ella,” jawab Christian seraya menyesap wine di tangannya. Sejak tadi memang dia sendiri, tak ada siapa pun. Pria itu membiarkan Claudia menyusul Ella.Benny mengangguk-anggukan kepalanya merespon ucapan Christian.Tak selang lama, Claudia dan Ella muncul …“Itu, Claudia dan Ella,” seru Grania dengan senyuman di wajahnya, melihat dua putri cantiknya sudah tiba. “Maaf, aku lama. Tadi aku terpeleset di toilet,” ucap Ella berdusta. Tentu dia tak mungkin menceritakan apa yang terjadi. Berbohong adalah jalan paling terbaik.“Kau terpeleset di toilet, Sayang? Bagaimana bisa? Apa lantai toilet licin?” seru Benny mencemaskan putri sulungnya.“Sayang, apa kau terluka? Katakan pada Mommy, mana yang sakit.” Grania merengkuh bahu Ella, memeriksa keadaan putri sulungnya. “Kita ke dokter, ya? Mungkin kau m