“Tolong hentikan! Aku bukan wanita panggilan!” teriak Laura, suaranya pecah di antara ketakutan dan ketegasan yang tak mungkin ia sembunyikan. Mata cokelatnya penuh kesedihan, memandang pria yang sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dengan ketenangan yang sudah retak, Laura Angelina mengeratkan jemari kecilnya di ujung lengan bajunya, tubuhnya gemetar di bawah pandangan dingin dan liar pria itu.“Berhenti bertingkah layaknya wanita suci! Aku sudah membayarmu, maka kau harus melayaniku malam ini,” geramnya, nadanya penuh amarah bercampur mabuk. Ia meraih tangan Laura dengan tangan kasar, seakan menganggapnya tak lebih dari benda yang bisa ia miliki. Dengan sekuat tenaga, Laura meronta, mendorong bahu pria itu seolah nyawanya tergantung pada kekuatannya sendiri. “Aku mohon, jangan lakukan ini. Sudah kukatakan berulang kali padamu. Kau sedang mabuk, Tuan!” pekiknya. Tangannya yang mungil memukul-mukul dada pria itu, namun itu tak lebih dari gigitan nyamuk baginya.“Aku tidak
“Ada apa ini?” tanya Vincent, suaranya serak, seraya memandang bergantian antara Laura dan putranya, matanya dipenuhi oleh ketegangan yang berkilat seperti kilat di tengah badai.Laura, dengan wajah memucat dan telunjuknya gemetar, menunjuk ke arah pria di hadapannya. Wajahnya penuh luka tak kasatmata yang menggores hingga ke dasar jiwanya."Pria ini! Pria ini yang telah memperkosa saya, Tuan!” serunya dengan suara bergetar, nadanya seperti ranting rapuh yang terinjak. Mata Laura berkilauan, ditahan oleh air mata yang enggan jatuh, seakan air mata itu sendiri pun takut pada kenyataan pahit yang baru saja terucap.Brak! Suara meja dihantam menggema di ruangan yang mendadak sunyi, seperti helaian malam yang terbelah oleh gelegar petir.“Kurang ajar!” teriak Vincent, matanya menatap tajam seperti mata harimau yang siap menerkam. Wajahnya merah padam, penuh dengan gejolak yang tak bisa ia bendung.Dia memandang wajah putra sulungnya dengan amarah yang membara, seolah setiap syaraf di tubu
Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertol
“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi
"Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja
“Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba
Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu
"Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny
"Smith?"Suara Vincent terdengar tenang namun mengandung nada kewaspadaan, menyelinap di antara tumpukan berkas dan dentingan samar jam meja yang menghitung waktu dengan kesabaran tanpa batas.Ia melangkah mendekati putranya, yang masih tenggelam dalam lautan dokumen dan angka-angka yang tak berujung.Smith mendongak, sorot matanya menangkap wajah sang ayah yang dipenuhi garis-garis kebijaksanaan."Ada apa, Dad?" tanyanya, suaranya terdengar datar, namun ada sedikit ketegangan yang bersembunyi di balik nada itu.Vincent menghela napas, lalu duduk di sofa dengan gerakan yang tertata, seakan tengah menimbang-nimbang setiap kata yang akan diucapkannya.Pandangannya tak lepas dari Smith, yang masih setia di balik meja kerjanya, seakan tembok kayu mahoni itu menjadi benteng terakhirnya."Kau mendapat kabar dari Louis? Sudah satu minggu ini dia menghilang dari kantor. Bahkan, dia sudah menyerahkan semua pekerjaannya pada Reiner."Alis Smith terangkat, tatapannya mencerminkan keterkejutan ya
