Kejadian malam itu membuat Diandra kembali syok karena lagi-lagi sang ibu yang seolah menghalanginya untuk bersatu dengan Dewa. Apalagi Dewa sudah tiga kali gagal membina rumah tangga dan hal itu yang membuat Amira banyak-banyak mempertimbangkan untuk melepaskan putrinya dengan laki-laki yang mempunyai background seperti itu.
"Andra, makan dulu, Nduk," ucap Teo terdengar begitu hati-hati membujuk putrinya.
"Enggak! Andra enggak mau makan, Ayah."
"Sedikit saja, Nak. Tolong lakukan ini demi siapa pun. Kami tidak ingin kamu jatuh sakit."
"Andra pokoknya enggak mau makan sebelum Ibu restuin hubungan Andra!"
Teo menyerah meluluhkan watak keras putri tunggalnya. Dia memutuskan pergi.
"Ayah mau ke mana?" tanya Amira ketika melihat suaminya hendak mengeluarkan sepeda motor dari garasi rumah.
"Mau cari Dewa, Bu. Hanya dia yang bisa bujuk Andra supaya bisa makan."
"Biarin aja, Yah! Entar juga kalau lapar dia makan sendiri," ketus Amira terlihat kesal saat mendengar nama Dewa.
"Tapi, Bu––" Belum juga meneruskan pembicaraan, Amira langsung menyela.
"Sudah Ibu bilang, enggak usah, Ayah! Ibu juga dari awal tidak mengijinkan hubungan mereka. Bener, kan? Si Dewa itu tidak pantas bersanding dengan putri kita. Aku ingin dia kuliah dulu, bukan malah langsung menikah. Dikata rumah tangga itu mudah, apa?"
Sudah seperti petasan, Amira berucap panjang lebar pada suaminya. Kalau sudah seperti itu, Teo hanya bisa diam. Disatu sisi, dia kasihan pada anaknya dan di sisi lain, dia tidak ingin ribut dengan istrinya.
***
Malam pun tiba, Teo dan Amira sedang menikmati makan malam. Bukan cuma satu kali, mereka sudah tiga kali makan nasi. Sedangkan Diandra? Dia tidak ada makan dan minum hingga malam ini."Bu, apa Andra udah makan?" Teo bertanya di sela makannya.
Amira menggeleng. Ada raut cemas dari wajah wanita cantik yang telah menemani hidupnya sekitar dua puluh tahun lalu.
"Coba cek, Bu. Ayah khawatir."
Tanpa menjawab, wanita yang bergelar menjadi ibu itu pun menyimpan peralatan makannya demi memastikan kalau putri kesayangannya itu baik-baik saja.
"Andra, makan, yuk?" Amira hati-hati memanggil putrinya sambil mengetuk pintu kamar. Namun, tidak ada jawaban dari dalam sana. "Andra? Kamu baik-baik, kan?" Lagi, Amira bertanya. Namun Diandra tidak menjawab juga membuat Amira semakin panik.
"Gimana, Bu?" tanya Teo ketika dia sudah berada di depan kamar Diandra.
Amira menggeleng.
"Andra enggak jawab, Yah." Sepasang mata Amira berkaca-kaca saat menjawab pertanyaan suaminya.
"Andra, kamu lagi apa, Nduk? Dra? Andra?" Teo mengetuk pintu sangat kencang, tetapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam sana.
"Gimana ini, Yah? Andra tidak jawab juga." Amira terlihat semakin cemas, sedangkan Teo masih tetap mencoba memanggil nama putrinya. "Dobrak aja, Yah. Ibu khawatir," pinta Amira.
Akhirnya Teo memutuskan mendobrak pintu kamar putrinya. Satu dua kali, pintu itu masih tertutup rapat. Teo terus mencoba mendobrak dan akhirnya pintu kamar pun terbuka dan terlihat di atas ranjang, Diandra terbaring.
"Andraaaaa!!!" jerit Amira ketika melihat putrinya terbaring tidak sadarkan diri.
Teo segera berlari dan mencoba menyadarkan putrinya. Namun, sepertinya butuh penanganan medis karena usaha kedua orangtuanya menyadarkan pun Diandra masih belum sadar.
"Pesan taksi, Bu!" pinta Teo ketika putrinya masih belum juga sadar.
"Ba––baik, Yah. Sebentar." Amira berlari meraih ponsel yang dia letakkan di nakas kamarnya. Lalu, segera memesan taksi online melalui aplikasi.
Amira kembali ke kamar putrinya setelah memesan taksi. Tidak berselang lama, taksi itu mengabarkan sudah ada di depan rumah mereka. Teo segera menggendong putrinya, sedangkan Amira terlihat membawa ponsel dan dompet suaminya mengikuti dari samping.
Amira membukakan pintu taksi dan mereka melesat ke rumah sakit menggunakan taksi online. Perjalanan cukup lancar, hingga akhirnya Diandra dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan dari medis.
Cukup lama pintu ruang UGD tertutup. Amira semakin khawatir dengan putri semata wayangnya itu.
Ya Allah, apakah aku keterlaluan pada putriku? Batin Amira saat menunggu pintu ruang UGD terbuka. Air mata pun terus menerus jatuh dari sudut mata membasahi pipi.
"Andra akan baik-baik aja, Bu." Teo mencoba menenangkan istrinya dengan mengusap pelan pundak Amira.
Akhirnya pintu ruang UGD yang ditunggu itu pun terbuka. Seorang dokter terlihat keluar dari dalam sana.
"Gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Teo.
Dokter itu tersenyum.
"Tidak ada yang harus dikhawatirkan, Pak, Bu. Pasien hanya kekurangan asupan makan dan minum ke dalam tubuhnya yang menjadikannya lemas, lalu kehilangan kesadaran."
"Ah, sukur, lah. Saya kira ada hal serius. Boleh, kah, kami menjenguknya, Dok?"
"Boleh, silahkan. Tinggal menunggu infus habis, pasien sudah boleh dibawa pulang," ucap dokter itu sebelum pergi.
Teo dan Amira masuk ke ruang UGD untuk menjenguk putrinya. Diandra memang sudah sadar, tetapi dia seolah tidak mau melihat kedua orang tuanya, terlebih Amira. Satu orang perawat pun keluar dari kamar tersebut setelah memastikan pasien telah terkontrol sesuai prosedur rumah sakit.
"Andra, kenapa kamu menyiksa dirimu seperti ini, Nak?" Suara lembut terdengar di telinga Diandra, akan tetapi dia tidak menghiraukannya.
"Nduk, kamu mau makan sama apa? Nanti Ayah belikan." Teo mencoba merayu putrinya, tetapi tampaknya sia-sia karena Diandra tidak memedulikannya.
Teo dan Amira mati-matian membujuk Diandra. Namun, gadis itu tetap membisu dengan pandangan yang selalu berpaling. Tentu saja hal tersebut membuat hati orang tuanya cemas. Terutama Amira, dia merasa bersalah atas kejadian yang menimpa putri kesayangannya.
Amira bangkit dari tempat duduknya, dia keluar kamar UGD karena merasa bersalah dan tentu saja hatinya sakit karena merasa tidak dipedulikan oleh Diandra. Akhirnya Teo pun berjalan menyusul istrinya yang ternyata sudah duduk di kursi stainless sebelah kamar UGD.
"Ibu kenapa?" Teo bertanya saat dia duduk di samping Amira.
"Ibu sedih, Ayah."
"Sekarang Ibu maunya gimana? Karena sudah jelas, Andra pasti hanya meminta menikah dengan Dewa."
Amira membisu sejenak. Lidahnya terasa kelu dengan angan yang melayang-layang memikirkan nasib putrinya kelak.
"Ibu enggak tau, Ayah, tapi kalau memang menikah dengan Dewa itu merupakan hal terbaik buat dia, Ibu bisa apa?"
"Ibu merestuinya?"
Meskipun berat hati, Amira mengangguk pelan. Walau mungkin harus memalsukan data usia Diandra karena masih belum cukup untuk standarisasi minimal pernikahan.
Dewa pun berjalan mendekat ke ruang UGD. Dahi Amira mengernyit saat melihat Dewa di hadapan mereka.
"Pak, Bu, bagaimana keadaan Andra?" tanya Dewa saat dirinya sudah berdiri di hadapan Teo dan Amira.
"Dewa? Dari mana kamu tau Andra ada di sini?" tanya Amira merasa heran.
"Ayah yang menghubungi Dewa ketika tadi mengurus administrasi Andra, Bu." Teo menjelaskan pada istrinya.
Amira tidak ingin melakukan kesalahannya terlalu jauh, akhirnya dia bersedia meminta maaf pada Dewa atas kelakuan yang mungkin saja melukai perasaannya dan dia memberikan restu pada Dewa meskipun hatinya belum begitu tulus. Entah, nalurinya pada Dewa masih belum sepenuhnya menitipkan Diandra padanya.
"Alhamdulillah, aku sudah kembali bekerja, Bu. Tapi, aku ingin menikahi Andra secepatnya karena nanti aku harus tinggal di luar kota," ucap Dewa yang entah itu kabar bahagia atau menyedihkan untuk kedua orang tua Diandra.
"Apa?" Amira membulatkan mata.
"Iya, Bu. Aku sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar di luar kota."
Tubuh Amira terasa lemas. Ini memang kabar baik, tetapi bagi dirinya sulit melepaskan putri kesayangannya kalau harus ikut Dewa ke luar kota.
Aku harus gimana, ya Allah? Batin Amira merasa bingung untuk mengambil satu keputusan besar untuk putri semata wayangnya, karena hati Amira belum juga luluh untuk menerima Dewa sebagai menantunya.
Quote:Ketika ibumu marah, percayalah, dia begitu menyayangimu! Dia tidak ingin melihatmu terpuruk. Ucapan atau sikapnya ketika marah menjadikan lecutan untukmu agar bisa berubah menjadi lebih baik. _KwanSaga_Tiba saatnya hari pernikahan Diandra dan Dewa akan dilaksankan setelah satu Minggu berada di rumah sepulang dari rumah sakit waktu itu. Bukan hanya keluarga mempelai wanita saja, saksi bahkan penghulu pun sudah bersiap di sana. Namun, malah Dewa yang belum datang ke acara pernikahan tersebut membuat Diandra gusar menanti kedatangan calon suaminya. "Ibu, Ayah, Mas Dewa ke mana, ya?" Diandra begitu panik ketika menunggu kedatangan Dewa. "Ayah coba menelponnya, ya?" Teo mengusap pundak putrinya dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Namun, belum juga membuka kunci layar ponsel, laki-laki bertubuh gagah dengan paras tampan berkulit sawo matang itu pun akhirnya datang. "Maaf, Andra, Bu, Pak, saya terlambat. Tadi ada keperluan yang mendesak." Dewa menjelaskan perihal yang terjadi padanya. "Iya, enggak apa-apa, Mas." Diandra tersenyum dengan hati yang tenang dan tentu saja bahagia. Awas kamu kalau sampai tega mempermalukan anakku! Ucap Amira kesal dalam hatinya karena Dewa hampir
Untuk pertama kali saat mata Diandra terbuka dalam dekap hangat tubuh laki-laki yang dia cintai. Mata tajam yang tertutup sempurna serta tangan yang masih melingkar pada tubuhnya menjadikan wanita yang berstatus seorang istri itu merasakan kenyamanan yang luar biasa. Diandra menatap wajah suaminya yang masih terlelap. Tampangnya memang tidak membosankan dan dengan jahilnya Diandra malah mengusap bagian wajah Dewa. Mulai dari pipinya, hidungnya, dagunya dan bibirnya tidak luput dari usapan halus Diandra. Diandra melepaskan jarinya yang masih mengusap bibir Dewa bermaksud untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, Dewa meraih tangan istrinya dan tubuh Diandra seketika kembali terjatuh dalam pelukan hangatnya. "Mas Dewa udah bangun?" Malu-malu Diandra menyapa suaminya. "Aku ingin sekali lagi, boleh?" tanya Dewa dengan suara serak. "Sekali lagi apanya?" Terlihat wajah heran dari Diandra. "Menikmati tubuhmu, Sayang." "Iiihhhh ... Malam tadi Mas udah dua kali, masa mau minta lagi
Sepasang mata Diandra terasa perih bahkan sampai menitikkan air mata. Namun, Dewa tersenyum sarkas setelah beberapa saat sempat terdiam. "Kamu tidak usah membodohiku, Tari." Dewa saat ini terlihat santai menanggapinya. "Aku tidak membodohimu, Abang. Aku mencintaimu dan janin yang ada di perutku itu darah daging kamu." Tari terlihat berusaha meyakinkan Dewa, tetapi laki-laki itu tidaklah bodoh. "Statusmu itu istri orang, bagaimana bisa kamu hamil karena aku? Sudahlah, Tari." "Aba––" Kata-kata tari terputus."Stop! Berhenti memanggilku dengan sebutan Abang. Itu hanya masa lalu. Jalani saja hidupmu dengan suamimu dan biarkan aku hidup dengan istriku!" "TARIII!!!" Suara menggelegar telah menyentak wanita yang ada di hadapan Dewa."Abang Andi?" gumam Tari saat melihat laki-laki di seberang jalan sedang berjalan ke arahnya."Kenapa kau ada di sini? Apa belum cukup aku memberikan bukti padamu kalau aku tidak mandul? Aku tau selama ini kau melakukan KB tanpa sepengetahuanku, bukan? Untuk
Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu. Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar. "Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. Diandra masih menutup mata. "Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra. Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa m
Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian