“Kau sudah pulang, Smith?” Laura menghampiri Smith yang baru tiba di rumah.Langit senja menyisakan warna keemasan di cakrawala, menyusup lembut melalui jendela kaca apartemen mereka.Lampu-lampu kota mulai berkelip bagai bintang-bintang kecil yang jatuh ke bumi.Smith membuka pintu dengan langkah berat, kelelahan selepas hari panjang di kantor.Namun, semua rasa letih itu menguap begitu saja saat pandangannya jatuh pada sosok yang menunggunya di ambang ruang tamu.“Sambutan yang sungguh hangat dan meriah,” gumam Smith sembari menatap penuh takjub istrinya yang begitu cantik dan seksi.Laura berdiri di sana, siluetnya disaput cahaya remang. Pakaian yang ia kenakan—sehelai lingerie hitam yang menerawang—membingkai tubuhnya dengan sempurna, seakan mengundang dan menantang dalam satu tarikan napas.Rambutnya yang tergerai jatuh membingkai wajahnya, sementara bibirnya melengkung membentuk senyum yang hanya dimiliki seorang istri untuk suaminya.“Aku selalu menyambutmu dengan penuh kehanga
“Kondisi kedua janinnya sangat sehat dan baik. Dan untuk jenis kelaminnya adalah … satu laki-laki dan satu lagi perempuan.”Kata-kata itu bergema di ruangan, berpendar di udara seperti denting kristal yang menari di angin. Laura menganga, matanya membulat penuh keterkejutan.Ia tahu hari ini mereka akan mengetahui jenis kelamin buah hati mereka, tetapi mendengar langsung kabar itu dari mulut sang dokter terasa seperti keajaiban yang melampaui impian.“Berpasangan,” gumam Smith, seolah membiarkan kata itu mengendap di relung hatinya.Ia menoleh ke arah Laura, senyum melengkung di bibirnya—senyum yang penuh dengan harapan, kebahagiaan, dan cinta yang begitu dalam.Dokter kandungan mereka mengangguk penuh keramahan. “Selalu dijaga kondisi kesehatannya ya, Nyonya, Tuan,” ucapnya lembut, mengingatkan dengan penuh perhatian.Smith menoleh kembali ke arah dokter, nada suaranya penuh antusiasme yang tak dapat disembunyikan.“Tentu saja, Dokter. Kami bahkan sudah tak sabar ingin segera melihat
"Smith?"Suara Vincent terdengar tenang namun mengandung nada kewaspadaan, menyelinap di antara tumpukan berkas dan dentingan samar jam meja yang menghitung waktu dengan kesabaran tanpa batas.Ia melangkah mendekati putranya, yang masih tenggelam dalam lautan dokumen dan angka-angka yang tak berujung.Smith mendongak, sorot matanya menangkap wajah sang ayah yang dipenuhi garis-garis kebijaksanaan."Ada apa, Dad?" tanyanya, suaranya terdengar datar, namun ada sedikit ketegangan yang bersembunyi di balik nada itu.Vincent menghela napas, lalu duduk di sofa dengan gerakan yang tertata, seakan tengah menimbang-nimbang setiap kata yang akan diucapkannya.Pandangannya tak lepas dari Smith, yang masih setia di balik meja kerjanya, seakan tembok kayu mahoni itu menjadi benteng terakhirnya."Kau mendapat kabar dari Louis? Sudah satu minggu ini dia menghilang dari kantor. Bahkan, dia sudah menyerahkan semua pekerjaannya pada Reiner."Alis Smith terangkat, tatapannya mencerminkan keterkejutan ya
“Ada apa, Smith?” suara Laura meluncur pelan, nyaris seperti bisikan angin malam yang menyelinap masuk melalui celah jendela.Ia melangkah mendekat, bayangannya terpantul samar di lantai marmer yang dingin. Smith masih duduk di kursinya, punggungnya sedikit membungkuk, seolah menanggung beban dunia di atas bahunya.Jarum jam di dinding telah lama melewati angka sepuluh, namun ketegangan di ruangan itu menggantung seperti awan kelabu sebelum badai.Smith mengangkat wajahnya, sorot matanya kelam, seperti pusaran lautan yang menyembunyikan rahasia di dasarnya.“Aku … belum memberitahumu tentang Louis,” suaranya terdengar serak, seakan setiap kata yang keluar menyesakkan tenggorokannya. “Dia menghilang selama satu minggu ini.”Jantung Laura berdegup lebih cepat. Tubuhnya menegang, seolah hawa dingin mendadak menyusup ke dalam sumsum tulangnya.“Hilang?” suaranya tercekat.“Bagaimana bisa, Smith? Ke mana dia? Kenapa dia menghilang? Bagaimana dengan pekerjaannya?” Serangkaian pertanyaannya
Di Bar yang Dipenuhi Asap dan DosaSmith melangkah masuk ke dalam bar dengan langkah yang tegas dan penuh tujuan. Cahaya remang-remang memantulkan bayangannya di lantai kayu yang telah lama aus oleh waktu dan dosa.Aroma alkohol bercampur parfum mahal melayang di udara, menguar bersama gelak tawa para penghuni malam.Dan di sana, di sudut ruangan yang dikelilingi oleh wanita-wanita bergaun mini dan tawa menggoda, duduklah Louis—pria yang seharusnya menjadi saudara, tetapi kini lebih terasa seperti musuh dalam selubung bayangan.Smith menghentikan langkahnya tepat di hadapan Louis, menatapnya dengan sorot dingin yang mengiris seperti bilah pedang tajam."Apa yang kau lakukan di sini, Louis? Kenapa kau menghilang begitu saja bahkan tugasmu diserahkan pada Reiner?" suaranya terdengar dalam, seperti gemuruh petir sebelum badai.Louis menegakkan tubuhnya sedikit, sebuah senyum tipis—nyaris seperti ejekan—terukir di wajahnya.Dengan santai, ia mengangkat gelas whiskey di tangannya, menggoya
Louis mengerutkan kening, sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan yang pekat.Dalam ribuan kemungkinan yang pernah ia bayangkan, skenario ini tidak pernah menjadi salah satunya."Apa maksudmu, Smith? Kenapa Daddy melakukan itu padamu?" tanyanya, suaranya hampir tertelan kebisingan bar yang mulai surut seiring malam semakin larut.Smith menatap saudara kembarnya dengan mata yang penuh ketegangan, seolah setiap kata yang akan diucapkannya adalah serpihan kaca yang siap melukai siapa pun yang mendengarnya."Aku tahu kau pasti tidak akan percaya dengan tindakan Daddy padaku sampai menjebak Laura agar bisa menikah denganku," ujarnya, suaranya berat dengan emosi yang tertahan.Louis menelan ludahnya, mengamati ekspresi Smith yang jauh lebih serius daripada sebelumnya."Namun, inilah kenyataannya," lanjut Smith, menegakkan punggungnya seolah berusaha menahan beban yang terus menghantamnya dari berbagai sisi."Daddy sendiri yang memberitahuku bahwa dia sengaja melakukan itu. Alasannya? Per
“Wow…” Bisikan itu lolos dari bibir Laura, terhempas bersama desir angin yang membelai lembut rambutnya.Matanya yang bening bagai kristal terpantul cahaya matahari senja, menangkap keindahan lanskap New Zealand yang terbentang di hadapannya—bukit-bukit hijau bergulung-gulung seperti ombak yang membeku, danau sebening kaca memantulkan warna langit yang keemasan, serta gunung-gunung kokoh yang berdiri gagah di kejauhan.Smith mendekat, kehangatan tubuhnya menyelimuti Laura saat ia melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan melindungi.Bibirnya menyentuh pucuk kepala Laura sebelum suaranya yang berat dan berlapis kelembutan berbisik di telinganya. “Kau menyukai tempat ini, hm?”Laura menoleh, mata mereka bertaut dalam sorot penuh cahaya senja. Bibirnya melengkung dalam senyum yang tak terbendung, seolah hatinya telah ditawan oleh keindahan tak hanya tempat ini, tapi juga pria yang kini berada di sampingnya.“Ya. Tempat ini sangat cantik. A
“Smith, ayo! Aku sudah siap menjelajahi pegunungan itu hari ini!” Laura menghampiri Smith yang masih menyesap kopinya.Ia terkekeh melihat tingkah Laura yang begitu antusias ingin menikmati pemandangan di sana.“Baiklah. Tunggu sebentar, aku menghabiskan kopiku terlebih dahulu.”Laura mengangguk. Ia akan bersabar menunggu Smith yang masih ingin menikmati kopinya itu.Hingga lima menit kemudian, Smith dan Laura keluar rumah dan siap menjelajahi keindangan alami di sana.Udara sejuk khas New Zealand membelai lembut kulit Laura saat ia berjalan di samping Smith, tangan mereka saling bertaut erat seolah enggan terpisah.Di hadapan mereka, hamparan perbukitan hijau membentang sejauh mata memandang, sementara jalan setapak yang mereka lalui diapit oleh padang rumput yang luas dan pepohonan yang menjulang gagah.Langit biru cerah tanpa awan menjadi latar sempurna bagi perjalanan mereka hari ini. Burung-burung berkicau riang, seakan turut menyambut dua insan yang tengah menikmati kebersamaan
Fajar baru saja merekah, tapi Stella sudah terjaga. Ia duduk di tepi ranjang dengan ponselnya tergenggam erat, tatapan matanya melekat pada layar yang menampilkan sebuah pesan tak dikenal.“Berhenti mengganggu hidup Smith. Atau kau akan merasakan neraka di dunia.”Alih-alih merasa takut, Stella justru tersenyum sinis. Tawa kecilnya menggema di kamar yang sunyi, serupa bisikan iblis yang tengah bersiap memainkan permainannya sendiri.“Peneror murahan,” gumamnya, membuang ponsel itu ke atas meja rias. Seberapa banyak pun ancaman yang datang, ia tidak akan mundur. Tidak akan pernah.Dengan gerakan anggun, Stella berdiri dan berjalan ke depan cermin besar yang terpajang di sudut ruangan.Jemarinya yang ramping mengambil lipstik merah dari meja rias, lalu perlahan menggoreskannya ke bibirnya yang penuh.Warna merah darah itu menyala tajam, seperti simbol dari ambisi dan obsesi yang tak pernah padam.Ia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit, mengamati bayangan dirinya yang terpantul di
Malam menyelimuti kota dengan gelap yang pekat, hanya diterangi oleh kelip lampu jalan yang berpendar samar.Di sudut sebuah gudang tua yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kehidupan, Smith berdiri dengan sorot mata dingin, menatap sosok di hadapannya.Bobby, pria berbadan kekar dengan rahang keras bak batu dan mata yang tajam seperti pisau, menyeringai tipis.Tangan kasarnya menyulut sebatang rokok, asapnya mengepul ke udara, menambah suasana kelam di antara mereka."Jadi, kau ingin aku meneror wanita itu?" suara Bobby berat dan kasar, penuh nada ketertarikan yang berbahaya.Smith tidak menunjukkan ekspresi gentar sedikit pun. Ia hanya mengangguk, suaranya terdengar tegas dan dingin."Stella sudah semakin menggila. Aku ingin dia berhenti mengganggu rumah tanggaku. Apa pun yang kau lakukan untuk membuatnya jera, aku serahkan padamu."Bobby tertawa kecil, rokoknya hampir habis di antara jemarinya yang kekar. "Lucu sekali. Seorang Smith Alexander, pria yang begitu berkuasa, memilih menyele
Pintu rumah terbuka dengan bunyi klik pelan, menandakan kepulangan Smith setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan.Rambutnya sedikit berantakan, dasinya sudah longgar, dan ekspresi wajahnya menunjukkan betapa lelahnya ia setelah kembali ke rutinitas kantornya.Bahkan, waktu istirahatnya tadi hanya cukup untuk makan siang bersama Louis.Laura yang tengah duduk di sofa langsung bangkit begitu melihat suaminya memasuki ruangan. Dengan senyum lembut, ia melangkah mendekat dan langsung mencium pipi Smith."Selamat datang di rumah, Sayang," bisiknya lembut, berharap bisa sedikit mengusir penat di wajah pria itu.Smith mendesah pelan, lalu tanpa ragu menarik Laura ke dalam pelukannya. Ia mencium kening wanita itu dengan penuh kasih sebelum mengubur wajahnya di bahu Laura."Astaga, Laura... Aku benar-benar lelah hari ini. Pekerjaan menumpuk setelah satu minggu penuh kita liburan. Rasanya seperti dihukum karena bersenang-senang."Laura terkekeh mendengar keluhan suaminya. Ia mengusap p
Setelah satu minggu penuh menikmati keindahan New Zealand, Laura dan Smith akhirnya kembali ke New York.Begitu menginjakkan kaki di kantornya, Smith langsung disambut oleh tumpukan berkas yang menggunung di meja kerjanya.Vincent dan Louis sudah menunggunya dengan ekspresi yang sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan.Smith menghela napas panjang sebelum menjatuhkan diri ke kursi dengan lemas. "Kalian serius? Aku baru sampai dan langsung disuguhi ini semua?" keluhnya sambil menunjuk setumpuk dokumen yang sudah tertata rapi menunggunya.Vincent menyeringai. "Apa boleh buat? Ada banyak hal yang harus kau urus, bos besar."Louis menepuk bahu saudara kembarnya dan menahan tawa. "Selamat datang kembali di dunia nyata, Smith."Smith menggerutu sambil membuka salah satu berkas. "Sumpah, ini benar-benar menyebalkan. Aku masih ingin bersantai, menikmati waktu dengan Laura, bukannya terjebak dalam tumpukan laporan keuangan dan pengecekan proyek!"Louis tak bisa menahan tawa kali ini. "Kau
Pagi di New Zealand terasa begitu segar. Cahaya matahari menyelinap di antara dedaunan, angin sepoi-sepoi berembus lembut membawa aroma laut yang khas.Laura dan Smith berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar kota kecil yang ramai.Hari ini mereka memutuskan untuk pergi ke pasar swalayan dan berbelanja beberapa barang, termasuk oleh-oleh dan, tentu saja, perlengkapan untuk calon bayi mereka.Sesampainya di pasar swalayan, mata Laura berbinar melihat deretan baju bayi yang menggemaskan tersusun rapi di rak-rak kayu.Berbagai warna pastel yang lembut dengan motif hewan-hewan khas New Zealand seperti domba dan burung kiwi terpajang begitu cantik.“Lihat ini, Smith!” seru Laura antusias sambil mengambil dua setelan baju bayi berwarna putih dengan motif domba kecil. “Bukankah ini lucu sekali?”Smith yang tengah memperhatikan rak sepatu bayi menoleh dan tersenyum. “Lucu sekali. Aku suka motifnya.”Laura mengelus kain baju itu dengan jemarinya, membayangkan kedua bayi kecil mereka meng
Malam telah menyelimuti New Zealand dengan kehangatan cahaya bulan dan gemerlap bintang-bintang yang bertaburan di langit.Angin lembut berbisik di antara dedaunan, membawa aroma laut yang segar ke udara.Di sebuah restoran mewah dengan pemandangan laut yang luas, Laura dan Smith duduk berdua di meja yang telah disiapkan secara eksklusif untuk mereka.Lilin-lilin kecil menerangi meja makan mereka, menciptakan suasana yang intim dan hangat.Gelas-gelas kristal yang berkilauan memantulkan cahaya temaram lilin, sementara hidangan istimewa tersaji di hadapan mereka—steak wagyu pilihan untuk Smith dan salmon panggang dengan saus lemon butter untuk Laura.Laura menatap sekeliling, merasa aneh dengan suasana yang begitu istimewa. Pelayan-pelayan terlihat tersenyum padanya dengan penuh arti, seolah-olah mereka tahu sesuatu yang ia tidak ketahui.Namun, pikirannya mengabaikannya. Yang terpenting, saat ini ia bersama Smith, menikmati momen berdua.“Terima kasih sudah membawaku ke sini,” ujar La
“Smith, ayo! Aku sudah siap menjelajahi pegunungan itu hari ini!” Laura menghampiri Smith yang masih menyesap kopinya.Ia terkekeh melihat tingkah Laura yang begitu antusias ingin menikmati pemandangan di sana.“Baiklah. Tunggu sebentar, aku menghabiskan kopiku terlebih dahulu.”Laura mengangguk. Ia akan bersabar menunggu Smith yang masih ingin menikmati kopinya itu.Hingga lima menit kemudian, Smith dan Laura keluar rumah dan siap menjelajahi keindangan alami di sana.Udara sejuk khas New Zealand membelai lembut kulit Laura saat ia berjalan di samping Smith, tangan mereka saling bertaut erat seolah enggan terpisah.Di hadapan mereka, hamparan perbukitan hijau membentang sejauh mata memandang, sementara jalan setapak yang mereka lalui diapit oleh padang rumput yang luas dan pepohonan yang menjulang gagah.Langit biru cerah tanpa awan menjadi latar sempurna bagi perjalanan mereka hari ini. Burung-burung berkicau riang, seakan turut menyambut dua insan yang tengah menikmati kebersamaan
“Wow…” Bisikan itu lolos dari bibir Laura, terhempas bersama desir angin yang membelai lembut rambutnya.Matanya yang bening bagai kristal terpantul cahaya matahari senja, menangkap keindahan lanskap New Zealand yang terbentang di hadapannya—bukit-bukit hijau bergulung-gulung seperti ombak yang membeku, danau sebening kaca memantulkan warna langit yang keemasan, serta gunung-gunung kokoh yang berdiri gagah di kejauhan.Smith mendekat, kehangatan tubuhnya menyelimuti Laura saat ia melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan melindungi.Bibirnya menyentuh pucuk kepala Laura sebelum suaranya yang berat dan berlapis kelembutan berbisik di telinganya. “Kau menyukai tempat ini, hm?”Laura menoleh, mata mereka bertaut dalam sorot penuh cahaya senja. Bibirnya melengkung dalam senyum yang tak terbendung, seolah hatinya telah ditawan oleh keindahan tak hanya tempat ini, tapi juga pria yang kini berada di sampingnya.“Ya. Tempat ini sangat cantik. A
Louis mengerutkan kening, sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan yang pekat.Dalam ribuan kemungkinan yang pernah ia bayangkan, skenario ini tidak pernah menjadi salah satunya."Apa maksudmu, Smith? Kenapa Daddy melakukan itu padamu?" tanyanya, suaranya hampir tertelan kebisingan bar yang mulai surut seiring malam semakin larut.Smith menatap saudara kembarnya dengan mata yang penuh ketegangan, seolah setiap kata yang akan diucapkannya adalah serpihan kaca yang siap melukai siapa pun yang mendengarnya."Aku tahu kau pasti tidak akan percaya dengan tindakan Daddy padaku sampai menjebak Laura agar bisa menikah denganku," ujarnya, suaranya berat dengan emosi yang tertahan.Louis menelan ludahnya, mengamati ekspresi Smith yang jauh lebih serius daripada sebelumnya."Namun, inilah kenyataannya," lanjut Smith, menegakkan punggungnya seolah berusaha menahan beban yang terus menghantamnya dari berbagai sisi."Daddy sendiri yang memberitahuku bahwa dia sengaja melakukan itu. Alasannya? Per