“Kondisi kedua janinnya sangat sehat dan baik. Dan untuk jenis kelaminnya adalah … satu laki-laki dan satu lagi perempuan.”Kata-kata itu bergema di ruangan, berpendar di udara seperti denting kristal yang menari di angin. Laura menganga, matanya membulat penuh keterkejutan.Ia tahu hari ini mereka akan mengetahui jenis kelamin buah hati mereka, tetapi mendengar langsung kabar itu dari mulut sang dokter terasa seperti keajaiban yang melampaui impian.“Berpasangan,” gumam Smith, seolah membiarkan kata itu mengendap di relung hatinya.Ia menoleh ke arah Laura, senyum melengkung di bibirnya—senyum yang penuh dengan harapan, kebahagiaan, dan cinta yang begitu dalam.Dokter kandungan mereka mengangguk penuh keramahan. “Selalu dijaga kondisi kesehatannya ya, Nyonya, Tuan,” ucapnya lembut, mengingatkan dengan penuh perhatian.Smith menoleh kembali ke arah dokter, nada suaranya penuh antusiasme yang tak dapat disembunyikan.“Tentu saja, Dokter. Kami bahkan sudah tak sabar ingin segera melihat
“Kau sudah pulang, Smith?” Laura menghampiri Smith yang baru tiba di rumah.Langit senja menyisakan warna keemasan di cakrawala, menyusup lembut melalui jendela kaca apartemen mereka.Lampu-lampu kota mulai berkelip bagai bintang-bintang kecil yang jatuh ke bumi.Smith membuka pintu dengan langkah berat, kelelahan selepas hari panjang di kantor.Namun, semua rasa letih itu menguap begitu saja saat pandangannya jatuh pada sosok yang menunggunya di ambang ruang tamu.“Sambutan yang sungguh hangat dan meriah,” gumam Smith sembari menatap penuh takjub istrinya yang begitu cantik dan seksi.Laura berdiri di sana, siluetnya disaput cahaya remang. Pakaian yang ia kenakan—sehelai lingerie hitam yang menerawang—membingkai tubuhnya dengan sempurna, seakan mengundang dan menantang dalam satu tarikan napas.Rambutnya yang tergerai jatuh membingkai wajahnya, sementara bibirnya melengkung membentuk senyum yang hanya dimiliki seorang istri untuk suaminya.“Aku selalu menyambutmu dengan penuh kehanga
"Smith? Ke mana saja kau, Smith? Kenapa baru menemuiku?" suara Stella meluncur seperti desisan ular berbisa, bergetar di udara yang mendadak terasa menyesakkan.Dengan mata yang berkaca-kaca, ia melangkah mendekat, hendak merengkuh pria itu dalam pelukannya.Namun, Smith menghentikannya dengan gerakan kecil yang lebih tajam dari sebilah pisau. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini," suaranya rendah, nyaris tenggelam dalam bayang-bayang malam. "Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu."Kening Stella mengerut, matanya yang bagaikan dua batu safir yang disiram cahaya lilin, menatapnya lekat-lekat. "Ada apa, Smith? Kau sudah menceraikan wanita itu, kan?"Smith menggeleng perlahan. Gerakannya seperti daun kering yang jatuh tanpa daya ke tanah. "Justru itu yang ingin aku katakan padamu, Stella. Aku … aku tidak bisa menceraikan Laura. Keputusanku adalah tetap mempertahankan pernikahanku dengannya."Udara di antara mereka mendadak membeku. Mata Stella membelalak, api yang berkobar di dalam
“Lepaskan tangan Laura!” desis Smith, suaranya rendah namun menyiratkan ancaman tersembunyi.Ia menarik tangan Laura dengan gerakan tegas, matanya yang gelap seperti jurang tanpa dasar menatap wajah Louis yang memerah oleh amarah.“Aku tidak pernah memaksa Laura untuk bertahan denganku,” ujarnya, suaranya dingin bak angin malam yang menyelinap menusuk tulang.“Namun, aku selalu berupaya menjadi lebih baik agar Laura tidak pergi dariku.” Tatapan tajamnya, seolah pedang berkilauan dalam kegelapan, tidak lepas dari Louis yang menahan gemuruh di dadanya.“Sudah, Smith. Kau tidak perlu menjelaskan apa pun pada Louis,” suara Laura meluncur lembut seperti angin sepoi yang mencoba meredam api yang berkobar.Namun, Smith masih memancarkan aura kaku, tanda bahwa hatinya belum benar-benar tenang.“Kau ingin aku mati sejak lama, huh? Sebaiknya kau saja yang mati duluan, Louis!” Nada suaranya menggema penuh kemarahan yang dingin, seperti pecahan es yang menghujam dasar laut.Ia mencengkeram tangan
“Laura?” suara Louis pecah seperti melodi penuh harap di ruang yang sunyi.Sebuah senyum lebar merekah di wajahnya, matanya berbinar seperti menemukan oase di tengah gurun ketika melihat Laura memasuki ruang kerjanya.Ia segera berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu dengan langkah penuh semangat.“Hi, Louis. Apa kabar?” tanya Laura, suaranya selembut embusan angin pagi, membawa kesejukan yang menenangkan namun menyimpan ketegangan tersembunyi.“Kabarku baik. Tapi, ada apa, Laura? Tumben sekali kau datang kemari tanpa mengabariku terlebih dahulu. Smith tahu kau datang ke sini?”Rentetan pertanyaan meluncur dari bibir Louis, nadanya mencerminkan rasa senang yang nyaris tak terkendali.Laura mengangguk pelan, gerakan kecil yang membawa arti besar. “Ya, Smith tahu aku datang. Bisa kita bicara, Louis?”Pria itu hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, lalu mempersilakan Laura untuk duduk di sofa empuk di ruangannya.Louis sendiri mengambil tempat duduk di hadapan wanita itu,
“Smith tidak akan melepaskan Laura.” Bayangan kegelapan menyelimuti wajah Stella, setajam pisau yang siap menusuk jantungnya.Ia menoleh cepat ke arah Louis, mata bak bara api yang membara. “What? Kau yakin, huh? Kenapa bisa? Apakah ini karena ayah kalian?” tanyanya, suara bergetar menahan amarah yang membuncah bagai lautan tak bertepi.“Ya. Bisa jadi karena ayahku dan Laura tampaknya sudah mencintai Smith.” Louis menyunggingkan senyum tipis, sebuah senyum yang terasa dingin dan menusuk seperti embun pagi di musim gugur. Senyum yang menyimpan rahasia kelam di baliknya.“Kau tidak akan bisa mengambil hati Smith lagi jika Smith sudah mencintai Laura.” Louis memutar-mutar gelas berisi wine itu, cahaya lilin menari-nari di permukaan anggur merah yang pekat, seperti darah yang mengalir deras.Stella mengepalkan tangannya dengan erat, urat-urat nadi membengkak di bawah kulit pucatnya.“Tidak! Smith sudah berjanji padaku akan menceraikan wanita itu, bukan malah mencintainya! Menyebalkan, arg
Louis memasuki ruangan Vincent tanpa mengetuk lebih dulu, pintu kayu besar itu berderit perlahan, seolah menegaskan ketidaksabarannya.Dengan langkah cepat yang penuh determinasi, ia berdiri di hadapan ayahnya, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menusuk.“Apa kau yakin mau memberi Smith kesempatan?” tanyanya tanpa basa-basi, nadanya seperti badai yang baru saja menghantam ketenangan.Vincent, yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya, mendongak perlahan. Ia menaikkan satu alis, ekspresinya tetap tenang seperti danau di tengah malam.“Apa maksudmu, Louis? Semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, apalagi jika dia bersedia berubah,” ucapnya santai, namun dengan nada yang mengandung otoritas tak terbantahkan.Louis mengepalkan tangan, jemarinya menggenggam erat seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.“Bagaimana jika dia menyakiti Laura lagi? Bahkan hingga kini, Smith belum menyelesaikan hubungannya dengan Stella!” serunya, suaranya meninggi seperti api yang berko
“Kau sudah memutuskan, Smith?” tanya Vincent, matanya menatap lekat, seolah mencoba menggali hingga ke dasar hati putranya.Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tersembunyi di balik nada itu, seperti ombak yang mengancam di tengah lautan yang tampak damai.Smith menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Ya. Aku sudah memutuskan. Aku akan memilih Laura. Laura juga sudah memaafkanku,” jawabnya, suaranya tegas, namun ada kelembutan yang samar, seperti daun yang jatuh perlahan dari pohon di musim gugur.Vincent mengamati wajah putranya, membaca setiap lekuk ketegasan yang tergambar di sana.Sorot matanya menyelidik, mencoba memastikan bahwa keputusan itu bukan sekadar kata-kata kosong.“Aku tidak ingin kau menyakitinya lagi, Smith. Sudah cukup apa yang terjadi di awal pernikahan kalian,” ujar Vincent, suaranya terdengar seperti doa yang dipanjatkan dalam keheningan malam.Smith mengangguk, menatap pria yang selalu menjadi pilar teguh dalam hidupnya. Ada sesuatu di mata Vincent yang mem