Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Diandra tertegun dengan noda merah berbentuk bibir tertempel di kerah baju suaminya. Meskipun kemejanya berwarna hitam, tetapi warna merah lipstik itu lebih dari cukup jelas untuk menggambarkan. Sementara dirinya tidak memiliki warna lipstik seperti itu. Ponsel berdering mengagetkan lamunan Diandra. Dia terlihat kaget terlebih nama ayahnya yang tertera dalam panggilan video call. "Hai, Ayah?" sapa Diandra yang terlihat dalam layar ponsel Teo. "Andra, gimana kabarmu, Nak?" jawab Teo dengan bibir tersenyum saat melihat gambar putri semata wayangnya ada dalam ponsel yang ia genggam. "Baik, Ayah. Kabar Ayah dan ibu gimana? Sehat-sehat?" "Alhamdulillah, ini, Ibumu mau ngobrol katanya," ucap Teo, lalu menyerahkan ponselnya pada Amira. "Hai, Sayang? Gimana kabarmu? Ibu kangen banget sama kamu, Nak." Ungkapan dari Amira membuat Diandra cukup bersedih, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya seorang diri karena keputusan menikah dengan Dewa merupakan kehendaknya. "Andra baik, Bu. Ibu
Sepasang mata Dewa membulat saat menyadari ada bekas lipstik bibir Magdalena di kerah bajunya. Dewa diam beberapa saat hingga akhirnya Diandra kembali bertanya. "Mas! Jawaaabbbb." Ekspresi Diandra seperti ingin menangis saat suaminya membisu. "Percuma Mas jawan, pasti kamu enggak akan percaya." "Mas aja belum bilang alasannya apa, mana tau kalau aku tidak akan percaya?" "Gini, Sayang. Dengerin Mas baik-baik." Dewa memegang kedua pundak Diandra dengan sorot mata lekat, tetapi menenangkan. "Tadi, majikannya Mas tidak sengaja terjatuh mengenai Mas dan posisi wajahnya itu mengenai pundak dan mungkin pada saat itu bibirnya mengenai kerah baju Mas." "Yakin hanya itu?" Diandra melirik dengan tatapan menggemaskan. "Iya laaaahhh ... memangnya yang ada dalam pikiranmu apa, Sayang?" Dewa mencubit gemas pipi chubby Diandra, lalu dia meraih tubuh istrinya dalam dekap. Huufff ... untung saja dia percaya. Batin Dewa saat mendekap istrinya. "Oh, iya, gimana tadi pendaftaran kampusnya?" Dewa m
Sambungan ponsel terputus. Namun, Dewa masih bingung menentukan sikap. Dia akhirnya berjalan mendekati sang istri. "Sayang, Mas ada kerjaan. Kamu pulang naik taksi enggak apa-apa, ya?" Dewa bertanya meskipun dirinya tahu kalau Diandra pasti akan kesal. "Semalam ini?" tanya Diandra ketika menatap sorot mata suaminya dengan tatapan heran. Jelas saja dia merasa heran karena waktu telah menunjuk pada jam sembilan malam. "Iya, barusan ditelpon majikannya Mas dan dia disuruh menemui salah satu orang penting katanya." Dewa berusaha meyakinkan meskipun ucapannya ngawur. Diandra terlihat menarik napas panjang, lalu mengempaskannya perlahan. "Baiklah, aku akan pulang naik taksi. Mas hati-hati bawa mobilnya, ya?" ucap Diandra dengan seulas senyum. "Makasih, Sayang ...." Dewa mengucap sambil mengecup pipi Diandra. "Apa perlu Mas yang pesankan taksi? Karena Mas udah ditunggu majikannya Mas." "Ndak usah, Mas. Mas pergi aja, aku nanti naik taksi sendiri setelah makananku habis," ucap Diandra.
Dewa terduduk dengan napas memburu serta keringat yang membanjiri tubuhnya. "Dewa? Kamu kenapa, Sayang?" tanya Magdalena yang berada di sampingnya. Dewa masih sibuk mengatur napas yang masih memburu. Matanya masih sibuk melihat keadaan dan dia baru menyadari kalau dirinya berada dalam kamar sang majikan."Sayang?" Magdalena berusaha merebahkan kembali tubuh Dewa yang sedang terduduk hingga tubuh jangkungnya kembali terbaring dengan tatapan yang masih ragu. Sesungguhnya apa yang terjadi? Batin Dewa saat tubuhnya sudah kembali terbaring nyaman dengan pelukan dari Magdalena. "Andra itu siapa?" tanya Magdalena sesaat Dewa yang seolah masih belum seratus persen sadar dari mimpinya. "Andra?" Dewa malah kembali bertanya. "Hu'um, tadi kamu berteriak menyebut namanya." Magdalena menyangka nama Andra merupakan seorang laki-laki. Makanya dia bertanya pun dengan bahasa yang santai.Sepasang mata Dewa membulat, dia tidak menyangka kalau istrinya masuk dalam mimpi buruknya. Untung saja cuma m
Cepat-cepat Dewa berlari ke arah pintu dan membukakannya sebelum istrinya melihat siapa yang datang. "Siapa, Mas?" teriak Diandra yang masih di kamar mandi. Dewa tidak menjawab karena dia pun belum mengetahui siapa tamu yang berada di balik pintu, dengan jantung yang berdegup kencang, Dewa membuka pintu dan berharap bukan Magdalena yang mengunjungi rumahnya. "Ibu? Bapak?" Kepanikan Dewa berganti senyum. Dia merasa lega karena yang datang ternyata mertuanya bukan Magdalena. "Gimana kabarmu, Dewa?" tanya Teo dengan seulas senyum."Baik, Pak. Bapak sama Ibu gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, kami baik-baik saja." "Syukurlah, mari, silahkan masuk." Dewa membuka pintu lebar mempersilahkan mertuanya masuk. "Sayang, lihat, nih, siapa yang datang?!" Sengaja Dewa berteriak agar istrinya cepat-cepat keluar dari toilet.Teo dan Amira duduk di sofa ruang tamu dan tidak menunggu waktu lama, Diandra pun menyusul ke ruang tamu. "Ibu? Ayah?" Diandra mematung saat melihat orang tuanya mengunjung
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian