“Om … Om sangat gagah … sangat ahli–”
Kalimat itu terpotong lenguhan keras dari bibir Nasya sendiri. Kuku-kuku jarinya pastilah meninggalkan bekas di punggung pria blasteran yang sedang ada di atasnya, tanpa sadar. Gadis itu berusaha mengimbangi gerakan pria asing yang ia temui di kelab dua jam yang lalu.
Tak ada lagi suara rintihan kesakitan, seperti saat pria itu memasuki tubuh langsingnya. Kini yang terdengar di kamar hotel itu hanya erangan nikmat dari bibir kedua anak Adam dan Hawa tersebut.
Desahan kembali lolos dari bibir Nasya, membuat si pria bermata abu-abu tersebut kembali melumat bibir sensual Nasya. Menambah gelombang kenikmatan bersamaan, sama sekali lupa akan insiden yang membawa mereka ke atas ranjang ini.
Dua jam yang lalu ….
“Eh, mau dibawa ke mana aku? Lepaskan!”
Nasya meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman para pria yang mengerubunginya. Ia malam ini minum-minum sendiri di kelab karena kabar perjodohan yang baru saja ia terima. Tidak ada penolakan, Nasya harus mau menikahi pria yang sudah dipilih oleh orang tuanya tersebut.
Namun, perbuatan itu justru membawa petaka!
“Gila, semok bet ni cewek, boleh juga, nih!” seru salah satu dari tiga pria yang memegangi Nasya. Tatapannya tampak lapar saat melihat ke arah Nasya yang mengenakan tank top dan juga celana pendek.
“Mantap, nih, bisa diewe. Buruan bawa ngamar!” celetuk pria lainnya. Semakin liar saja tatapan mata mereka di tubuh Nasya.
Dengan susah payah, Nasya melepaskan diri dan berakhir terjatuh di sofa, tepat di samping seorang pria bermata abu-abu yang menatapnya dingin.
“Lepas! Kalian siapa? Lepasin!” bentak Nasya saat tangan-tangan itu tampak akan menjamah tubuhnya kembali. “Om tolongin aku, dong,” rengek Nasya tiba-tibba mendekat pada tubuh seorang pria asing yang tampaknya berusia sekitar tiga puluh tahun. Yang sudah menghuni sofa tersebut lebih dulu.
“Bawa dia!” Salah satu pria berjambang itu memberi perintah. Kedua teman pria pemberi perintah itu dengan gembira, kembali menarik tangan Nasya yang sudah setengah sadar.
“Tunggu,” ucap pria yang duduk di sofa dengan ketus. Sekalipun tatapannya risih saat memandang ke arah Nasya. “Apakah kalian sebenarnya mengenal gadis ini?”
“Ya–”
“Om, tolongin aku,” kata Nasya, memotong kebohongan pria berjambang. “Aku tidak kenal mereka, Om. Mereka mau bawa aku ke mana? Tolong dong, Om.”
Seketika, pria yang duduk di sofa itu memicingkan mata pada ketiganya yang membuat ketiga pria mesum itu takut.
“Lepaskan!”
Ketiga kawanan domba haus mangsa itu membubarkan diri, dengan mendengus kesal. Mereka tidak mau menciptakan keributan di bar itu hingga nantinya diblacklist.
“Loh, Om bisa bahasa Indonesia juga? Orang Indonesia, toh? Sama dong. Tahu dong, isi sumpah pemuda? Om, tolongin dong, ini kenapa makin panas, sih?”
Omongan Nasya mulai melantur, sementara tangannya sendiri mulai menggerayangi tubuhnya. Gadis itu sendiri tidak mengerti, kenapa semua tubuhnya terasa seperti terbakar. Tubuhnya bergerak gelisah dalam tatap tajam si pria asing tadi.
“Coba kamu embuskan napas di depan saya!” perintah pria itu sembari mendekat pada mulut Nasya. Gadis polos itu pun turut akan perintah.
Pria itu mengernyit. “Benar dugaanku,” gumamnya. Lalu dengan suara lebih keras, ia bertanya, “Siapa yang memberimu minuman itu?”
"Minuman?" Nasya mengernyit. Matanya sudah tidak fokus. "Oh, yang tadi aku minum?" Jarinya kemudian mengarah pada bartender di belakang meja bar. "Itu."
Pria itu hendak pergi ke sana, menanyakan perihal minuman sekaligus siapa teman yang datang bersama Nasya. Tapi gadis itu hendak melakukan tindakan gila. Dia ingin melepas tank top nya.
“Kamu mau apa?” bentak pria itu kembali pada Nasya.
“Panas banget. Aku gak tahan lagi,” keluh Nasya. “Tolongin aku, Om.”
Pria tampan bak malaikat itu bernama Chris Davidson. Tampan, pengusaha sukses dan pastinya matang dari segi usia. Dia datang ke Indonesia hanya ingin mengintai kekasihnya yang dikabarkan berselingkuh dengan seorang produser film. Siapa sangka dia bertemu dengan anak ABG yang setengah mabuk.
“Itu kamar mandi. Kamu muntahkan semua minuman yang tadi kamu tenggak!” Chris menunjuk pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca.
Kamar hotel tempatnya menginap tak jauh dari bar tempat mereka tadi. Terletak di lantai paling atas. Chris memilih kamar VIP yang bisa dipastikan tempatnya sangat nyaman dengan fasilitas kamar yang mewah.
Penuh semangat, Nasya masuk ke kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawahnya.
“Ini segar!” ucapnya cengengesan. Duduk bersandar pada dinding kamar mandi.
Chris yang menunggu di luar, mulai khawatir. Sudah setengah jam berlalu, Nasya tidak ada suara dan tidak juga ada tanda-tanda keluar dari sana.
“Hei, Bocah! Sudah belum?”
Tak ada jawaban, hingga Chris memutus untuk masuk saja. Dia begitu terkejut melihat Nasya yang sudah tertidur di lantai kamar mandi di bawah siraman shower.
“Dasar bocah kosong!” umatnya segera berlari mengangkat Nasya dari sana dan segera membaringkan di ranjang. Dia mempertimbangkan sejenak dengan mengamati tubuh Nasya yang basah kuyup.
“Sori, aku harus membuka bajumu!”
Secepat yang dia bisa lakukan, Chris membuka baju Nasya, menutupi tubuh polos gadis itu dengan selimut tebal. Terlihat napas Nasya naik turun dengan teratur. Chris tebak, mungkin gadis itu sebentar lagi akan tertidur dan dia pun bisa beristirahat.
Namun, harapan Chris buyar. Beberapa menit setelahnya, Nasya terbangun karena merasakan panas dalam tubuhnya kembali membakar.
“Om ... Om,” teriak Nasya memandang sekeliling. Tak mendapat jawaban, gadis itu mendudukkan dirinya. Selimut yang dijepit di pangkal ketiak hampir saja merosot.
“Om ....” Kembali suara Nasya menggema di ruangan itu. Tapi, panggilan Nasya kali ini sedikit berbeda. Lebih mendayu dan terdengar seksi menggoda.
“Kamu baru terpejam lima menit, dan kini sudah bersuara.” Pria itu menggerutu dengan suara rendahnya. “Apa lagi sekarang?”
Nasya merengek. “Masih panas. Ini aku kenapa, sih?” kata gadis itu. Ia mulai menyentuh bagian-bagian tubuhnya, membuatnya makin tampak gelisah. “Salahnya di mana? Apa pendingin kamarnya yang mati?”
“Minuman yang kamu minum itu yang jadi penyebabnya.” Chris berdecak. “Kamu udah minum obat perangsang.”
Bola mata Nasya membulat. “Hah?”
Siapa yang memberinya obat seperti itu? Atau apa mungkin dia salah mengambil minuman?
Ah, entahlah. Yang terpenting saat ini, bagaimana caranya agar dia bisa lepas dari perasaan aneh ini?
“Om–” Gadis itu hendak berjalan mendekati Chris, tapi kemudian kakinya terjerat selimut yang membungkus tubuhnya sendiri. “Ah!”
Untungnya, Chris dengan sigap menangkapnya.
Namun, itu justru membuat situasi makin runyam karena tanpa sengaja, tangan Chris menyentuh tempat yang tidak semestinya.
Dan hal itu memancing suara desahan dari bibir Nasya!
Tubuh Chris langsung menegang saat mendengarnya.
Di sisi lain, Nasya menemukan satu hal. Sentuhan Chris terasa dingin, menyelamatkannya dari panas yang menyiksa tubuhnya. Seketika Nasya menyadari bahwa ia ingin disentuh di beberapa bagian inti tubuhnya.
Sebuah perasaan yang seumur hidup baru kali ini dia rasakan.
Yang kemudian membuat Nasya mengalungkan lengannya pada leher pria matang di hadapannya dan menempelkan bibirnya pada milik Chris, melumatnya pelan.
Namun, pria itu dengan segera menarik diri dan mendorong gadis kecil itu ke sofa.
“Kamu–”
“Om, aku menemukan cara untuk menghilangkan perasaan aneh ini!” potong Nasya. Selimut yang tadi membalut tubuhnya sudah jatuh begitu saja di lantai, dengan jelas memperlihatkan kedua miliknya yang anggun menjulang, penuh sempurna.
Gadis itu berdiri, kemudian berjalan mendekati Chris.
“Kita tidak akan melakukannya,” tandas Chris dengan tegas. Suaranya rendah, lebih mirip geraman. Otaknya seperti sudah tidak berada pada tempatnya. Pria itu tidak dapat berpikir jernih, dengan Nasya yang sedang bertingkah di hadapan. “Tenang aja, Om. Aku gak akan menuntut. Asal aku bisa terlepas dari rasa ini.”Chris membuang muka, tepat saat Nasya mengulurkan tangan ke pundak Chris. Secara naluriah, tanpa ada pikiran lain.Tubuhnya ingin pria ini.Keinginan yang sedang membara dalam tubuhnya saat ini, seolah membuat insting Nasya tahu apa yang harus dia lakukan berkaitan dengan keinginan yang semakin besar dan hampir meledak itu.“Kamu, ini!”“Nama aku, Nasya, Om. Jangan panggil kamu terus,” erang Nasya, terdengar menggoda di telinga Chris.“Lepaskan.” Chris meletakkan kembali tangan Nasya, di tubuh gadis itu, tapi Nasya tetap ingin bersentuhan. Kali ini Paha Chris yang jadi sasaran, dielusnya perlahan.“Nasya!” geram Chris dengan napas tersengal, berat sekali memanggil nama gadis i
Kalau bisa memilih, Nasya ingin segera menghilang dari sana. Atau, paling tidak dia punya kantong ajaib Doraemon, mengeluarkan pintu kemana saja dan pergi menghilang. Kebahagiaan nya menikah dengan Dika baru dirasakan beberapa jam saja, masa iya, dia harus segera bercerai karena kemunculan Chris. Kesialan macam apa ini, Nasya menikah dengan keponakan dari pria yang sudah tidur dengannya? “Ayo, salam, Om Chris,” lanjut Dika, membuat Nasya jadi salah tingkah. “Hai, Om.” Nasya mengulurkan tangan ke arah Chris. Dia memutuskan untuk pura-pura tidak kenal saja. “Kamu....” Kalimat Chris menggantung di udara. Dia sama shock nya dengan Nasya sejak awal Anton mengajaknya naik ke pelaminan. Dari tempatnya, Chris bisa jelas melihat sosok pengantin wanita. Saking terkejutnya, Chris sudah sempat memutuskan untuk balik kanan, tapi kedatangan Anton yang menyambut kehadirannya, membuat langkahnya menuju pintu terhenti. “Om, te-rima kasih, sudah hadir, silakan nikmati hidangannya. Maaf, itu tam
"Kate! Lepaskan. Mati anak orang!" Chris berusaha memisahkan kedua wanita itu. Dia sama terkejutnya dengan Nasya, hingga persekian menit sempat bengong. Gadis bernama Kate itu masih belum ingin melepaskan rambut Nasya meski Chris sudah menarik pinggangnya. Perasaan kesal karena lelah mencari keberadaan Chris dia lampiaskan pada Nasya. "Kate!" Bentak Chris lebih kencang sembari mencoba melepas tangan Kate dari rambut Nasya, begitupun dengan Nasya sontak melepaskan remasan pada kemeja Kate. Keduanya berdiri berjauhan dengan Chris ada diantara mereka. "Apa yang kamu lakukan?" Chris terlihat marah pada Kate yang masih menarik napas. Dadanya kembang kempis karena baru saja bergulat dengan Nasya. Sekilas Chris tampak memperhatikan Nasya, takut kalau gadis itu sampai terluka. Wajah menantang yang ditunjuk gadis itu mencerminkan kalau dia baik-baik saja. Gadis malang yang tidak tahu apa-apa itu terlihat tengah mengatur napas. Bulir bening terlihat turun dari sudut matanya. "Dasar wan
Nasya kembali mematut wajahnya di cermin meja rias. Tampilan sudah oke, cantik bak putri raja. Dia sudah siap sejak setengah jam lalu, dan kini menunggu Dika yang tidak selesai juga bersiap-siap sejak sejam lalu. "Mas, kita mau kemana, sih?" ulang Nasya merasa bosan. Pertanyaan yang sudah dia ajukan enam kali sejak Dika pulang kerja dan memintanya bersiap-siap. Benar sekali, mereka baru menikah beberapa hari, tapi Dika sudah kembali bekerja. Tidak ada ajakan bulan madu, tidak ada momen menghabiskan waktu berdua di tempat romantis. Bayangan Nasya akan menikmati masa-masa romantis bersama suami setelah menikah, hilang sudah. "Mas," ulang Nasya dengan nada menuntut. Dia terus diabaikan, dan Dika masih saja sibuk memadu padankan jam tangan dengan kemejanya. "Apa, sih, Nas. 'Kan aku udah bilang, kita mau ketemu sama teman-teman ku." "Iya, tapi kan hanya makan malam, kenapa penampilannya harus begitu necis, sih?" Nasya membayangkan kalau hanya makan malam bersama teman-teman
Nasya sudah pasrah, penuh takut dia menunggu reaksi Dika. Kalau pria itu marah bahkan sampai menamparnya, mungkin hal yang pantas. Siapa sih, orang yang mau dibohongi?Lama menunggu Dika buka suara, Nasya meremas jemarinya, hati berdebar tak karuan, hanya menyisakan siksa dalam hati."Mas," lirih Nasya memutuskan menyusul. Dia mengangkat wajahnya menatap Dika dengan mata mengabur oleh cairan bening.Dika menarik tangan Nasya yang terasa dingin, menggenggam erat dan meletakkan di pangkuannya."Aku bisa menerimanya."Nasya semakin menatap Dika dengan tatapan tidak percaya. Semudah itu? Terbuat dari apa hati suaminya ini? Harusnya Dika marah dan memakinya, rapi justru sebaliknya."Mas, kamu gak marah? Aku...""Zaman sekarang itu, perawan atau tidaknya, bukan lagi hal utama. Meski salah, tapi itu kamu lakukan sebelum kita menikah. Aku tidak berhak atas masa lalumu. Sekarang, kamu adalah istri ku, jadi lupakan semua kisah yang lalu."See? Sebijak itu? Apakah Dika ternyata adalah malaikat y
"Awuu, sakit, Nas!" "Makanya mulut itu dijaga, jangan asal ngomong aja!" umpat Nasya kesal. Dia jadi 'bete' dengar celetukan Airin. "Terus kenapa gak minta haknya dari kamu?" susul Airin membuka pintu, lalu masuk lebih dulu ke kamar. Nasya juga bingung harus jawab apa. Dia juga tidak tahu kenapa suaminya begitu. "Ai, apa aku ini gak menarik, ya?" "Kata siapa? Kamu itu sempurna. Udah, gak usah dipikirin. Kesalahan bukan ada pada kamu, tapi dia!" Nasya mengikuti Airin, berbaring di samping gadis itu. Keduanya menatap langit-langit kamar. Kedua gadis itu sibuk dengan isi pikiran masing-masing, diam, hingga akhirnya tertidur. *** "Sore, Bu, rajin amat," sapa Nasya mendekati mertuanya. Risma menoleh dan tersenyum, meletakkan semprotan di atas meja. "Baru, pulang, Nas?" "Iya, Bu. Ini titipan dari mami." Nasya menyerahkan goodie bag pada Risma yang diterima dengan senang hati. "Apa ini?" "Opor sama ada kue nastar." Pembicaraan mereka terputus saat Chris tiba. Nas
"Sial!" umpat Chris melempar ponselnya ke atas meja, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pikiran Chris jauh melayang, terikat pada seseorang. Di pelupuk matanya, bayangan Nasya yang terlihat gembira dengan rambut basahnya ternyata mampu mengganggu pikiran Chris. Dia jadi badmood. Sebenarnya dia ini kenapa? Mengapa jadi gelisah dan merasa tidak suka kalau Nasya dan Dika akhirnya bahagia dan bisa menerima semua yang telah terjadi. "Pagi, Bos, ini ada berkas penting yang harus ditandatangani," Bram masuk, seperti biasa tanpa mengetuk pintu. Bram memandang Chris yang duduk di mejanya tapi hanya diam, termenung menatap layar laptop. "Bos?" Bram sudah duduk di depan Chris menyodorkan berkas yang dia tenteng tadi. "Anak ayam pak RT saya mati kemarin, kelamaan bengong, Bos." Chris bangun dari lamunannya dan mendelik sebal melihat Bram. Sahabat merangkap asistennya itu semakin hari semakin tidak punya rasa segan pada Chris. Bicara sesuka hati. "Mau apa kamu kemari?"
'Kau terlihat gembira!' Chris mengirimkan pesan pada Nasya. Selama makan malam ini berlangsung, Nasya terlihat gembira melihat Chris merasa tertekan. Kate sudah minta maaf pada Nasya, setelah mengetahui kebenaran kalau dia adalah istri Dika, yang berarti keponakan Chris. Tentu saja Nasya memaafkan. Dengan adanya Kate, dia tidak perlu khawatir kalau Chris akan terus mengganggu dirinya lagi. 'Tentu saja, balas dendam ternikmat! Oh iya, dari mana Om tahu nomor ponselku?' balas Nasya dengan senyum mengembang di bibir. Tapi, menyadari kalau Chris memiliki nomornya, membuat Nasya melihat dengan kerut di keningnya. Dia melihat ke arah Kate yang tengah asyik bicara dengan Dika. Dari seberang sorot mata Chris begitu tajam, seolah ingin membunuhnya. "Sayang, kenapa diam saja? Kenapa gak dimakan?" Kate menoleh pada Chris yang menunduk, sibuk mengetik di ponselnya. Buru-buru, Chris menutup pesan, dan mengantongi kembali ponselnya. "Aku tidak lapar, Kate!" jawab Chris jutek. Dia menerka
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid