Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu.
Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar."Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya.Diandra masih menutup mata."Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra.Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa mencari minyak angin atau apa pun untuk menyadarkan istrinya. Hingga akhirnya dia mendapati minyak kayu putih dan langsung mengoleskan sedikit dekat hidungnya."Bangun, Sayang. Sadaaarrr ...." Dewa cukup panik melihat istrinya yang tidak kunjung sadar.Akhirnya Dewa bangkit dari tepi ranjang, tetapi langkahnya terhenti saat ada seseorang yang menarik tangannya. Bahkan hingga membuat tubuhnya terjatuh pada tubuh sintal yang ada di atas ranjang."Kamu mengkhawatirkanku, Mas?" Bibir Diandra tersenyum."Andra? Kamu udah sadar?" Sepasang mata Dewa membulat.Diandra tersenyum saat melihat raut wajah suaminya benar-benar terlihat khawatir."Sumpah, ini enggak lucu, Sayang!" Dewa ingin bangkit dari tubuh Diandra, tetapi Diandra menahannya. "Lepasin tanganmu!" pinta Dewa yang tidak digubris oleh Diandra.Diandra menarik tubuh Dewa hingga kini berdempetan. Dia bisa memastikan kalau suaminya tidak dapat berpaling apalagi setelah menempel pada sesuatu yang kenyal miliknya."Sayaaang ... kamu memang tau kelemahanku!" desah Dewa yang kemudian membungkam bibir Diandra dengan isapan lembut.**Mentari telah menyinari istana mungil mereka. Keduanya tampak tersenyum ketika melihat dapur yang sudah berantakan seperti kapal pecah."Kalau sudah begini, sepertinya kita harus sarapan di luar!" Dewa menggendong tubuh istrinya."Aw ... Mas ...." Diandra terlihat kaget karena dalam satu kali pangku, tubuhnya sudah ada dalam pangkuan tangan kekar Dewa.Diandra mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk Dewa. Tidak henti-hentinya Diandra menatap wajah tampan Dewa yang menurutnya sempurna. Laki-laki bertubuh kekar dengan otot-otot yang terlihat gagah, dada bidang yang ditumbuhi sedikit bulu-bulu, perut sixpack seperti roti sobek, wajah yang rupawan dan penyayang begitu sempurna di mata Diandra."Turunin aku!" pinta Diandra saat mereka sudah ada di depan pintu rumah."Cium dulu," pinta Dewa manja."Muacchhh!!" Diandra mengecup pipi suaminya."Bukan di situ," protes Dewa."Lalu?" Mata Diandra menyipit dan Dewa memonyongkan bibirnya. Ah, laki-laki itu memang pandai memanjakan istrinya yang baru berusia delapan belas tahun.Dewa dan Diandra berjalan menuju warung makan yang tidak jauh dari rumah mereka. Berjalan bergandengan tangan dan hal itu sungguh terlihat romantis bagi orang-orang yang melihatnya."Mau makan sama apa, Sayang?""Sama kamu." Diandra malah menjahili suaminya."Maksud aku, mau makan pakek ikan atau sayurannya apa?" Dewa mencubit gemas hidung istrinya."Aku ikut kamu aja, Mas," jawab Diandra yang masih menatap suaminya. Tangannya memegang pipi dan sikutnya menempel ke meja."Mas enggak ke mana-mana, ngapain kamu ikut?" Giliran Dewa yang menjahili istrinya.Keduanya saling melempar senyum. Merasa dunia hanya milik mereka berdua hingga akhirnya lamunan itu berakhir ketika ada sapaan dari seseorang."Mau makan pakek apa, Mas? Mbak?" Terdengar seorang wanita bertanya."Pakek piring, Bu!" Dewa dan Diandra menjawab bersama-sama dan hal itu membuat bibir pemilik warung tersenyum. "Eehh ... maaf, Bu. Maksud aku, aku nurut sama Mamas aja," ujar Diandra dengan pipi bersemu merah karena malu."Ya sudah, aku yang putusin, ya?" ucap Dewa yang diiringi dengan anggukan dari Diandra.Dewa mengikuti pemilik warung untuk memilih sayur dan ikan yang hendak dia pesan. Yang membedakan hanya porsi nasinya saja."Taraaaa ... makanlah!" Dewa menyodorkan satu piring nasi porsi sedang dengan sayur dan lauk yang sudah bercampur dalam piring.Diandra tersenyum setelah mengucapkan kata terima kasih dan mereka berdua mulai menikmati sarapan pagi yang penuh drama.Waktu telah menunjukkan jam delapan pagi, Dewa harus bersiap-siap ke rumah majikan barunya. Kali ini, Dewa bekerja sebagai sopir pribadi. Di mana kerjanya dari jam 9 pagi hingga jam 4 sore.Dering ponsel Dewa begitu berisik memekakkan telinga. Bibirnya mengerucut ketika melihat nomor yang menghubunginya merupakan satu nomor tidak dia kenal. Padahal, Dewa sedang bercumbu dengan istrinya. Ah, saat ini Dewa begitu menikmati masa-masa indah pernikahan keempat dalam hidupnya.Dewa melepaskan tangannya yang sedang melingkar di pinggang Diandra. Wanita cantik yang ada di hadapannya itu tersenyum, lalu mengusap bibir suaminya."Jangan cemberut, angkat aja, Mas. Kalik yang menelepon penting, kan?""Iya tapi enggak ngerti posisi nanggung banget sih!" keluh Dewa yang begitu kesal.Diandra melingkarkan tangan di tengkuk Dewa, menariknya agar laki-laki bertubuh jangkung itu merunduk dan 'cup!' Diandra mencium bibir suaminya. Lembut dan semakin menghangat hingga dering ponsel itu mati, berdering, mati, kemudian berdering lagi."Angkat, Mas. Udah, kan, ciumnya?" Goda Diandra sambil memeluk tubuh kekar suaminya.Dewa meraih ponsel yang tergeletak di meja karena mereka masih berdiri di samping meja makan setelah mengunci pintu rumah barusan."Halo?" Dewa mengangkat panggilan ponsel."Kamu di mana, sih? Bukankan ini hari pertama kerja kamu? Sudah tau jam kerja dimulai jam berapa, kan?" Suara cerewet terdengar dari dalam ponsel, Dewa pun menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Sedangkan Diandra memilih pergi ke dapur."Iya, saya udah tau, Mbak. Jam kerja saya mulai pukul sembilan pagi, kan? Ini masih jam setengah sembilan saja kurang," jawab Dewa yang masih memegang telinga yang baru saja sakit karena teriakan seorang perempuan dari dalam ponsel. Sementara Diandra hanya tersenyum sambil membereskan dapur yang berantakan."Tapi harusnya kamu sudah datang dari jam delapan ke sini!""Maaf, Mbak. Saya hanya dikasih tau jam kerja dimulai jam sembilan.""Ya sudah cepat ke sini. Tepat jam sembilan kamu harus pergi antar saya, paham?!" gertak wanita tersebut."Paham, Mbak.""Dan satu lagi, jangan sebut aku Mbak! Panggil aku Nona, Nona Shu!" pinta wanita tersebut."Oke, Nona Shu. Saya berangkat sekarang juga dan saya pastikan sebelum jam sembilan, saya sudah berada di mobil Nona Shu.""Oke!" Panggilan ponsel pun berakhir.Gila, ini cewek galak banget! Batin Dewa ketika melihat sudah tidak ada lagi panggilan ponsel.Dewa berjalan, lalu meraih breton hat dan telah dipakai di kepala. Dia berjalan kemudian memeluk istrinya dari belakang."Tanganku kotor, Mas," ucap Diandra."Gak pa-pa, aku hanya ingin memelukmu sebentar sebelum bertemu dengan singa betina.""Singa betina?"Dewa tersenyum. "Majikan baruku, dia galak dan cerewet.""Astaga, aku gagal paham. Ya sudah, Mas berangkatlah, nanti malah kena omel lagi sama majikan barunya.""Iya, Sayang. Mas berangkat, ya? Aku sayang kamu." Dewa mencium pucuk kepala Diandra sebelum pergi."Hati-hati."*Dewa menaiki mobil bus dan hanya dalam beberapa menit saja, dia sudah ada di rumah mewah."Selamat pagi." Dewa menyapa scurity yang berjaga di pos."Pagi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?""Saya Dewa, Mas. Sopir baru di––" Belum juga usai, ucapan Dewa sudah dipotong oleh scurity tersebut."Owalaaaa ... Mas Dewa, toh. Cepat masuk aja, Mas. Nona Shu sudah menunggu Mas di mobil hitam itu." Scurity itu menunjuk pada mobil sedan hitam metalik yang mengilat."Baiklah, terima kasih." Dewa berlalu pergi. Dia berlari menuju mobil tersebut."Maaf, Nona Shu," ucap Dewa yang langsung masuk ke mobil tersebut."Dasar tukang ngaret! Katanya tidak akan telat datang ke sini? Masa majikan sama sopir keduluan majikan, sih?" cerocos Magdalena atau yang lebih akrab dipanggil Nona Shu."Tapi ini belum jam sembilan, kok.""Dih, ngebantah lagi. Squat jump!""Astaga, jangan galak-galak, Nona. Nanti malah sayang." Dewa melirik melihat perempuan yang duduk tenang di belakang."Hah? Aku? Sayang sama kamu?" Wajah Magdalena mendongak dan saat ini tepat di depan matanya ada sosok laki-laki tampan yang maskulin.Wow ... dia sopirku? Batin Magdalena yang terpikat oleh ketampanan seorang Dewa.Quote:Jangan terlalu membenci seseorang. Antara benci dan sayang itu hanya berbeda sedikit saja. Jika terlalu benci, tidak menutup kemungkinan akan timbulnya rasa sayang. _KwanSaga_Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Diandra tertegun dengan noda merah berbentuk bibir tertempel di kerah baju suaminya. Meskipun kemejanya berwarna hitam, tetapi warna merah lipstik itu lebih dari cukup jelas untuk menggambarkan. Sementara dirinya tidak memiliki warna lipstik seperti itu. Ponsel berdering mengagetkan lamunan Diandra. Dia terlihat kaget terlebih nama ayahnya yang tertera dalam panggilan video call. "Hai, Ayah?" sapa Diandra yang terlihat dalam layar ponsel Teo. "Andra, gimana kabarmu, Nak?" jawab Teo dengan bibir tersenyum saat melihat gambar putri semata wayangnya ada dalam ponsel yang ia genggam. "Baik, Ayah. Kabar Ayah dan ibu gimana? Sehat-sehat?" "Alhamdulillah, ini, Ibumu mau ngobrol katanya," ucap Teo, lalu menyerahkan ponselnya pada Amira. "Hai, Sayang? Gimana kabarmu? Ibu kangen banget sama kamu, Nak." Ungkapan dari Amira membuat Diandra cukup bersedih, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya seorang diri karena keputusan menikah dengan Dewa merupakan kehendaknya. "Andra baik, Bu. Ibu
Sepasang mata Dewa membulat saat menyadari ada bekas lipstik bibir Magdalena di kerah bajunya. Dewa diam beberapa saat hingga akhirnya Diandra kembali bertanya. "Mas! Jawaaabbbb." Ekspresi Diandra seperti ingin menangis saat suaminya membisu. "Percuma Mas jawan, pasti kamu enggak akan percaya." "Mas aja belum bilang alasannya apa, mana tau kalau aku tidak akan percaya?" "Gini, Sayang. Dengerin Mas baik-baik." Dewa memegang kedua pundak Diandra dengan sorot mata lekat, tetapi menenangkan. "Tadi, majikannya Mas tidak sengaja terjatuh mengenai Mas dan posisi wajahnya itu mengenai pundak dan mungkin pada saat itu bibirnya mengenai kerah baju Mas." "Yakin hanya itu?" Diandra melirik dengan tatapan menggemaskan. "Iya laaaahhh ... memangnya yang ada dalam pikiranmu apa, Sayang?" Dewa mencubit gemas pipi chubby Diandra, lalu dia meraih tubuh istrinya dalam dekap. Huufff ... untung saja dia percaya. Batin Dewa saat mendekap istrinya. "Oh, iya, gimana tadi pendaftaran kampusnya?" Dewa m
Sambungan ponsel terputus. Namun, Dewa masih bingung menentukan sikap. Dia akhirnya berjalan mendekati sang istri. "Sayang, Mas ada kerjaan. Kamu pulang naik taksi enggak apa-apa, ya?" Dewa bertanya meskipun dirinya tahu kalau Diandra pasti akan kesal. "Semalam ini?" tanya Diandra ketika menatap sorot mata suaminya dengan tatapan heran. Jelas saja dia merasa heran karena waktu telah menunjuk pada jam sembilan malam. "Iya, barusan ditelpon majikannya Mas dan dia disuruh menemui salah satu orang penting katanya." Dewa berusaha meyakinkan meskipun ucapannya ngawur. Diandra terlihat menarik napas panjang, lalu mengempaskannya perlahan. "Baiklah, aku akan pulang naik taksi. Mas hati-hati bawa mobilnya, ya?" ucap Diandra dengan seulas senyum. "Makasih, Sayang ...." Dewa mengucap sambil mengecup pipi Diandra. "Apa perlu Mas yang pesankan taksi? Karena Mas udah ditunggu majikannya Mas." "Ndak usah, Mas. Mas pergi aja, aku nanti naik taksi sendiri setelah makananku habis," ucap Diandra.
Dewa terduduk dengan napas memburu serta keringat yang membanjiri tubuhnya. "Dewa? Kamu kenapa, Sayang?" tanya Magdalena yang berada di sampingnya. Dewa masih sibuk mengatur napas yang masih memburu. Matanya masih sibuk melihat keadaan dan dia baru menyadari kalau dirinya berada dalam kamar sang majikan."Sayang?" Magdalena berusaha merebahkan kembali tubuh Dewa yang sedang terduduk hingga tubuh jangkungnya kembali terbaring dengan tatapan yang masih ragu. Sesungguhnya apa yang terjadi? Batin Dewa saat tubuhnya sudah kembali terbaring nyaman dengan pelukan dari Magdalena. "Andra itu siapa?" tanya Magdalena sesaat Dewa yang seolah masih belum seratus persen sadar dari mimpinya. "Andra?" Dewa malah kembali bertanya. "Hu'um, tadi kamu berteriak menyebut namanya." Magdalena menyangka nama Andra merupakan seorang laki-laki. Makanya dia bertanya pun dengan bahasa yang santai.Sepasang mata Dewa membulat, dia tidak menyangka kalau istrinya masuk dalam mimpi buruknya. Untung saja cuma m
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian