“Kita tidak akan melakukannya,” tandas Chris dengan tegas. Suaranya rendah, lebih mirip geraman. Otaknya seperti sudah tidak berada pada tempatnya. Pria itu tidak dapat berpikir jernih, dengan Nasya yang sedang bertingkah di hadapan.
“Tenang aja, Om. Aku gak akan menuntut. Asal aku bisa terlepas dari rasa ini.”
Chris membuang muka, tepat saat Nasya mengulurkan tangan ke pundak Chris. Secara naluriah, tanpa ada pikiran lain.
Tubuhnya ingin pria ini.
Keinginan yang sedang membara dalam tubuhnya saat ini, seolah membuat insting Nasya tahu apa yang harus dia lakukan berkaitan dengan keinginan yang semakin besar dan hampir meledak itu.
“Kamu, ini!”
“Nama aku, Nasya, Om. Jangan panggil kamu terus,” erang Nasya, terdengar menggoda di telinga Chris.
“Lepaskan.” Chris meletakkan kembali tangan Nasya, di tubuh gadis itu, tapi Nasya tetap ingin bersentuhan. Kali ini Paha Chris yang jadi sasaran, dielusnya perlahan.
“Nasya!” geram Chris dengan napas tersengal, berat sekali memanggil nama gadis itu. Pasalnya, bagian tubuhnya di bawah sana sudah sangat menegang.
Ada beberapa gelas dia minum di bar tadi, hingga sedikit banyak memberi pengaruh.
Tanpa ada kata lagi, Nasya kembali bibirnya pada bibir Chris. Terus dikecup, hanya menempel, seperti tadi, karena dia memang tidak mengerti harus bagaimana melakukan ciuman yang benar.
Namun, dia menyadari kalau sekedar menempelkan bibirnya, tidak akan mengurangi rasa panas dan desakan lava yang akan meledak dalam tubuhnya itu.
Tangannya mulai bergerilya. Meraba dada bidang Chris dan entah siapa yang menuntunnya, Nasya menciumi leher Chris.
Kepalan tangan Chris di sisi tubuhnya jelas memperlihatkan sekuat apa dia menahan hasratnya untuk tidak berpartisipasi dalam kontestasi raba-meraba.
“Om, coba,” bisik Nasya parau, menempelkan telapak tangan Chris di dadanya seperti saat Chris menangkapnya saat terjatuh tadi.
Done!
Pertahanan Chris hancur. Benteng yang beberapa saat tadi dia bangun hancur seketika.
“Sial!” umpatnya menggeram penuh hasrat, lalu menarik tengkuk Nasya dan menunjukkan pada gadis itu apa yang disebut ciuman dan bagaimana caranya.
**
Nasya mengerjap, beberapa kali mencoba membuka mata, tapi rasa sakit di kepala membuatnya merasa tersiksa dan tidak berdaya. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Sekali lagi dia coba untuk duduk, tapi tetap saja kepalanya masih terasa berputar. Kembali dia menghempaskan tubuhnya ke kasur. Sungguh dia masih belum sanggup ingin bangun.
Namun, saat bergerak rasa nyeri di area pribadinya membuat kesadarannya terkumpul penuh. Dia melirik sekitar, benar saja, dia berada di hotel, tapi bukan hotel.
“Mampus aku! Habislah sudah,” umpatnya meremas selimut, menutupi tubuhnya hingga wajah.
Nasya baru tersadar kalau saat ini pun dia sedang telanjang!
Seketika bayangan ayah dan ibunya muncul. Betapa ayahnya akan sangat kecewa padanya. Belum lagi kedua abangnya yang akan menghajarnya karena sudah mempermalukan keluarga.
Air mata mengalir di pipinya, awalnya setitik, lalu membanjiri wajahnya.
“Bagaimana mana ini?” batinnya semakin ketakutan. Dia coba tarik napas, trik jitu yang selalu diajarkan ibu padanya. Sejak kecil, setiap ketakutan, Nasya pasti akan mengalami sesak napas dadakan, bahkan hingga lupa cara menghirup udara.
Nasya coba berpikir setelah sedikit lebih tenang. Rentetan kejadian yang bisa dia ingat hingga berada di kamar ini. Semakin mengingat, Nasya semakin panik dan mengigit selimut dengan kuat. Bayangan dirinya yang mulai menerjang pria itu muncul kembali.
“Benar, mana pria itu? Dasar brengsek! Dia pasti sudah meninggalkanku begitu saja setelah merebut segalanya dariku!” batinnya kembali.
Kesal dengan buah pikirannya sendiri, Nasya menghempas selimut, membuka hingga batas dada. Membiarkan udara segar masuk meresap ke dalam hidungnya. Kepalanya bergerak ke kanan, dan di sanalah dia diam untuk beberapa waktu.
Pria itu ada di sana. Nasya menutup mulutnya agar tidak bersuara saat kaget melihat pria itu.
Ternyata ia tidak pergi seperti pikirannya. Pria itu justru tidur dengan pulas di sampingnya, dan tanpa–
“Gila. Kamu sudah gila, Nasya!” gumam gadis itu dalam hati. “Kamu akan menikah! Bisa-bisanya kamu kasih jatah buat–”
“Gak bisa. Aku harus segera pergi. Di zaman sekarang ini, banyak wanita yang sudah tidak gadis lagi. Calon suamiku tidak perlu tahu kebodohan ini.” Nasya melanjutkan dalam hati. “Biarlah ini menjadi rahasiaku. Toh, aku tidak akan bertemu dengan pria ini lagi.”
Tanpa keraguan, Nasya turun perlahan. Dia sudah yakin seribu persen dengan keputusan ini. Saat di SMA, banyak juga teman-teman yang sudah melakukan hubungan intim dengan kekasih mereka. Jadi, Nasya memutuskan untuk tidak perlu merasa terbebani.
Kalaupun dia menangis lagi, keperawanannya juga tidak bisa kembali.
Nasya menatap sekali lagi pada pria tampan yang semmalam menggagahinya. Bukannya marah, atau menuntut tanggung jawab, dia malah memuji sang pria.
“Tampan sekali,” ucap Nasya tanpa sadar, lalu memukul pelan kepalanya. “Ih, sadar, Nasya!” Gadis itu merutuk. Lalu ia kembali fokus pada si pria asing. “Hey, Tuan tampan. Kamu beruntung. Aku tidak akan menuntut tanggung jawab padamu, meski kamu sudah mengambil milikku yang paling berharga.”
Kembali Nasya memasang wajah mewek. Meski sejak tadi sudah menstimulasi otaknya untuk ikhlas atas apa yang terjadi, tapi sebagai gadis polos dan normal, tentu ada sedih.
“Semoga kita tidak perlu ketemu lagi. Bye maksimal!”
**
Nasya berhasil melupakan kebodohan satu malamnya tersebut dan menyembunyikan hal itu dari keluarga, bahkan calon suaminya yang tampil baik-baik–otomatis membuatnya merasa bersalah.
Namun, mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur.
Tiba pada hari pernikahan. Dua keluarga yang sudah lama saling kenal sudah berkumpul di salah satu ballroom hotel mewah.
“Siapa yang awalnya bilang gak mau nikah muda?” komentar teman dekat Nasya. “Tapi dari roman-roma nya, gak ada, tuh, wajah sedih dan merasa terpaksa di mukamu!”
Wajah Nasya yang sudah dipoles make-up memang tampak ayu dan bersinar. Belum sempat ia menyahuti komentar sahabatnya, mertuanya tiba-tiba datang ke pelaminan menghampiri Nasya dan Dika, suami barunya.
“Dika, lihat siapa yang datang,” ucap papa mertua Nasya penuh semangat menarik tangan pria dengan stelan jas slim fit.
Nasya memandang ke arah sosok itu dan sepasang matanya langsung terbelalak. Ia mengenali pria berusia 35 tahun itu, begitu juga sebaliknya. Senyum Nasya perlahan redup, tubuhnya menegang.
“Om, terima kasih sudah mau hadir,” ucap Dika mengulurkan tangan pada pria tersebut. Lantas, Dika menoleh pada Nasya, sembari berkata, “Nas, ini Om Chris, adik papaku.”
Kalau bisa memilih, Nasya ingin segera menghilang dari sana. Atau, paling tidak dia punya kantong ajaib Doraemon, mengeluarkan pintu kemana saja dan pergi menghilang. Kebahagiaan nya menikah dengan Dika baru dirasakan beberapa jam saja, masa iya, dia harus segera bercerai karena kemunculan Chris. Kesialan macam apa ini, Nasya menikah dengan keponakan dari pria yang sudah tidur dengannya? “Ayo, salam, Om Chris,” lanjut Dika, membuat Nasya jadi salah tingkah. “Hai, Om.” Nasya mengulurkan tangan ke arah Chris. Dia memutuskan untuk pura-pura tidak kenal saja. “Kamu....” Kalimat Chris menggantung di udara. Dia sama shock nya dengan Nasya sejak awal Anton mengajaknya naik ke pelaminan. Dari tempatnya, Chris bisa jelas melihat sosok pengantin wanita. Saking terkejutnya, Chris sudah sempat memutuskan untuk balik kanan, tapi kedatangan Anton yang menyambut kehadirannya, membuat langkahnya menuju pintu terhenti. “Om, te-rima kasih, sudah hadir, silakan nikmati hidangannya. Maaf, itu tam
"Kate! Lepaskan. Mati anak orang!" Chris berusaha memisahkan kedua wanita itu. Dia sama terkejutnya dengan Nasya, hingga persekian menit sempat bengong. Gadis bernama Kate itu masih belum ingin melepaskan rambut Nasya meski Chris sudah menarik pinggangnya. Perasaan kesal karena lelah mencari keberadaan Chris dia lampiaskan pada Nasya. "Kate!" Bentak Chris lebih kencang sembari mencoba melepas tangan Kate dari rambut Nasya, begitupun dengan Nasya sontak melepaskan remasan pada kemeja Kate. Keduanya berdiri berjauhan dengan Chris ada diantara mereka. "Apa yang kamu lakukan?" Chris terlihat marah pada Kate yang masih menarik napas. Dadanya kembang kempis karena baru saja bergulat dengan Nasya. Sekilas Chris tampak memperhatikan Nasya, takut kalau gadis itu sampai terluka. Wajah menantang yang ditunjuk gadis itu mencerminkan kalau dia baik-baik saja. Gadis malang yang tidak tahu apa-apa itu terlihat tengah mengatur napas. Bulir bening terlihat turun dari sudut matanya. "Dasar wan
Nasya kembali mematut wajahnya di cermin meja rias. Tampilan sudah oke, cantik bak putri raja. Dia sudah siap sejak setengah jam lalu, dan kini menunggu Dika yang tidak selesai juga bersiap-siap sejak sejam lalu. "Mas, kita mau kemana, sih?" ulang Nasya merasa bosan. Pertanyaan yang sudah dia ajukan enam kali sejak Dika pulang kerja dan memintanya bersiap-siap. Benar sekali, mereka baru menikah beberapa hari, tapi Dika sudah kembali bekerja. Tidak ada ajakan bulan madu, tidak ada momen menghabiskan waktu berdua di tempat romantis. Bayangan Nasya akan menikmati masa-masa romantis bersama suami setelah menikah, hilang sudah. "Mas," ulang Nasya dengan nada menuntut. Dia terus diabaikan, dan Dika masih saja sibuk memadu padankan jam tangan dengan kemejanya. "Apa, sih, Nas. 'Kan aku udah bilang, kita mau ketemu sama teman-teman ku." "Iya, tapi kan hanya makan malam, kenapa penampilannya harus begitu necis, sih?" Nasya membayangkan kalau hanya makan malam bersama teman-teman
Nasya sudah pasrah, penuh takut dia menunggu reaksi Dika. Kalau pria itu marah bahkan sampai menamparnya, mungkin hal yang pantas. Siapa sih, orang yang mau dibohongi?Lama menunggu Dika buka suara, Nasya meremas jemarinya, hati berdebar tak karuan, hanya menyisakan siksa dalam hati."Mas," lirih Nasya memutuskan menyusul. Dia mengangkat wajahnya menatap Dika dengan mata mengabur oleh cairan bening.Dika menarik tangan Nasya yang terasa dingin, menggenggam erat dan meletakkan di pangkuannya."Aku bisa menerimanya."Nasya semakin menatap Dika dengan tatapan tidak percaya. Semudah itu? Terbuat dari apa hati suaminya ini? Harusnya Dika marah dan memakinya, rapi justru sebaliknya."Mas, kamu gak marah? Aku...""Zaman sekarang itu, perawan atau tidaknya, bukan lagi hal utama. Meski salah, tapi itu kamu lakukan sebelum kita menikah. Aku tidak berhak atas masa lalumu. Sekarang, kamu adalah istri ku, jadi lupakan semua kisah yang lalu."See? Sebijak itu? Apakah Dika ternyata adalah malaikat y
"Awuu, sakit, Nas!" "Makanya mulut itu dijaga, jangan asal ngomong aja!" umpat Nasya kesal. Dia jadi 'bete' dengar celetukan Airin. "Terus kenapa gak minta haknya dari kamu?" susul Airin membuka pintu, lalu masuk lebih dulu ke kamar. Nasya juga bingung harus jawab apa. Dia juga tidak tahu kenapa suaminya begitu. "Ai, apa aku ini gak menarik, ya?" "Kata siapa? Kamu itu sempurna. Udah, gak usah dipikirin. Kesalahan bukan ada pada kamu, tapi dia!" Nasya mengikuti Airin, berbaring di samping gadis itu. Keduanya menatap langit-langit kamar. Kedua gadis itu sibuk dengan isi pikiran masing-masing, diam, hingga akhirnya tertidur. *** "Sore, Bu, rajin amat," sapa Nasya mendekati mertuanya. Risma menoleh dan tersenyum, meletakkan semprotan di atas meja. "Baru, pulang, Nas?" "Iya, Bu. Ini titipan dari mami." Nasya menyerahkan goodie bag pada Risma yang diterima dengan senang hati. "Apa ini?" "Opor sama ada kue nastar." Pembicaraan mereka terputus saat Chris tiba. Nas
"Sial!" umpat Chris melempar ponselnya ke atas meja, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pikiran Chris jauh melayang, terikat pada seseorang. Di pelupuk matanya, bayangan Nasya yang terlihat gembira dengan rambut basahnya ternyata mampu mengganggu pikiran Chris. Dia jadi badmood. Sebenarnya dia ini kenapa? Mengapa jadi gelisah dan merasa tidak suka kalau Nasya dan Dika akhirnya bahagia dan bisa menerima semua yang telah terjadi. "Pagi, Bos, ini ada berkas penting yang harus ditandatangani," Bram masuk, seperti biasa tanpa mengetuk pintu. Bram memandang Chris yang duduk di mejanya tapi hanya diam, termenung menatap layar laptop. "Bos?" Bram sudah duduk di depan Chris menyodorkan berkas yang dia tenteng tadi. "Anak ayam pak RT saya mati kemarin, kelamaan bengong, Bos." Chris bangun dari lamunannya dan mendelik sebal melihat Bram. Sahabat merangkap asistennya itu semakin hari semakin tidak punya rasa segan pada Chris. Bicara sesuka hati. "Mau apa kamu kemari?"
'Kau terlihat gembira!' Chris mengirimkan pesan pada Nasya. Selama makan malam ini berlangsung, Nasya terlihat gembira melihat Chris merasa tertekan. Kate sudah minta maaf pada Nasya, setelah mengetahui kebenaran kalau dia adalah istri Dika, yang berarti keponakan Chris. Tentu saja Nasya memaafkan. Dengan adanya Kate, dia tidak perlu khawatir kalau Chris akan terus mengganggu dirinya lagi. 'Tentu saja, balas dendam ternikmat! Oh iya, dari mana Om tahu nomor ponselku?' balas Nasya dengan senyum mengembang di bibir. Tapi, menyadari kalau Chris memiliki nomornya, membuat Nasya melihat dengan kerut di keningnya. Dia melihat ke arah Kate yang tengah asyik bicara dengan Dika. Dari seberang sorot mata Chris begitu tajam, seolah ingin membunuhnya. "Sayang, kenapa diam saja? Kenapa gak dimakan?" Kate menoleh pada Chris yang menunduk, sibuk mengetik di ponselnya. Buru-buru, Chris menutup pesan, dan mengantongi kembali ponselnya. "Aku tidak lapar, Kate!" jawab Chris jutek. Dia menerka
"Kamu pagi ini udah rapi, mau ke kampus, Nas?" Dika memperhatikan Nasya yang berdiri di depan cermin, mengamati penampilannya. Kemeja putih dan rok sepan hitam.Pagi-pagi sekali Nasya sudah berdandan, bersiap menuju perusahaan tempatnya magang. Rasanya tidak nyaman karena tidak bersama Aira, tapi mau bagaimana lagi. Dia harus mandiri "Hari ini mulai magang, Mas. Eh, apa aku belum cerita?" Nasya mendekat pada Dika dan duduk di samping pria itu yang tengah sibuk memakai sepatu.Dika menggeleng, lalu berhenti memakai kaos kakinya dan menatap serius pada Nasya."Perasaan udah deh, Mas. Tapi, kalau memang belum, maaf, ya. Hari ini aku mulai magang. Doakan biar cepat selesai dan bisa wisuda."Dika tersenyum, lalu menarik kepala Nasya untuk dia cium. "Kamu jangan capek-capek." Nasya mengangguk, lalu mengalungkan tangannya di leher Dika dan kini mulai memonyongkan bibirnya, minta dicium." Pria tampan itu tersenyum, lalu memajukan bibir untuk mengecup sang istri. Cup. "Ingat makan, j
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid