"Aku antar kamu pulang, ya?" tawar Dan menghadang langkah Nasya. Gadis itu tersenyum. Dia ingin menerima kebaikan pria itu, tapi takut ujungnya jadi tidak enak. Nasya bukan ge-er, tapi dia bisa merasa kalau Dan memang suka padanya. Nasya tidak ingin jadi wanita jahat, memberi harapan pada Dan, padahal jelas-jelas tidak bisa membalas perasaan pria itu. "Mmm ... kamu duluan aja, Dan. Aku udah ada yang jemput," tolak Nasya berbohong. Siapa yang akan menjemputnya, tidak ada. Dika kemarin tiba-tiba saja harus ke luar kota. Terlalu mendadak hingga tidak sempat kembali ke rumah hanya untuk mengambil pakaian. "Pacar kamu?" Nasya hanya tersenyum. Mungkin ini saatnya dia terus terang. Ketepatan Dan sedang bertanya. Dia akan jelaskan kalau dia sudah menikah. "Bukan pacar, tapi-" "Dan, gue nebeng, ya?" Ema sudah bergabung bersama mereka di depan parkiran. Ema yang closing terakhir bergegas memburu Dan. Bisa saja dia naik ojek, tapi jelas dia punya niat pada Dan. "Aku-" Dan tidak bis
"Sudahlah, wajahmu semakin jelek kalau terus menangis seperti itu!" ucap Chris menyerahkan kembali selembar tisu. Mobilnya sudah seperti tempat pembuangan sampah, banyak tisu yang berserakan. Nasya masih belum mau diam. Hatinya sakit. Dia tidak mungkin salah lihat. Itu Dika, suaminya! Hatinya panas, memikirkan bagaimana Dika mencium orang lain, padahal bersamanya, pria itu hanya mengecup sekilas, tanpa kesan dan perasaan. "Om, tolong, dong, simpatinya dikit. Aku ini lagi sedih, ya. Punya hati, kan? Malah ngatain wajah aku!" jawab Nasya ketus sambil mengambil tisu dari tangan Chris. "Kamu menangisi yang belum pasti. Belum tentu juga itu Dika. Sekarang kamu tenangkan diri," ucap Chris lembut. Seperti terhipnotis, setiap Chris berbicara lembut padanya, Nasya selalu jadi luluh. Dia pun diam, meredam tangisnya. Pandangan kembali di buang ke luar jendela. Chris menganggap kalau Nasya sudah tenang dan mereka bisa kembali melanjutkan perjalanan. Mobil yang sempat ditepikan di jalan
Minggu sore, Dika pulang. Dia datang tanpa beban dan rasa bersalah. Toh, dia tidak merasa berbuat salah. Dia menyapa semua anggota keluarga, termasuk Chris yang tengah duduk santai di teras rumah. "Wah, pada ngumpul," sapanya ramah. Mengingat kalau dia sudah berhasil membuat Nasya menangis kemarin malam, ingin sekali rasanya Chris memukul rahang pria itu. Dia masih ingat ucapan Nasya saat mereka berpisah di anak tangga terakhir menuju kamar mereka masing-masing, "Terima kasih, Om. Tapi, kita tetap orang asing!" Dirinya lah yang menenangkan Nasya saat bersedih karena perbuatan Dika, tapi justru Nasya ingin tetap menganggapnya asing hanya demi memelihara perasaannya pada Dika. "Kamu sudah pulang, Dik." Risma menyambut anaknya dengan tangan terbuka, dan mencium pipi Dika. Kasih ibu sepanjang masa, tidak peduli bagaimana kelakuan anaknya. "Iya, Bu. Nasya mana?" "Dia di kamar. Temuilah." Dika mengangguk, dan bergegas mencari istrinya. Dalam hatinya, Nasya akan memeluknya karena
"Kenapa, sih, kok cemberut aja Have fun, dong. Katanya mau nonton. Kita lagi kencan ini," ucap Dika memperhatikan Nasya. Film akan segera dimulai, pintu teater juga akan dibuka agar pada penonton bisa segera masuk. Harusnya Nasya bahagia. Keinginannya menghabiskan waktu bersama dengan suaminya terkabul. Hanya saja, pesan yang dia baca di ponsel Dika, membuat dunia kembali kelabu. Kali ini diantara sakit hati dan kecewa, ada ketakutan. Yah, Nasya takut kalau Dika akan mendengarkan nasehat Bima, untuk menceraikan dia. Lagi-lagi, predikat janda yang mungkin saja akan disandang membuatnya sedih hingga ke ulu hati. "Kepalaku tiba-tiba sakit. Kita pulang aja, ya?" Nasya memutuskan tidak akan mempertanyakan soal pesan Bima, dia lelah. Baru saja kepercayaan pada Dika dibangun, kini sudah hancur kembali. Dari pada mereka bertengkar hingga membuat Dika semakin jenuh padanya, Nasya akan coba rem, tapi dalam diam nya, dia akan mengawasi, bahkan mulai mencari tahu. Siaga kalau ada pelakor
"Udah, kamu gak usah sedih. Kalau dia benar-benar selingkuh, minta cerai, jangan kasih poin!" tegas Aira ikut emosi setelah mendengar penuturan Nasya. Keduanya tengah duduk di kantin kampus, mengurus berkas kelengkapan untuk meja hijau nanti. Airin tidak terima sahabatnya disia-siakan oleh Dika. Airin jadi ingat bagaimana stresnya Nasya atas perjodohan itu hingga sampai dia mengalah demi ayahnya. "Masa aku jadi janda, baru juga nikah beberapa bulan," jawab Nasya cemberut, bibirnya mengerucut. Memikirkan hal itu saja buat dia semakin down. "Gak papa janda. Janda bukan sembari janda, lu janda tapi perawan!" Mulut Nasya yang awalnya terbuka kini terkatup sempurna. Dia belum cerita kalau sudah pernah tidur dengan pria lain, yang parahnya adalah om dari suaminya sendiri. Nasya ingin sekali bercerita, mungkin ini saat yang tepat terbuka pada Airin, tapi bayangan kalau sahabat itu akan marah karena sekian lama menyimpan rahasia darinya membuat keberanian Nasya hilang. "Gini aj
"Mas, kenapa, sih kamu kayak nurut gitu sama Bima?" Nasya mengulang pertanyaannya yang sempat diabaikan suaminya saat diperjalanan tadi. Kini sesampainya di rumah, tepat di kamar mereka, Nasya kembali menuntut rasa penasarannya. "Bukan begitu. Kami sudah berteman lama. Sikapnya padamu hanya bentuk kepedulian padaku. Dia tidak ingin kamu mempermainkan ketulusanku, Nas. Hanya itu!" Dika menutup buku agenda yang dia tulis tadi, lalu meletakkan di atas meja. Tak lupa kaca mata bacanya juga dia letakkan di samping buku itu. Nasya mengangkat kepalanya lalu bersandar di dada Dika. Bayangan sikap Bima saat makan bersama mereka tadi sangat membuat Nasya tidak nyaman. Dia terus menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. Berdecih sebal setiap kali Nasya bicara dengan Dika. "Sudah, jangan dipikirkan lagi. Yang penting aku sayang padamu, dan tidak akan menceraikan mu. Amit-amit. Yuk, kita tidur, aku ngantuk." Dika sudah membenarkan posisinya. Dia memang terlihat tidak memikirkan perten
"Em, maksud kamu apa mencuri customer ku?" tanya Nasya penuh emosi. Semua amarah dan kekesalan bercampur jadi satu. Dalam benaknya segera meminta Ema agar mau mengembalikan hak nya. "Maksud kamu? Aku gak paham, Nas." Banyak pasang mata mengamati mereka di ruang istirahat. Jam tiga sore, biasanya para karyawan duduk santai karena pasti jam segitu tidak banyak para customer yang berkunjung. "Gak usah berlagak bodoh! Pak Hari 'kan customer ku, aku yang melayani dan menjelaskan semuanya, kenapa ujuk-ujuk penjualan atas namamu?" wajah Nasya masih terasa panas, emosinya masih belum surut. Nasya tidak akan menyerah, sampai mati akan dia pertahankan yang menjadi haknya. Lagi pula, dia sangat membutuhkan uang itu. Cara Ema yang curang hanya menambah amarahnya saja. "Kamu jangan ngarang bebas. Sejak kapan kamu menjual unit. Tanya pak Hans, dari semua karyawan cuma kamu yang gagal jualan. Jadi, siapa yang akan percaya omongan kamu itu. Lagi pula, diberkas jelas ada tanda tangan saya dan
Nasya masih bingung dengan semua yang terjadi. Tiba-tiba saja Hans datang dan meminta maaf padanya di depan banyak karyawan dan paling epic dihadiri oleh Chris. Nasya memicingkan mata ke arah Chris. Apa mungkin ini semua ulah pria itu? Bodoh! Kenapa dia baru ingat kalau pemilik perusahaan itu adalah Chris? "Sa-saya menerima permintaan maaf, Bapak," jawab Nasya gugup. "Baiklah, kalau sudah selesai, kamu bisa ikut ke ruangan saya!" perintah Chris menunjuk dirinya. Semua pasang mata menatap Nasya kala itu. Bertanya ada hubungan apa dengan bos besar, hingga harus turun tangan menangani masalah ini. Nasya menghiraukan pandangan penuh tanya para karyawan dan mengikuti langkah Chris. Semua teka-teki dari mana Chris tahu soal kecurangan Ema akhirnya terjawab setelah dia sampai di ruangan dan bertemu Hari Tanu. "Bapak?" Pria itu tersenyum dan melambai. Hari datang ke Alpha Orion Corp untuk bertemu Chris dan mengadukan kecurangan Ema, serta menuntut agar Chris menindaklanjuti Hans
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid