Satu Minggu berlalu semenjak hari pemecatan itu, Dewa hanya menganggur di rumah tanpa memberitahukan Diandra. "Ibu dan ayah pulang dulu, ya?" Amira memeluk Diandra sebelum mereka pergi ke stasiun. "Iya. Ibu dan ayah sehat-sehat, ya? Mungkin lain kali Andra dan Mas Dewa yang ke Surabaya." "Kalian juga sehat-sehat, ya?" Amira membingkai wajah putrinya dan menatapnya lekat. Seperti biasa, matanya berkaca-kaca ketika hendak meninggalkan putri semata wayangnya.Diandra mengangguk dan kembali memeluk ibunya. Entah pelukan hangat itu akan ia rasakan kapan lagi. Perlahan tangan yang melingkar di pinggang ibunya mengendur dan dengan berat hati harus Diandra lepaskan karena takut mereka telat sampai di stasiun nantinya. "Mari, Bu, kita berangkat." Teo mengusap pundak Amira dan istrinya itu pun menurut. "Maaf, Pak, Bu, aku enggak bisa anter karena mobil masih di bengkel," ucap Dewa."Enggak apa-apa. Tolong jaga baik-baik Andra, ya, Dewa." Teo berpesan. Teo, Amira, Dewa dan Andra sama-sama
Dahayu menceritakan satu hal, di mana Magdalena yang tidak lain majikannya tengah menangis dan menyebutkan tentang perasaannya pada Dewa. Tidak ada yang tahu akan keadaan yang dialami oleh Magdalena, hanya saja dia menangis dan menyebut kalau Dewa telah membohonginya. "Memang apa yang Nona Shu katakan?" tanya Dewa di sela Dahayu berbicara. "Aku cuma dengar kalau ternyata Mas Dewa udah menikah dan hal itu yang membuat Nona Lena kecewa pada dirinya." "Hanya itu?" Dewa memastikan. "Hu'um." Dahayu mengangguk. Siapa yang menyangka obrolan mereka berdua malah bercerita tentang keadaan masing-masing. Dewa yang sedang bertengkar dengan istrinya dan Dahayu yang bercerita tentang hidupnya. Ada rasa kasihan pada diri Dewa yang mengetahui kalau ternyata gadis belasan tahun ini telah menjadi tulang punggung bagi ibu dan juga kedua adiknya yang sedang sekolah. "Sabar, ya?" Spontan Dewa mengusap pundak Dahayu dan hal tersebut membuat Dahayu sedikit salah tingkah. Maklum saja, dari awal bertem
Perlahan mata Diandra terbuka dengan rasa pusing yang semakin membuat Diandra tidaklah merasa nyaman. Sepasang mata Diandra berputar melihat langit-langit kamar berwarna putih serta melihat ke sekeliling kamar yang tertutupi oleh kain berwana senada. "Aku di mana?" ucap Diandra dengan nada pelan. Seketika itu kain penutup ruangan tersingkap. Sosok wanita cantik menghampirinya. "Kamu siapa?" tanya Diandra saat wanita tersebut datang menghampirinya. "Aku, Lena," ujar wanita tersebut. "Maaf, kamu tadi ketabrak mobilku karena menyeberang dengan terburu-buru sehingga aku tidak dapat membelokkan stir mobil ke arah lain." Diandra tidak menjawab, kepalanya masih terasa begitu pusing dan setelah sedikit membaik, kini giliran kakinya yang terasa sakit. Diandra melihat bagian betisnya dengan mata membulat yang sudah terpasang gips terbungkus oleh plester putih di bagian betis kanannya."Kakiku?" gumam Diandra saat melihat ke bagian tubuh bawah. "Kakimu patah, dokter sudah memasang gips dan
Diandra merasa senang karena Dewa kini telah kembali seperti dulu. Dia merasa dimanja dan sayang itu seolah kembali seperti awal mereka pertama menikah. "Udah malam, Mas. Apa Mas enggak pulang? Besok, kan, harus kerja katanya," ucap Diandra seolah menjadi angin segar untuk Dewa. "Mas masih menunggu perawat yang akan jagain kamu." Bagaimana Diandra tidak merasa melambung ke awan dengan ucapan Dewa barusan? Dia merasa dipedulikan dan diutamakan. Bukankah wanita memang suka menjadi prioritas yang utama dalam rumah tangga? Rasa ini lah yang dirasakan Diandra malam itu. Tidak berselang lama seorang wanita yang diperkirakan berusia sekitar dua puluh enam tahun masuk ke kamar inap tersebut. "Permisi!" Wanita itu menyapa ketika dia mendorong pintu kamar inap, tetapi tidak masuk. Dia hanya berdiri di pintu setelah terbuka. "Nah, datang juga," ucap Magdalena karena dialah orang yang menyuruh wanita ini untuk menjaga dan menemani Diandra. "Maaf, tadi perjalanan cukup macet, jadi saya telat
Sinar mentari menelusup ventilasi kamar. Sedangkan kaca jendela masih tertutup rapat sehingga kamar terasa panas. Magdalena menggeliat dari dekapan Dewa karena perutnya yang telah lapar. Sepasang mata sipit Magdalena terbuka. Di hadapannya telah disuguhkan oleh pemandangan indah yang belum pernah dia rasakan meskipun dulu pernah melakukannya dengan Dewa. Jarinya mulai usil mengusap lembut area wajah Dewa. Mulai dari pipinya, dahinya, hidungnya serta mulutnya yang membuat tidur Dewa menjadi terusik. Magdalena tersenyum. "Nona, Anda iseng sekali," ucap Dewa kala sepasang matanya baru saja terbuka. "Habisnya kamu enggak bangun-bangun," ucap Magdalena yang masih terbaring di sampingnya. Mereka masih ada dalam selimut yang sama. "Bilang saja Nona ingin lagi, bukan? Sehingga membuat mataku terbuka dan membuat––" Dewa tidak meneruskan ucapannya. "Hmm ... sebenarnya perutku lapar," ujar Magdalena. "Baiklah, kita cari sarapan." Dewa bangkit dari kasur dan Magdalena melihat tubuh kekar D
Di dalam ruangan bercat putih, Dewa menemani Diandra. Canda tawa kembali menghiasi bibir keduanya hingga saat ini Diandra merasakan hal indah itu telah kembali padanya. Bukankah sudah biasa dalam rumah tangga selalu ada pertengkaran? Bukankah pertengkaran itu merupakan bumbu rumah tangga yang akan membuat kehidupan mereka menjadi kaya akan rasa? Bukan hanya rasa manis saja yang akan mengecap di lidah. Rasa pahit, pedas dan asin akan melengkapi dalam sebuah rasa. Begitu pun dengan kehidupan, tidak melulu berjalan manis, bukan? Rasa-rasa yang lain pasti akan menghampiri. "Mas enggak kerja? Ini, kan baru jam satu lewat," tanya Diandra. "Mas ingin menemanimu. Maaf, ya, Mas enggak bisa mengurusmu seutuhnya." "Enggak apa-apa, yang penting Mas sehat-sehat, ya? Oh, iya, apa Mas udah makan?""Udah, sebelum berangkat Mas udah makan sekalian tadi habis ngojek," bohong Dewa. "Oh ... syukurlah." Tidak berselang lama, seorang petugas memberikan makan siang untuk setiap pasien inap yang ada d
Dahayu dan Dewa masih sama-sama mematung dengan mata yang masih saling memandang bingung. Namun, hal itu harus berakhir ketika ada suara Magdalena. "Kalian ngapain?" Dewa dan Dahayu terperanjat saat menyadari ada orang lain selain mereka berdua."Nona Lena?" ucap Dahayu yang dibarengi oleh Dewa, " Nona Shu?" ucap Dewa. "Jawab aku! Kalian lagi ngapain pandang-pandangan seperti itu?" tegas Magdalena. "Sabar dulu, Nona Lena, saya bisa jelain––" ucap Dahayu terhenti karena diselang oleh Magdalena. "Aku tidak butuh keterangan darimu! Lebih baik kamu kembali ke dapur sekarang!" ketus Magdalena yang sedang terbakar api cemburu. Dahayu pergi setelah mengangguk pada sang majikan meninggalkan Dewa bersama sang majikan galaknya. "Sabar, aku bisa jelasin." "Ya jelasin sekarang juga!" Si Macan kalo lagi begini nambah keliatan manis. Batin Dewa dengan omesnya. "Dewa! Jelasin!" bentak Magdalena yang semakin kesal karena laki-laki yang dia anggap kekasihnya malah terlihat main-main untuk me
"Astaga, Non Diandra? Non kenapa?" Anggun yang sedang tidur merasa kaget, lalu bangun dari tidurnya dan menghampiri Diandra yang masih terbaring di bad dengan keringat yang membasahi dahi serta wajahnya. Mata Diandra membulat, napasnya bergemuruh serta dada yang naik turun ketika mengatur napas yang begitu kencang. Anggun mengusap dahi Diandra menggunakan tisu. Diandra masih belum mau menjawab dan seketika itu dia menangis, lalu memeluk Anggun. "Bisa tolong telponkan suamiku, Sus?" Susah payah Diandra bicara pada Anggun dengan terisak tangis. "Baik." Anggun meraih ponsel yang disodorkan oleh Diandra. Satu nomor yang diberi nama 'Suamiku' telah diklik, panggilan pun tersambung, tinggal menunggu diangkat saja dari si pemilik ponsel. Satu kali, ponsel tidak diangkat dan Anggun kembali mencoba menghubungi. Dua, tiga, hingga lima kali tidak juga diangkat oleh Dewa. "Maaf, Non Diandra. Sepertinya suami Anda sedang beristirahat," ucap Angel yang sudah berkali-kali mencoba menghubungi
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian