Nasya sudah pasrah, penuh takut dia menunggu reaksi Dika. Kalau pria itu marah bahkan sampai menamparnya, mungkin hal yang pantas. Siapa sih, orang yang mau dibohongi?
Lama menunggu Dika buka suara, Nasya meremas jemarinya, hati berdebar tak karuan, hanya menyisakan siksa dalam hati. "Mas," lirih Nasya memutuskan menyusul. Dia mengangkat wajahnya menatap Dika dengan mata mengabur oleh cairan bening. Dika menarik tangan Nasya yang terasa dingin, menggenggam erat dan meletakkan di pangkuannya. "Aku bisa menerimanya." Nasya semakin menatap Dika dengan tatapan tidak percaya. Semudah itu? Terbuat dari apa hati suaminya ini? Harusnya Dika marah dan memakinya, rapi justru sebaliknya. "Mas, kamu gak marah? Aku..." "Zaman sekarang itu, perawan atau tidaknya, bukan lagi hal utama. Meski salah, tapi itu kamu lakukan sebelum kita menikah. Aku tidak berhak atas masa lalumu. Sekarang, kamu adalah istri ku, jadi lupakan semua kisah yang lalu." See? Sebijak itu? Apakah Dika ternyata adalah malaikat yang menjelma jadi manusia? Sangat berbeda dengan pria yang satunya. Tiba-tiba ingat pada Chris, sudut bibirnya naik sedikit. "Cuih! Mau bilang apa nanti si Om psycho itu kalau tahu mas Dika gak marah padaku?" "Kenapa ekspresi wajahnya begitu?" tegur Dika tersenyum. Wajah Nasya jadi lucu dan menggemaskan saat memasang ekspresi tengil. "Hehehe, gak papa, Mas. Oh iya, mmm... karena gak ada masalah lagi, apa gak sebaiknya kita... kita... Hehehe, jadi malu." Nasya benar-benar salah tingkah. Dika paham maksud istrinya dan hanya tersenyum. Pria itu menarik tangan Nasya agar tubuh gadis itu masuk dalam pelukannya. Pelukan Dika terasa hangat. Di sanalah tempat Nasya seharusnya. Malam itu, Nasya berikrar kalau dia adalah wanita sekaligus istri yang paling beruntung di dunia ini. Kalau tahu sejak dulu bahwa Dika sebaik ini, Nasya tidak akan perlu menolak dan kabur saat dijodohkan. "Mas," panggil Nasya yang masih dalam pelukan Dika. Mengapa dirinya hanya dipeluk dan tidak langsung dieksekusi saja? Bukannya sudah jelas permintaan Nasya? "Apa, Sayang?" "Kita gak buat dedek?" bisik Nasya manja, jemarinya bermain di dada bidang pria itu. Merasa tergelitik, Dika menangkap telunjuk Nasya agar berhenti, lalu mengecup kening Nasya. "Besok aja, ya, Sayang." Nasya menghela napas lalu mengangguk pelan. Oke, malam ini cukup panjang dan sedikit melelahkan. Masih ada esok lusa untuk bercinta, yang terpenting saat ini, Dika sudah tahu kekurangan Nasya dan mau memaafkan gadis itu. Hari-hari Nasya kini dilalui dengan hati plong dan merasa sangat bahagia. Semua tampak sempurna, hanya saja masih ada satu yang mengganjal di hati Nasya. Janji Dika belum juga terealisasi. Saat Dika berkata besok, Nasya sudah bersiap-siap, mengenakan lingerie yang sangat seksi. Namun, harapan tinggal harapan. Hingga saat ini dia juga belum disentuh. Penuh sabar Nasya menunggu Dika masuk ke dalam kamar mereka malam ini. Pria itu tengah berbincang dengan Chris dan juga ayah mertuanya. Kali ini Nasya tidak perlu takut lagi kalau sampai Chris buka suara, toh, Dika juga sudah tahu. "Lebih baik aku dandan tipis-tipis dulu," bangun Nasya sembari tersenyum. Beranjak menuju meja riasnya. Melihat tampilan sudah oke, Nasya pun tersenyum, bergegas masuk ke dalam ruang ganti. Segera membongkar paket dari Airin berisi baju tidur. "Lingerie?" batin Nasya. Pipinya kembali merah membayangkan dia memakai pakaian itu malam ini di depan Dika. Niatnya sudah bulat, dia pun segera mencoba satu. Malu-malu dia berdiri di depan cermin. Rasanya penampilannya terlalu berani, tapi dia ingat nasehat ibunya. 