“Kondisi kedua janinnya sangat sehat dan baik. Dan untuk jenis kelaminnya adalah … satu laki-laki dan satu lagi perempuan.”Kata-kata itu bergema di ruangan, berpendar di udara seperti denting kristal yang menari di angin. Laura menganga, matanya membulat penuh keterkejutan.Ia tahu hari ini mereka akan mengetahui jenis kelamin buah hati mereka, tetapi mendengar langsung kabar itu dari mulut sang dokter terasa seperti keajaiban yang melampaui impian.“Berpasangan,” gumam Smith, seolah membiarkan kata itu mengendap di relung hatinya.Ia menoleh ke arah Laura, senyum melengkung di bibirnya—senyum yang penuh dengan harapan, kebahagiaan, dan cinta yang begitu dalam.Dokter kandungan mereka mengangguk penuh keramahan. “Selalu dijaga kondisi kesehatannya ya, Nyonya, Tuan,” ucapnya lembut, mengingatkan dengan penuh perhatian.Smith menoleh kembali ke arah dokter, nada suaranya penuh antusiasme yang tak dapat disembunyikan.“Tentu saja, Dokter. Kami bahkan sudah tak sabar ingin segera melihat
"Smith?"Suara Vincent terdengar tenang namun mengandung nada kewaspadaan, menyelinap di antara tumpukan berkas dan dentingan samar jam meja yang menghitung waktu dengan kesabaran tanpa batas.Ia melangkah mendekati putranya, yang masih tenggelam dalam lautan dokumen dan angka-angka yang tak berujung.Smith mendongak, sorot matanya menangkap wajah sang ayah yang dipenuhi garis-garis kebijaksanaan."Ada apa, Dad?" tanyanya, suaranya terdengar datar, namun ada sedikit ketegangan yang bersembunyi di balik nada itu.Vincent menghela napas, lalu duduk di sofa dengan gerakan yang tertata, seakan tengah menimbang-nimbang setiap kata yang akan diucapkannya.Pandangannya tak lepas dari Smith, yang masih setia di balik meja kerjanya, seakan tembok kayu mahoni itu menjadi benteng terakhirnya."Kau mendapat kabar dari Louis? Sudah satu minggu ini dia menghilang dari kantor. Bahkan, dia sudah menyerahkan semua pekerjaannya pada Reiner."Alis Smith terangkat, tatapannya mencerminkan keterkejutan ya
“Ada apa, Smith?” suara Laura meluncur pelan, nyaris seperti bisikan angin malam yang menyelinap masuk melalui celah jendela.Ia melangkah mendekat, bayangannya terpantul samar di lantai marmer yang dingin. Smith masih duduk di kursinya, punggungnya sedikit membungkuk, seolah menanggung beban dunia di atas bahunya.Jarum jam di dinding telah lama melewati angka sepuluh, namun ketegangan di ruangan itu menggantung seperti awan kelabu sebelum badai.Smith mengangkat wajahnya, sorot matanya kelam, seperti pusaran lautan yang menyembunyikan rahasia di dasarnya.“Aku … belum memberitahumu tentang Louis,” suaranya terdengar serak, seakan setiap kata yang keluar menyesakkan tenggorokannya. “Dia menghilang selama satu minggu ini.”Jantung Laura berdegup lebih cepat. Tubuhnya menegang, seolah hawa dingin mendadak menyusup ke dalam sumsum tulangnya.“Hilang?” suaranya tercekat.“Bagaimana bisa, Smith? Ke mana dia? Kenapa dia menghilang? Bagaimana dengan pekerjaannya?” Serangkaian pertanyaannya
Di Bar yang Dipenuhi Asap dan DosaSmith melangkah masuk ke dalam bar dengan langkah yang tegas dan penuh tujuan. Cahaya remang-remang memantulkan bayangannya di lantai kayu yang telah lama aus oleh waktu dan dosa.Aroma alkohol bercampur parfum mahal melayang di udara, menguar bersama gelak tawa para penghuni malam.Dan di sana, di sudut ruangan yang dikelilingi oleh wanita-wanita bergaun mini dan tawa menggoda, duduklah Louis—pria yang seharusnya menjadi saudara, tetapi kini lebih terasa seperti musuh dalam selubung bayangan.Smith menghentikan langkahnya tepat di hadapan Louis, menatapnya dengan sorot dingin yang mengiris seperti bilah pedang tajam."Apa yang kau lakukan di sini, Louis? Kenapa kau menghilang begitu saja bahkan tugasmu diserahkan pada Reiner?" suaranya terdengar dalam, seperti gemuruh petir sebelum badai.Louis menegakkan tubuhnya sedikit, sebuah senyum tipis—nyaris seperti ejekan—terukir di wajahnya.Dengan santai, ia mengangkat gelas whiskey di tangannya, menggoya
Louis mengerutkan kening, sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan yang pekat.Dalam ribuan kemungkinan yang pernah ia bayangkan, skenario ini tidak pernah menjadi salah satunya."Apa maksudmu, Smith? Kenapa Daddy melakukan itu padamu?" tanyanya, suaranya hampir tertelan kebisingan bar yang mulai surut seiring malam semakin larut.Smith menatap saudara kembarnya dengan mata yang penuh ketegangan, seolah setiap kata yang akan diucapkannya adalah serpihan kaca yang siap melukai siapa pun yang mendengarnya."Aku tahu kau pasti tidak akan percaya dengan tindakan Daddy padaku sampai menjebak Laura agar bisa menikah denganku," ujarnya, suaranya berat dengan emosi yang tertahan.Louis menelan ludahnya, mengamati ekspresi Smith yang jauh lebih serius daripada sebelumnya."Namun, inilah kenyataannya," lanjut Smith, menegakkan punggungnya seolah berusaha menahan beban yang terus menghantamnya dari berbagai sisi."Daddy sendiri yang memberitahuku bahwa dia sengaja melakukan itu. Alasannya? Per
“Wow…” Bisikan itu lolos dari bibir Laura, terhempas bersama desir angin yang membelai lembut rambutnya.Matanya yang bening bagai kristal terpantul cahaya matahari senja, menangkap keindahan lanskap New Zealand yang terbentang di hadapannya—bukit-bukit hijau bergulung-gulung seperti ombak yang membeku, danau sebening kaca memantulkan warna langit yang keemasan, serta gunung-gunung kokoh yang berdiri gagah di kejauhan.Smith mendekat, kehangatan tubuhnya menyelimuti Laura saat ia melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan melindungi.Bibirnya menyentuh pucuk kepala Laura sebelum suaranya yang berat dan berlapis kelembutan berbisik di telinganya. “Kau menyukai tempat ini, hm?”Laura menoleh, mata mereka bertaut dalam sorot penuh cahaya senja. Bibirnya melengkung dalam senyum yang tak terbendung, seolah hatinya telah ditawan oleh keindahan tak hanya tempat ini, tapi juga pria yang kini berada di sampingnya.“Ya. Tempat ini sangat cantik. A
“Smith, ayo! Aku sudah siap menjelajahi pegunungan itu hari ini!” Laura menghampiri Smith yang masih menyesap kopinya.Ia terkekeh melihat tingkah Laura yang begitu antusias ingin menikmati pemandangan di sana.“Baiklah. Tunggu sebentar, aku menghabiskan kopiku terlebih dahulu.”Laura mengangguk. Ia akan bersabar menunggu Smith yang masih ingin menikmati kopinya itu.Hingga lima menit kemudian, Smith dan Laura keluar rumah dan siap menjelajahi keindangan alami di sana.Udara sejuk khas New Zealand membelai lembut kulit Laura saat ia berjalan di samping Smith, tangan mereka saling bertaut erat seolah enggan terpisah.Di hadapan mereka, hamparan perbukitan hijau membentang sejauh mata memandang, sementara jalan setapak yang mereka lalui diapit oleh padang rumput yang luas dan pepohonan yang menjulang gagah.Langit biru cerah tanpa awan menjadi latar sempurna bagi perjalanan mereka hari ini. Burung-burung berkicau riang, seakan turut menyambut dua insan yang tengah menikmati kebersamaan
Malam telah menyelimuti New Zealand dengan kehangatan cahaya bulan dan gemerlap bintang-bintang yang bertaburan di langit.Angin lembut berbisik di antara dedaunan, membawa aroma laut yang segar ke udara.Di sebuah restoran mewah dengan pemandangan laut yang luas, Laura dan Smith duduk berdua di meja yang telah disiapkan secara eksklusif untuk mereka.Lilin-lilin kecil menerangi meja makan mereka, menciptakan suasana yang intim dan hangat.Gelas-gelas kristal yang berkilauan memantulkan cahaya temaram lilin, sementara hidangan istimewa tersaji di hadapan mereka—steak wagyu pilihan untuk Smith dan salmon panggang dengan saus lemon butter untuk Laura.Laura menatap sekeliling, merasa aneh dengan suasana yang begitu istimewa. Pelayan-pelayan terlihat tersenyum padanya dengan penuh arti, seolah-olah mereka tahu sesuatu yang ia tidak ketahui.Namun, pikirannya mengabaikannya. Yang terpenting, saat ini ia bersama Smith, menikmati momen berdua.“Terima kasih sudah membawaku ke sini,” ujar La
"Lakukan apa pun yang terbaik bagi istri dan anak-anak saya, Dok. Lagi pula, istri saya sudah sangat kesakitan, saya tidak tega melihatnya."Smith berbicara seraya menatap dokter kandungan tersebut dengan seksama. Dokter pun mengangguk, siap melaksanakan prosedur operasi caesar.Namun, sebelum nya Smith mesti menandatangani dulu surat persetujuan karena prosedur ini bisa dibilang sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan.Setelah selesai semua persyaratan, Smith langsung menemui Laura yang sedang kesakitan di ruang bersalin. Smith mengabarkan kalau Laura akan dioperasi demi keselamatan buah hati mereka."Gak papa, kan, kalau operasi? Kondisi kamu tidak memungkinkan, Sayang. Plasentanya menghalangi jalan lahir dan itu akan membahayakan anak-anak kita. Begitu kata dokter," tanya Smith seraya menjelaskan.Laura sudah pasrah, apa pun tindakan yang akan diambil terhadapnya, Laura tidak akan mencegah apalagi melawan. Melahirkan secara normal maupun caesar baginya sama saja, sama-sama memerl
Setelah mendengar kabar bahwa Laura kemungkinan akan melahirkan dalam waktu dua minggu ke depan, Smith mempersiapkan segalanya salah satunya yakni dengan mengambil cuti dari kantornya.Meskipun dia adalah seorang CEO, pemilik perusahaan yang tentu memiliki kuasa, Smith tetap bersikap profesional dengan mengajukan cuti secara resmi. Untuk sementara, posisi dan pekerjaannya akan ditangani oleh Louis, adiknya."Smith, sebenarnya tanpa ada yang menggantikanmu pun sepertinya bukan masalah besar, pekerjaan CEO, kan, tinggal ongkang-ongkang kaki saja," ujar Louis membuat sang kakak sontak mendelikkan matanya."Jadi, begitu yang kamu pikirkan selama ini, aku hanya ongkang-ongkang kaki saja?" Smith menatap Louis dengan seksama."Hehehe, aku hanya bercanda, Smith. Jangan melotot begitu lah, serius amat!" sahut Louis menggaruk kepalanya yang tak gatal."Lihat saja, kamu nanti akan merasakan apa yang aku rasakan. Kamu akan sangat sibuk bahkan melebihi kesibukanku dulu. Kamu akan kewalahan dan men
Smith sangat sigap menuntun Laura yang merasakan sakit seperti kram di perutnya. Dengan tertatih, Laura berjalan menuju mobil yang sudah siap di depan."Jangan-jangan kamu kecapean, Sayang," tebak Smith. "Kalau melahirkan, kan, waktunya belum genap."Smith terus berbicara dengan perasaa resah dan gelisah. Sementara itu, Laura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aktifitas itu cukup mengurangi rasa sakitnya.Saat ini, Laura dan Smith sudah berada di perjalanan ke rumah sakit demi memeriksa keadaan Laura yang sempat merasakan sakit di perutnya.Namun, baru juga setengah perjalanan, sakit yang dirasakan Laura sudah reda bahkan menghilang. Laura yang belum memiliki pengalaman sebelumnya merasa heran, dia ingin mengatakan hal itu pada suaminya tapi merasa enggan."Sayang, apa kamu baik-baik saja? Sakitnya masih terasa?" tanya Smith mengelus perut istrinya. Laura sedikit meringis. "Sepertinya perutku sudah lebih baik, Sayang. Aku juga gak paham kenapa. Apa kita pu
Semenjak makan malam di luar itu, Laura sudah tidak pernah lagi bepergia ke luar rumah demi menjaga kehamilannya yang sangat rentan.Namun, Smith tidak mau membuat Laura jadi jenuh berada di rumah. Dia selalu mengadakan kegiatan apa pun supaya Laura tetap merasa senang berada di rumah.Hari ini, Smith sengaja menyuruh para asisten rumah tangga di rumahnya untuk membersihkan satu ruangan yang lama tidak terpakai. Ruangan itu cukup luas, tapi Smith belum pernah menggunakannya sehingga hanya menjadi gudang barang tak terpakai."Kamu mau menggunakannya jadi ruangan apa, Sayang? Ruang kerja baru kah?" tanya Laura pada suaminya.Smith mengulum senyum, dia masih ingin merahasiakan apa yang akan dibuatnya sekarang."Kok malah senyum-senyum, sih? Nyebelih banget ih." Laura mencubit lengan suaminya.Tak lama kemudian, suara klakson yang cukup keras terdengar dari luar. Smith menarik tangan Laura untuk membawanya ke luar sambil melihat apa yang telah dia beli.Saat keluar dari rumah, Laura langs
Hari beganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa satu bulan lagi Laura diperkirakan akan melahirkan anak pertama sekaligus kedua dia dan Smith.Semakin tua kehamilannya, perut Laura semakin membesar dan hal itu membuat Laura jarang bergerak karena berat. Namun, Laura tidak terbiasa jika harus duduk saja, dia meminta Smith untuk mengajaknya jalan-jalan.Setiap pagi, Smith meluangkan waktu untuk menemani Laura jalan-jalan di sekitar area perumahan. Hal tersebut dilakukan supaya persalinan Laura berjalan dengan lancar."Kamu capek?" tanya Smith ketika Laura berhenti sejenak."Tidak, hanya merasa sedikit sakit di pinggang. Tapi tak apa, kata dokter itu hal yang biasa," jawab Laura."Jangan berlagak baik-baik saja, mau sekuat apa pun seorang ibu hamil, sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Banyak rasa sakit dan derita yang dipikulnya," ujar Smith.Smith lalu mengajak Laura untuk istirahat di salah satu kursi yang ada di pinggir jalan, keduanya minum demi melepas dahaga dan mengganti c
Ucapan Stella yang mengatakan bahwa Smith juga akan masuk penjara dan dirinya akan melahirkan tanpa kehadiran Smith masih terngiang di pikiran Laura. Dia takut kalau ucapan itu akan menjadi kenyataan.Ketika sampai di dalam mobil, Laura langsung mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya. Laura sangat cemas karena tahu kalau Stella adalah orang yang licik dan bisa melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya sekalipun Smith tidak memiliki salah."Sayang, lupakan saja, apa yang dia katakan hanya bentuk ungkapan dari segala kekalahannya. Jangan khawatir, aku akan selalu berada di sisimu. Do'akan aku selalu," ucap Smith dengan tegas."Tentu saja, tapi bagaimana kalau Stella nekad? Zaman sekarang, penjara bukan menjadi tempat paling aman dari kejahatan. "Justru dari dalam sana banyak orang yang bisa bebas melakukan kejahatan jika mereka memiliki uang dan kuasa," tutur Laura.Dia mengutarakan segala kemungkinan yang ada di pikirannya. Hormon kehamilan membuat Laura jadi mudah sekali b
Tok tok tok!Palu diketuk membuat Juan menunduk dengan air mata yang menetes di pipinya. Juan merasa sedih tapi juga sebenarnya lega karena hukumannya tidak terlalu berat.Perasaan itu berbanding terbalik dirasakan oleh Stella yang sebentar lagi mendengar dakwaannya. Stella berpikir kalau Juan saja dijatuhi hukuman selama 5 tahun, bagaimana dengan dirinya yang merupakan otak serta orang yang selama ini tak hentinya melakukan kejahatan kepada Smith."Mana kipas portable milikku? Aku gerah," tanya Stella seraya mengibas-kibaskan tangan ke wajahnya.Belum juga pengacaranya memberikannya, Stella malah sudah dipanggil oleh hakim untuk mengganti Juan duduk di kursi pesakitan. Stella mengambuskan napas berat, dia melangkah maju dengan percaya diri meskipun sebenarnya hatinya sangat takut saat ini."Sayang, aku merasa deg-degan," ucap Smith memegang tangan Laura.Padahal Laura juga sangat gugup sekarang bahkan tangannya mengeluarkan keringat dingin saking gugupnya. Namun, keduanya tetap saling
Tiba masanya pada moment yang ditunggu-tunggu yakni persidangan Stella setelah Smith, Vincent, dan Louis menlewati banyak sekali proses yang tak luput dari halangan dan rintangan.Pagi-pagi sekali, keluarga Smith sudah siap berangkat menuju ke pengadilan. Laura juga ikut, wanita itu hanya ingin menemani serta mendukung suaminya.Sesampainya di sana, Smith, Laura, Louis, dan Vincent yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam melenggang dengan percaya diri menuju ke ruang persidangan. Tak lama kemudian, datang teman-teman Vincent yang merupakan para pengacara untuk mendukung Smith. Mereka siap membela seandainya putusan hakim tak sesuai dengan harapan."Tenang, Smith, para hakim sudah tahu siapa kami dan pasti tidak akan berani macam-macam mengecoh putusan. Lagi pula, kami lihat lawanmu tidak seberapa, kamu pasti menang," ucap salah satu dari pengacara itu."Terima kasih sebelumnya, sungguh kehormatan bagi kami karena mendapat dukungan dari Anda semua. Semoga para hakim bisa seadil-a
Laura terkejut dengan ucapan Vincent barusan. Dia mengambil foto usang tersebut lalu mengamatinya dengan seksama. Vincent mengatakan bahwa dia dan Ferdy--ayah Laura adalah sahabat karib yang sangat dekat. Mereka bukan hanya teman bermain, tapi juga teman dalam membangun bisnis.Ferdy dan Vincent juga selalu merencanakan banyak hal dalam kehidupan mereka dan berjanji akan selalu bersama meski sudah berumah tangga. Jangan sampai membuat tali persahabatan mereka putus."Apa Ayah sungguh-sungguh dengan cerita itu?" tanya Laura. "Aku hanya khawatir kalau Ayah menceritakan cerita bohong demi mengobati luka hatiku," imbuhnya.Vincent tertawa mendengar celotehan Laura, tapi dia paham karena mungkin menantunya itu hanya merasa trauma. Jadi, Vincent harus memakluminya."Tentu saja tidak, Nak. Ayah dan ayahmu memang sedekat itu bahkan apa yang ayah miliki sekarang semuanya ada campur tangannya Ferdy saat dia masih hidup. Kami membangun banyak hal dalam dunia bisnis dan merencanakan perjodohan a