Bandar Udara Frankfrurt, Jerman.
Setelah melakukan perjalanan jauh dengan dua kali transit di negara yang berbeda, akhirnya Jihan menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Jerman. Wanita itu pun mengalami jet lag. Kepalanya sakit, badannya terasa tidak enak dan perubahan suasana hati yang cukup signifikan.Mario yang paham akan kondisi Jihan tersebut pun lantas meminta Jovan untuk membelikan kopi untuk wanitanya itu. Jovan yang tidak dapat membantah perintah dari atasannya itu pun lantas berbelok sebentar ke sebuah coffee shop di bandara. Sembari menunggu kopi datang, Mario pun menunggu koper milik Jihan, Jovan dan dirinya.Pada akhirnya, memang hanya tiga orang itu saja yang pergi ke negeri Hitler tersebut. Jihan menggantikan sekretaris Mario yang memang sengaja tidak pria itu ajak. Wanita itu diliburkan dengan sogokan uang saku agar tutup mulut dari karyawan lain beserta orang tua Mario.Beberapa menit pun berlalu. Koper sudah didapatkan, begitupun dengan kopi yang cukup membantu kondisi Jihan agar lebih baik. Mobil jemputan pun datang. Mario memang diberikan fasilitas yang nyaman oleh pemilik perusahaan mobil mewah tersebut. Undangan yang diberikan papanya itu dikirim langsung oleh owner perusahaan tersebut kepadanya."Selamat datang di Jerman, Mr. Mario. Perkenalkan saya Alaric dan ini Bruno. Selama berada di Jerman, saya dan rekan saya yang akan membantu Mr. Mario beserta kedua staf Anda," ucap seorang pria berperawakan tinggi dengan tubuh cukup berisi beserta kumis tipis di atas bibirnya."Bahasa Indonesia kamu cukup bagus, Alaric. Baiklah, salam kenal dari saya. Ini Jovan, Asisten Pribadi saya dan ini Jihan, sekretaris saya." Mario pun memperkenalkan dua orang yang sengaja ia ajak.Setelah saling memperkenalkan diri, mereka pun bergegas menuju mobil untuk menuju hotel tempat mereka akan menginap. Di perjalanan, Alaric banyak sekali memberitahukan tempat-tempat bagus yang sekiranya cocok untuk ketiga orang tersebut kunjungi."Kalau restoran yang jual makanan lokal, di mana?" tanya Mario.Alaric pun merekomendasikan beberapa pilihan restoran kepada Mario. Ia bahkan menawarkan diri membantu jika memang Mario menginginkan makanan tersebut. Namun, untuk saat ini lebih baik mereka sampai dulu di hotel. Punggung Mario sudah sangat pegal ia ingin berguling-guling di kasur yang empuk.Lavender HotelMario memesan dua kamar hotel. Satu untuk Jovan, satu lagi untuk dirinya dan juga Jihan. Mereka pun masuk ke dalam kamar masing-masing. Jihan yang keadaannya sedikit membaik pun memilih untuk membasuh wajahnya ke kamar mandi. Sedangkan Mario merebahkan tubuhnya di kasur.Begitu urusan Jihan di kamar mandi selesai, saat ia keluar dari ruangan tersebut, ia mendapati Mario yang tengah terlelap di tempat tidur. Wanita itu pun membiarkannya, ia tidak ingin mengganggu waktu istirahat pria tersebut.Sofa menjadi pilihan untuk Jihan saat ini. Dengan meluruskan kedua kakinya, ia pun menyandarkan kepalanya di tepian sofa. Keningnya ia pijat-pijat untuk mengusir rasa pusing yang masih tersisa. Tak lama dari itu, pintu kamar pun diketuk. Jihan mau tak mau pun bangun dan langsung membukakan pintu.Di hadapannya kini ada Jovan yang langsung memasang senyum lebar. Pria itu sempat memiringkan kepalanya untuk mengecek kondisi di dalam kamar. Namun, Jihan segera menghalangi penglihatan pria itu dengan tangannya."Mau apa?" tanyanya dengan sedikit ketus."Mario lagi apa? Ada yang ingin aku sampaikan sama dia," tanya balik Jovan."Om Mario tidur. Mau aku bangunin?"Jovan menggeleng. "Nggak usah, biarkan saja dia tidur. Kalau gitu, boleh kita ngomong sebentar?""Buat apa? Om mau cari tahu soal aku? Katanya teman dekat om Mario, kan?" Jihan menatap tak suka kepada Jovan, menurutnya pria itu sedikit mencurigakan."Kamu takut sama aku? Justru karena aku temannya Mario, kamu harusnya tenang jadi nggak perlu khawatir kayak gini," sahut Jovan."Ya, sudah. Mau ngomong di mana? Kalau om Mario marah, Om yang tanggung jawab tapi ya!" kata Jihan mengingatkan.Jovan mengangguk. "Iya, gampang. Dia kalau tidur gitu nyenyak gitu bakalan lama, kok. Kita ngomong di kafe depan hotel saja gimana?""Boleh. Aku ambil tasku dulu, sebentar!" Jihan masuk ke dalam kamar hotelnya untuk mengambil tas beserta ponselnya, takut nanti Mario akan menghubunginya begitu tahu bahwa dia tidak ada di dalam kamar.***Jihan mengaduk minuman di hadapannya. Ia menunggu Jovan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Namun, pria itu saat ini tengah mengobrol dengan seseorang dalam sebuah panggilan telepon. Obrolannya tidak jauh dari pekerjaan. Pria itu memasang ekspresi serius saat berbicara dengan lawan bicaranya."Oke, kalau begitu urus dengan baik. Jangan sampai saat saya kembali, proyek kita itu gagal dan membuat pak Mario marah. Saya tutup dulu teleponnya." Jovan pun mengakhiri percakapan tersebut dengan memberikan sebuah penekanan."Maaf, aku nggak bisa abaikan pekerjaan. Sekarang apa aku boleh tahu kamu ini punya pasangan? Kayak pacar, tunangan atau suami gitu." Jovan langsung to the point."Aku punya pacar, tapi dia kerja diluar kota sekarang," jawab Jihan berterus terang."Itu berarti pacar kamu nggak tahu 'kan kalau kamu punya kontrak kerjasama dengan Mario?""Ya, iyalah, Om. Buat apa aku kasih tahu dia?" Jihan pun tersenyum menyungging."Kamu udah biasa open booking kaya gini?" Mata Jovan kali ini menyipit dengan jari telunjuk yang mengetuk-ngetuk meja."Aku nggak sehina itu, Om. Aku baru kayak gini sama om Mario saja. Itu pun karena terpaksa soalnya aku butuh uang mendesak. Kenapa? Om tertarik sama aku? Kalau uangnya sepadan, boleh nanti habis om Mario lanjut sama Om Jovan," tutur Jihan dengan sengaja supaya pria itu merasa tak nyaman dengannya."Kenapa nggak minta sama pacarmu? Dia nggak ada duitnya?" Jovan tahu cara membalas Jihan."Ck!" Jihan berdecak kesal dan merotasikan matanya malas."Aku bercanda. Nggak usah tersinggung. Lagian aku juga biasa saja. Aku cuma mau ingatkan, kamu jangan sampai punya perasaan lebih sama Mario. Keluarga dia itu melihat wanita dari bibit, bebet dan bobotnya. Kamu cuma dipandang wanita yang bisa dibayar buat dia tiduri, jangan berharap menjadi Cinderella di kehidupanmu saat ini," ungkap Jovan memperingatkan.Bibir Jihan tertarik ke atas sebelah. Ia merasa diremehkan saat ini oleh Jovan. Wanita itu tahu, saat ini ia hanyalah seorang wanita bayaran yang bertugas mengajari Mario permainan di atas ranjang, tapi apa yang dikatakan Jovan menurutnya sudah berlebihan."Aku mungkin wanita bayaran, tapi aku tidak semurahan itu sampai-sampai Om harus berbicara seperti itu. Nggak usah khawatir, aku nggak minat menggeser posisi calon istri calon om Mario untuk menjadi pendamping hidupnya. Aku tak tertarik untuk hal itu! Entah memang kamu peduli kepadanya karena kalian berteman sudah lama atau kamu berbicara seperti ini karena iri tidak bisa mendapatkan lawan yang tepat di atas ranjang seperti apa yang temanmu dapatkan saat ini. Aku nggak peduli, tapi jangan usik aku!" tegas Jihan seraya bangkit dan meninggalkan Jovan.Jihan dimanjakan dengan keindahan negara Jerman. Saat mobil melaju membawanya menuju Zeil Shopping Center bersama Mario, Jovan dan Alaric sebagai sopir yang menemani mereka. Mario membiarkan Jihan berlama-lama di pusat perbelanjaan tersebut, sedangkan ia dan Jovan akan menemui Gabriel, anak dari pemilik perusahaan yang mengundang orang tuanya untuk datang ke acara tersebut."Pakai ini, beli apapun yang kamu mau, tapi yang pasti harus bisa dibawa saat kita pulang nanti," kata Mario seraya memberikan sebuah Black Card kepada Jihan."Oke," jawab Jihan dengan singkat.Setelah sampai di depan pusat perbelanjaan, Jihan pun turun dengan dibukakan pintu oleh Jovan. Pria itu pun sempat berkata, "kalau nggak bisa bahasanya, gunakan saja penerjemah yang ada di ponsel pintarmu itu, buat dia berguna."Jihan berdecak, lagi-lagi pria itu membuatnya kesal. Entah kenapa Mario justru nyaman berteman dengan pria seperti Jovan. Kalau Jihan menjadi Mario, sudah pasti dia akan segera memecat pria itu dan m
"MD203?" Seorang wanita menghampiri salah satu meja di kafe yang ia datangi. Pria yang tengah duduk menunggu seseorang itu pun lantas mendongak. Tak lama dari itu, ia mengangguk dan segera mempersilahkan wanita tersebut untuk duduk. Sang wanita lantas menempati kursi kosong di hadapan pria itu. "Maaf membuat Anda menunggu lama. Aku pemilik akun Freya07," ucap Wanita tersebut seraya tersenyum manis. "Perkenalkan namamu saja langsung. Kita sudah sepakat untuk bertemu dan mengatakan nama asli kita, bukan?" Sang pria terkesan to the point ingin mengetahui nama asli wanita yang selama seminggu ini bertukar pesan dengannya di sebuah aplikasi kencan online. "Aku Jihan, Om. Sekarang giliran Om perkenalkan nama aslinya, jangan berbohong atau aku akan meminta KTP punya Om," gurau wanita bernama Jihan tersebut. "Namaku Mario. Oke, setelah tahu nama masing-masing, kita bisa langsung membahas hal yang sempat aku tawarkan waktu itu, 'kan?" Mario memang tidak pandai berbasa-basi, ia lebih senan
Jihan mendumel saking kesalnya karena teman kosan dirinya bergurau dengan mengatakan dia melakukan open booking. Padahal ucapan temannya itu tidak sepenuhnya salah. Jihan melakukan itu, tapi hanya dengan seorang pria. Itu pun karena ia sedang membutuhkan sejumlah uang, kalaupun tidak, mana mungkin ia melakukan hal seburuk itu. Pintu hotel bernomor 234 di hadapan Jihan pun diketuknya. Wanita itu sempat mengatur napas, mengusir rasa kesal yang ada dalam benaknya. Ia berusaha tersenyum kembali. Tak lama, pintu pun terbuka. Mario berdiri di ambang pintu dan memperhatikan Jihan. "Masuk!" Mario pun mengeluarkan perintahnya. Jihan pun masuk lebih dahulu karena Mario memegang pegangan pintu. Pria itu akan segera menutup pintunya setelah Jihan berada di dalam. Pandangan Jihan mengamati setiap sudut ruang kamar mewah tersebut. Pria itu memesan kamar yang mahal dengan segala kenyamanan yang terjamin bagi penghuninya. Mario yang telah menutup pintu pun duduk di sofa. Ia meraih segelas minuman
"Silakan masuk," ucap Mario seraya membuka pintu sebuah unit apartemen. Dengan dua koper di tangannya, Jihan pun memasuki hunian tersebut. Sebuah unit apartemen tipe studio akan Jihan tempati selama beberapa bulan ke depan. Tadinya ia ditawari untuk tinggal bersama Mario, tapi setelah dipikirkan kembali, hal tersebut bisa saja mendatangkan masalah dikemudian hari. Oleh sebab itu, Mario memilih menyewa sebuah unit apartemen yang masih satu lingkungan dengan hunian miliknya. "Om, beneran aku boleh tinggal disini?" tanya Jihan. Mario yang baru saja menutup pintu pun lantas menempatkan tubuhnya di sebuah sofa pun menjawab, "tentu saja. Kamu bilang tetangga kosanmu pada rese, kan?"Jihan menggangguk. "Iya, Om. Aku tinggal di sini sampai kontrak kita berakhir, habis itu aku cari kosan baru, kok.""Oke," jawab Mario singkat. Jihan menyimpan kedua kopernya di sisi tempat tidur. Tiba-tiba Mario memeluknya dari belakang. Dia pun berbisik di telinga Jihan dengan deep voice khas miliknya.
Jihan membantu mengeringkan rambut Mario yang basah. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Wanita itu tidak jadi pergi ke klub bersama Hana karena Mario menghubunginya. Jihan mengalah karena dia lebih mengutamakan sugar daddy-nya itu ketimbang teman baiknya. Untung saja Hana dapat mengerti hal itu."Om, mau nginep atau pulang?" tanya Jihan."Aku numpang tidur sampai matahari terbit, habis itu aku pulang soalnya harus pergi kerja juga. Kalau kamu nggak nyaman berbagi tempat tidur, aku bisa kok tidur di sofa," jawab Mario."Ya, nggak gitu juga kali, Om. Tidur saja nggak apa-apa sekasur juga. Nggak apa-apa," sahut Jihan.Mario membalikkan tubuhnya. Dia mengambil hair dryer yang tengah dipegang oleh Jihan. Pria itu pun mematikan alat tersebut dan menyimpannya di atas meja rias."Jihan, kamu mau ikut aku ke Jerman, nggak?" tanya Mario."Jerman? Ngapain, Om? Itu nggak ada di kontrak kita loh, ya! Jangan mendadak rubah-rubah isi kerjasamanya, dong!" protes Jihan."Bukan gitu, aku ada acara d
Jihan dimanjakan dengan keindahan negara Jerman. Saat mobil melaju membawanya menuju Zeil Shopping Center bersama Mario, Jovan dan Alaric sebagai sopir yang menemani mereka. Mario membiarkan Jihan berlama-lama di pusat perbelanjaan tersebut, sedangkan ia dan Jovan akan menemui Gabriel, anak dari pemilik perusahaan yang mengundang orang tuanya untuk datang ke acara tersebut."Pakai ini, beli apapun yang kamu mau, tapi yang pasti harus bisa dibawa saat kita pulang nanti," kata Mario seraya memberikan sebuah Black Card kepada Jihan."Oke," jawab Jihan dengan singkat.Setelah sampai di depan pusat perbelanjaan, Jihan pun turun dengan dibukakan pintu oleh Jovan. Pria itu pun sempat berkata, "kalau nggak bisa bahasanya, gunakan saja penerjemah yang ada di ponsel pintarmu itu, buat dia berguna."Jihan berdecak, lagi-lagi pria itu membuatnya kesal. Entah kenapa Mario justru nyaman berteman dengan pria seperti Jovan. Kalau Jihan menjadi Mario, sudah pasti dia akan segera memecat pria itu dan m
Bandar Udara Frankfrurt, Jerman.Setelah melakukan perjalanan jauh dengan dua kali transit di negara yang berbeda, akhirnya Jihan menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Jerman. Wanita itu pun mengalami jet lag. Kepalanya sakit, badannya terasa tidak enak dan perubahan suasana hati yang cukup signifikan.Mario yang paham akan kondisi Jihan tersebut pun lantas meminta Jovan untuk membelikan kopi untuk wanitanya itu. Jovan yang tidak dapat membantah perintah dari atasannya itu pun lantas berbelok sebentar ke sebuah coffee shop di bandara. Sembari menunggu kopi datang, Mario pun menunggu koper milik Jihan, Jovan dan dirinya.Pada akhirnya, memang hanya tiga orang itu saja yang pergi ke negeri Hitler tersebut. Jihan menggantikan sekretaris Mario yang memang sengaja tidak pria itu ajak. Wanita itu diliburkan dengan sogokan uang saku agar tutup mulut dari karyawan lain beserta orang tua Mario.Beberapa menit pun berlalu. Koper sudah didapatkan, begitupun dengan kopi yang cukup membantu ko
Jihan membantu mengeringkan rambut Mario yang basah. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Wanita itu tidak jadi pergi ke klub bersama Hana karena Mario menghubunginya. Jihan mengalah karena dia lebih mengutamakan sugar daddy-nya itu ketimbang teman baiknya. Untung saja Hana dapat mengerti hal itu."Om, mau nginep atau pulang?" tanya Jihan."Aku numpang tidur sampai matahari terbit, habis itu aku pulang soalnya harus pergi kerja juga. Kalau kamu nggak nyaman berbagi tempat tidur, aku bisa kok tidur di sofa," jawab Mario."Ya, nggak gitu juga kali, Om. Tidur saja nggak apa-apa sekasur juga. Nggak apa-apa," sahut Jihan.Mario membalikkan tubuhnya. Dia mengambil hair dryer yang tengah dipegang oleh Jihan. Pria itu pun mematikan alat tersebut dan menyimpannya di atas meja rias."Jihan, kamu mau ikut aku ke Jerman, nggak?" tanya Mario."Jerman? Ngapain, Om? Itu nggak ada di kontrak kita loh, ya! Jangan mendadak rubah-rubah isi kerjasamanya, dong!" protes Jihan."Bukan gitu, aku ada acara d
"Silakan masuk," ucap Mario seraya membuka pintu sebuah unit apartemen. Dengan dua koper di tangannya, Jihan pun memasuki hunian tersebut. Sebuah unit apartemen tipe studio akan Jihan tempati selama beberapa bulan ke depan. Tadinya ia ditawari untuk tinggal bersama Mario, tapi setelah dipikirkan kembali, hal tersebut bisa saja mendatangkan masalah dikemudian hari. Oleh sebab itu, Mario memilih menyewa sebuah unit apartemen yang masih satu lingkungan dengan hunian miliknya. "Om, beneran aku boleh tinggal disini?" tanya Jihan. Mario yang baru saja menutup pintu pun lantas menempatkan tubuhnya di sebuah sofa pun menjawab, "tentu saja. Kamu bilang tetangga kosanmu pada rese, kan?"Jihan menggangguk. "Iya, Om. Aku tinggal di sini sampai kontrak kita berakhir, habis itu aku cari kosan baru, kok.""Oke," jawab Mario singkat. Jihan menyimpan kedua kopernya di sisi tempat tidur. Tiba-tiba Mario memeluknya dari belakang. Dia pun berbisik di telinga Jihan dengan deep voice khas miliknya.
Jihan mendumel saking kesalnya karena teman kosan dirinya bergurau dengan mengatakan dia melakukan open booking. Padahal ucapan temannya itu tidak sepenuhnya salah. Jihan melakukan itu, tapi hanya dengan seorang pria. Itu pun karena ia sedang membutuhkan sejumlah uang, kalaupun tidak, mana mungkin ia melakukan hal seburuk itu. Pintu hotel bernomor 234 di hadapan Jihan pun diketuknya. Wanita itu sempat mengatur napas, mengusir rasa kesal yang ada dalam benaknya. Ia berusaha tersenyum kembali. Tak lama, pintu pun terbuka. Mario berdiri di ambang pintu dan memperhatikan Jihan. "Masuk!" Mario pun mengeluarkan perintahnya. Jihan pun masuk lebih dahulu karena Mario memegang pegangan pintu. Pria itu akan segera menutup pintunya setelah Jihan berada di dalam. Pandangan Jihan mengamati setiap sudut ruang kamar mewah tersebut. Pria itu memesan kamar yang mahal dengan segala kenyamanan yang terjamin bagi penghuninya. Mario yang telah menutup pintu pun duduk di sofa. Ia meraih segelas minuman
"MD203?" Seorang wanita menghampiri salah satu meja di kafe yang ia datangi. Pria yang tengah duduk menunggu seseorang itu pun lantas mendongak. Tak lama dari itu, ia mengangguk dan segera mempersilahkan wanita tersebut untuk duduk. Sang wanita lantas menempati kursi kosong di hadapan pria itu. "Maaf membuat Anda menunggu lama. Aku pemilik akun Freya07," ucap Wanita tersebut seraya tersenyum manis. "Perkenalkan namamu saja langsung. Kita sudah sepakat untuk bertemu dan mengatakan nama asli kita, bukan?" Sang pria terkesan to the point ingin mengetahui nama asli wanita yang selama seminggu ini bertukar pesan dengannya di sebuah aplikasi kencan online. "Aku Jihan, Om. Sekarang giliran Om perkenalkan nama aslinya, jangan berbohong atau aku akan meminta KTP punya Om," gurau wanita bernama Jihan tersebut. "Namaku Mario. Oke, setelah tahu nama masing-masing, kita bisa langsung membahas hal yang sempat aku tawarkan waktu itu, 'kan?" Mario memang tidak pandai berbasa-basi, ia lebih senan