'Jangan malu menunjukkan milikmu pada suami. Ingat, kamu itu sudah jadi miliknya!' Nasya menarik napas lalu menegakkan bahunya. Samar terdengar suara pintu dibuka. Nasya pun bergegas keluar dari ruang ganti. "Mas," panggil Nasya dengan suara mendayu. Dia berdiri diambang pintu ruang ganti dengan pose seksi yang sempat dia cari di g****e. Jari telunjuknya bergerak-gerak meminta Dika mendekat. "Kamu pakai lingerie, seksi sekali," puji Dika tersenyum. Nasya merasa senang dipuji oleh suaminya. "Malam ini kita malam pertama, yuk?" bisik Nasya mengalungkan tangan di leher Dika. "Aku capek banget hari ini. Besok, ya?" jawab Dika mengangkat tubuh Nasya ke atas ranjang. "Besok lagi? Gak ada habisnya kata besok buat mas Dika!" sungut Nasya cemberut. Nasya terus mengamati hingga Dika berbaring. "Sini, Sayang, jangan cemberut. Sini aku peluk." Dika merentangkan tangan. Nasya luluh, dia pun merangkak naik ke atas tempat tidur. Menutup semua khayalnya akan bercumbu dengan suami itu. *** "Apa lihat-lihat, Om?" Tanya Nasya jutek. Pria itu sejak tadi terus saja melihatnya. Sarapan di depannya dianggurin hingga kopinya sejak awal mengepul jadi dingin. "Wajah ditekuk terus, udah jelek tambah jelek," jawab Chris mengamati raut wajah Nasya yang cemberut sejak bergabung dengannya di meja makan. Nasya mengabaikan ucapan Chris. Melihat ke arah anak tangga, Dika masih saja belum turun. "Aku tebak, kayaknya gak dikasih jatah ya, sama Dika? Kasihan. Gimana kalau sama aku aja?" bisik Chris mendekatkan kepalanya ke arah Nasya. Pelototan Nasya justru membuat Chris tertawa ngakak. Dia begitu menikmati setiap momen saat menggoda Nasya. "Apa ada cerita lucu?" Dika muncul dengan senyum di bibir. Dia memandang pada mereka bergantian dan mulai ikut duduk. Chris hanya mengangkat bahu lalu mengangkat cangkir kopinya. "Sayang?" "Gak ada apa-apa, Mas. Habisin sarapannya, nanti kamu terlambat." Nasya sudah menyiapkan roti yang sudah dioles selai. "Kamu hari ini mau ngapain? Jadi ke rumah mami?" "Jadi, Mas. Tapi nanti ke kampus dulu." Dika hanya mengangguk lalu bergegas menghabiskan sarapannya. *** "Wah, anak gadis mami datang," sambut Anisa memeluk gembira. Wanita itu segera menanggalkan celemek nya dan maju memeluk Nasya. "Mami sehat?" "Alhamdulillah, sehat. Wajah kamu kok, kusut? Oh, mami tahu, pasti Dika buat kamu begadang terus, ya? Baguslah, biar mami papi cepat dapat cucu." Nasya terduduk lemas. Kepalanya menengadah melihat langit-langit. Ucapan ibunya justru menjadi beban. Dia juga ingin buat orang tuanya bahagia, tapi bagaimana mungkin, sampai sekarang saja Dika belum menyentuhnya. "Airin belum sampai, Mi?" Tanya Nasya mengalihkan topik. Hari ini dia janji pada sahabatnya untuk bertemu di sini. Nasya berharap mereka akan bertemu di kampus, membahas tempat magang mereka, tapi Airin tidak jadi ke kampus dan janji akan langsung ke rumah Nasya. "Belum. Ih, kamu ini, ucapan mami kok, gak disambut. Gimana? Udah jadikan buat adonannya?" "Adonan? Mami tahu sendiri aku gak bisa buat bolu." Anisa hanya tersenyum, lalu duduk di samping Nasya. " Maksud mami kamu sama Dika udah jadi buat cucu mami?" "Mami, ih, masa bahas begituan." Wajah Nasya berubah murung. Rasanya dia ingin cerita sama ibunya, tapi malu. "Kalau malu cerita sama mami, sama aku aja sini,"celetuk Airin muncul dari ambang ruang tamu, tak lupa menyalam Anisa dan mencium pipi wanita itu, lalu menarik tangan Nasya bergegas menuju lantai dua kamar Nasya. "Mungkin mas Dika doyan cowok kali," bisik Airin di telinga Nasya tepat di anak tangga kedua."Awuu, sakit, Nas!" "Makanya mulut itu dijaga, jangan asal ngomong aja!" umpat Nasya kesal. Dia jadi 'bete' dengar celetukan Airin. "Terus kenapa gak minta haknya dari kamu?" susul Airin membuka pintu, lalu masuk lebih dulu ke kamar. Nasya juga bingung harus jawab apa. Dia juga tidak tahu kenapa suaminya begitu. "Ai, apa aku ini gak menarik, ya?" "Kata siapa? Kamu itu sempurna. Udah, gak usah dipikirin. Kesalahan bukan ada pada kamu, tapi dia!" Nasya mengikuti Airin, berbaring di samping gadis itu. Keduanya menatap langit-langit kamar. Kedua gadis itu sibuk dengan isi pikiran masing-masing, diam, hingga akhirnya tertidur. *** "Sore, Bu, rajin amat," sapa Nasya mendekati mertuanya. Risma menoleh dan tersenyum, meletakkan semprotan di atas meja. "Baru, pulang, Nas?" "Iya, Bu. Ini titipan dari mami." Nasya menyerahkan goodie bag pada Risma yang diterima dengan senang hati. "Apa ini?" "Opor sama ada kue nastar." Pembicaraan mereka terputus saat Chris tiba. Nas
"Sial!" umpat Chris melempar ponselnya ke atas meja, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pikiran Chris jauh melayang, terikat pada seseorang. Di pelupuk matanya, bayangan Nasya yang terlihat gembira dengan rambut basahnya ternyata mampu mengganggu pikiran Chris. Dia jadi badmood. Sebenarnya dia ini kenapa? Mengapa jadi gelisah dan merasa tidak suka kalau Nasya dan Dika akhirnya bahagia dan bisa menerima semua yang telah terjadi. "Pagi, Bos, ini ada berkas penting yang harus ditandatangani," Bram masuk, seperti biasa tanpa mengetuk pintu. Bram memandang Chris yang duduk di mejanya tapi hanya diam, termenung menatap layar laptop. "Bos?" Bram sudah duduk di depan Chris menyodorkan berkas yang dia tenteng tadi. "Anak ayam pak RT saya mati kemarin, kelamaan bengong, Bos." Chris bangun dari lamunannya dan mendelik sebal melihat Bram. Sahabat merangkap asistennya itu semakin hari semakin tidak punya rasa segan pada Chris. Bicara sesuka hati. "Mau apa kamu kemari?"
'Kau terlihat gembira!' Chris mengirimkan pesan pada Nasya. Selama makan malam ini berlangsung, Nasya terlihat gembira melihat Chris merasa tertekan. Kate sudah minta maaf pada Nasya, setelah mengetahui kebenaran kalau dia adalah istri Dika, yang berarti keponakan Chris. Tentu saja Nasya memaafkan. Dengan adanya Kate, dia tidak perlu khawatir kalau Chris akan terus mengganggu dirinya lagi. 'Tentu saja, balas dendam ternikmat! Oh iya, dari mana Om tahu nomor ponselku?' balas Nasya dengan senyum mengembang di bibir. Tapi, menyadari kalau Chris memiliki nomornya, membuat Nasya melihat dengan kerut di keningnya. Dia melihat ke arah Kate yang tengah asyik bicara dengan Dika. Dari seberang sorot mata Chris begitu tajam, seolah ingin membunuhnya. "Sayang, kenapa diam saja? Kenapa gak dimakan?" Kate menoleh pada Chris yang menunduk, sibuk mengetik di ponselnya. Buru-buru, Chris menutup pesan, dan mengantongi kembali ponselnya. "Aku tidak lapar, Kate!" jawab Chris jutek. Dia menerka
"Kamu pagi ini udah rapi, mau ke kampus, Nas?" Dika memperhatikan Nasya yang berdiri di depan cermin, mengamati penampilannya. Kemeja putih dan rok sepan hitam.Pagi-pagi sekali Nasya sudah berdandan, bersiap menuju perusahaan tempatnya magang. Rasanya tidak nyaman karena tidak bersama Aira, tapi mau bagaimana lagi. Dia harus mandiri "Hari ini mulai magang, Mas. Eh, apa aku belum cerita?" Nasya mendekat pada Dika dan duduk di samping pria itu yang tengah sibuk memakai sepatu.Dika menggeleng, lalu berhenti memakai kaos kakinya dan menatap serius pada Nasya."Perasaan udah deh, Mas. Tapi, kalau memang belum, maaf, ya. Hari ini aku mulai magang. Doakan biar cepat selesai dan bisa wisuda."Dika tersenyum, lalu menarik kepala Nasya untuk dia cium. "Kamu jangan capek-capek." Nasya mengangguk, lalu mengalungkan tangannya di leher Dika dan kini mulai memonyongkan bibirnya, minta dicium." Pria tampan itu tersenyum, lalu memajukan bibir untuk mengecup sang istri. Cup. "Ingat makan, j
Baik Nasya atau pun pria yang baru saja memanggil namanya, sama sekali tidak menyangka kalau mereka akan bertemu di tempat itu. Salah tempat! Hanya itu yang dikatakan Nasya dalam hatinya. Firasatnya sudah buruk, dia akan berada di neraka selama enam bulan ini. Takdir memang kadang suka bercanda, tapi tidak seperti ini juga, dong! Nasya sengaja menghindar i kenapa justru takdir buat mereka mendekat? "Ada apa ini?" tanya Hans yang sudah dipanggil salah satu karyawan dan memberitahu soal keributan di pantry. Tentu saja dia harus bertanggung jawab atas bawahan serta semua yang ada di bawah kepemimpinannya. "Maaf, Pak, ini anak magang buat keributan. Hampir saja pantry kita kebakaran!" sahut gadis yang jadi rival Nasya tadi. "Kebakaran? Maksud kamu, Anggi?" "Ini, Pak, anak magang gak berguna ini masak air, tapi justru melamun sampai air nya habis dan pan nya gosong!" Semua mata kini berpusat pada Nasya. Kebanyakan tentu saja melayangkan tatapan menghakimi. "Benar begitu, Nas?"
"Aku antar kamu pulang, ya?" tawar Dan menghadang langkah Nasya. Gadis itu tersenyum. Dia ingin menerima kebaikan pria itu, tapi takut ujungnya jadi tidak enak. Nasya bukan ge-er, tapi dia bisa merasa kalau Dan memang suka padanya. Nasya tidak ingin jadi wanita jahat, memberi harapan pada Dan, padahal jelas-jelas tidak bisa membalas perasaan pria itu. "Mmm ... kamu duluan aja, Dan. Aku udah ada yang jemput," tolak Nasya berbohong. Siapa yang akan menjemputnya, tidak ada. Dika kemarin tiba-tiba saja harus ke luar kota. Terlalu mendadak hingga tidak sempat kembali ke rumah hanya untuk mengambil pakaian. "Pacar kamu?" Nasya hanya tersenyum. Mungkin ini saatnya dia terus terang. Ketepatan Dan sedang bertanya. Dia akan jelaskan kalau dia sudah menikah. "Bukan pacar, tapi-" "Dan, gue nebeng, ya?" Ema sudah bergabung bersama mereka di depan parkiran. Ema yang closing terakhir bergegas memburu Dan. Bisa saja dia naik ojek, tapi jelas dia punya niat pada Dan. "Aku-" Dan tidak bis
"Sudahlah, wajahmu semakin jelek kalau terus menangis seperti itu!" ucap Chris menyerahkan kembali selembar tisu. Mobilnya sudah seperti tempat pembuangan sampah, banyak tisu yang berserakan. Nasya masih belum mau diam. Hatinya sakit. Dia tidak mungkin salah lihat. Itu Dika, suaminya! Hatinya panas, memikirkan bagaimana Dika mencium orang lain, padahal bersamanya, pria itu hanya mengecup sekilas, tanpa kesan dan perasaan. "Om, tolong, dong, simpatinya dikit. Aku ini lagi sedih, ya. Punya hati, kan? Malah ngatain wajah aku!" jawab Nasya ketus sambil mengambil tisu dari tangan Chris. "Kamu menangisi yang belum pasti. Belum tentu juga itu Dika. Sekarang kamu tenangkan diri," ucap Chris lembut. Seperti terhipnotis, setiap Chris berbicara lembut padanya, Nasya selalu jadi luluh. Dia pun diam, meredam tangisnya. Pandangan kembali di buang ke luar jendela. Chris menganggap kalau Nasya sudah tenang dan mereka bisa kembali melanjutkan perjalanan. Mobil yang sempat ditepikan di jalan
Minggu sore, Dika pulang. Dia datang tanpa beban dan rasa bersalah. Toh, dia tidak merasa berbuat salah. Dia menyapa semua anggota keluarga, termasuk Chris yang tengah duduk santai di teras rumah. "Wah, pada ngumpul," sapanya ramah. Mengingat kalau dia sudah berhasil membuat Nasya menangis kemarin malam, ingin sekali rasanya Chris memukul rahang pria itu. Dia masih ingat ucapan Nasya saat mereka berpisah di anak tangga terakhir menuju kamar mereka masing-masing, "Terima kasih, Om. Tapi, kita tetap orang asing!" Dirinya lah yang menenangkan Nasya saat bersedih karena perbuatan Dika, tapi justru Nasya ingin tetap menganggapnya asing hanya demi memelihara perasaannya pada Dika. "Kamu sudah pulang, Dik." Risma menyambut anaknya dengan tangan terbuka, dan mencium pipi Dika. Kasih ibu sepanjang masa, tidak peduli bagaimana kelakuan anaknya. "Iya, Bu. Nasya mana?" "Dia di kamar. Temuilah." Dika mengangguk, dan bergegas mencari istrinya. Dalam hatinya, Nasya akan memeluknya karena
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid