Brak! Brak! Brak!
Ia menggebrak pintu gudang yang terbuat dari besi itu. Berharap ada yang membukakan pintu untuknya. Ia sangat takut dengan kemurkaan Pak Arya yang ingin menelannya hidup-hidup.
"Tolong! Tolong! Tolong!"
Teriakan Clara menggema di dalam gudang. Namun tiada guna ia berteriak sekencang apa pun. Pasalnya ... suara dari dalam tidak bisa terdengar dari luar. Namun, suara dari luar bisa terdengar dari dalam.
"Teriaklah sekencang-kencangnya, Sayang! Karena tidak akan ada yang mendengar suara kamu. Karena ruangan ini kedap suara. Jadi suaranya hanya terdengar dari dalam saja," ucap Arya menyerigai.
Ia berjalan ke arah gadis itu dengan langkah mematikan. Setiap langkahnya membuat Clara semakin ketakutan. Matanya sudah berkaca-kaca dan ingin mengeluarkan cairan bening dari sana.
"Pergi! Jauhi saya!" teriak Clara.
Ia berlari menjauh dari laki-laki psyco itu. Rasanya ingin meminta tolong sahabatnya, Caca. Namun ia tadi menolak untuk ditemani olehnya. Alhasil ia tidak tahu harus bagaimana sekarang.
"Berlarilah sekencang yang kamu mau, Sayang. Karena ujung-ujungnya kamu akan jatuh ke dalam pelukan saya," ujarnya.
"Ha-ha-ha!"
Arya tertawa jahat persis seperti iblis. Ia memang iblis berwujud manusia. Selalu ingin ambisinya terpenuhi. Apalagi setan sudah merasuki tubuhnya, hingga terbesit pikiran kotor dari otaknya.
Kini ... Arya semakin mendekat. Gadis itu berjalan mundur, mundur, dan mundur. Sesekali ia menengok ke belakang yang sudah hampir ke tembok. Satu langkah saja akan mengantar punggungnya menabrak tembok.
"Mari bersenang-senang, Sayang."
Arya menangkap tubuhnya. Ia memegang tangan Clara dengan erat. Hingga ia tak bisa melepaskannya.
"Lepas! Lepas atau saya akan teriak!" ancam Clara tak main-main. Ia mencoba untuk tidak takut, karena situasi yang ia hadapi sangat sulit. Ingin menghubungi seseorang, tapi ponselnya ada di kelas. Ingin berteriak minta tolong, tapi percuma.
Sekarang apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus menerima tawaran sang dosen agar bisa keluar? Hanya orang bodoh yang putus asa.
"Argh."
Clara menggigit tangan Arya kuat-kuat. Ia seperti seorang vampir yang haus darah. Kemudian menginjak kaki pria kurang ajar itu dengan hentakan yang kuat.
"Aw!" pekik laki-laki kurang ajar itu.
Akhirnya ia lepas dari genggaman dosennya. Namun ini bukan berita baik juga, karena ia masih terkunci di ruangan yang ia anggap neraka itu.
Brak! Brak! Brak!
Meskipun caranya bodoh, ia tetap melakukannya. Setidaknya ada usaha agar bisa keluar dari sana.
"Siapa pun tolong keluarin aku dari sini! Heiiii ... tolong!"
"Dasar gadis sialan. Berani sekali dia," cerca Arya. Ia bangkit dan berjalan ke arahnya.
Bisa dipastikan seperti apa ekspresinya saat ini. Ia sangat marah, karena Clara semakin ngelunjak. Untung saja tadi ia sempat mengunci dari dalam. Jadi tidak, maka akan ada yang bisa menggagalkan rencana busuknya.
....
"Jangan lakukan ini, Pak," pinta Clara berkaca-kaca. Ia menahan tangan kekar itu untuk tidak sampai menyentuh barang berharganya.
"Kenapa? Kamu pasti akan menikmatinya, Sayang."
Ia tetap melakukan hal tak senooh itu. Ia memaksakan kehendaknya pada gadis yang tak berdosa. Ia seperti buaya yang kelaparan. Seenak jidat menyentuh bagian tubuh Clara.
"Jangan, Pak. Jangan lakukan itu, saya nggak mau. Pergilah!"
Ketika Arya mencoba membuka kancing bajunya satu per satu, ia menangis histeris. Dengan susah payah ia menjaga kesuciannya, tapi laki-laki di hadapannya ini malah ingin merenggutnya begitu saja.
Bagaimana caranya ia bilang ke mama dan papanya nanti? Apa kata suaminya kelak jika istrinya sudah tak perawan lagi? Apa kata masyarakat jika seorang gadis direnggut kesuciannya?
Pikiran seperti itu terus menyelimuti otaknya. Ia tak bisa berkutik sekarang. Karena Arya mengunci tubuhnya. Hingga untuk bernapas saja harus seizin pria tak punya otak itu.
Hidupnya seperti kiamat, orang di hadapannya ini ibarat Malaikat Izrail yang siap mencabut nyawa hamba yang akan tiada. Seperti itulah rasanya berada di posisi gadis itu.
"Makanya jangan sok nolak, akhirnya kamu mau juga melakukan ini sama saya," ujarnya.
Padahal Clara sama sekali tak menginginkan hal itu. Ia masih ingin kuliah dan menikmati pacaran bersama Algo. Namun sekarang ... ia sudah tak gadis lagi.
Setelah melakukan hal memalukan itu, Arya langsung tersenyum puas. Akhirnya hasrat yang ia pendam selama ini sudah terpenuhi. Jiwa laki-lakinya seakan ingin melakukan lagi. Tapi sebentar lagi ia harus mengajar, karena itulah ia menghentikan aksinya.
"Dah, gadis cantik! Terimakasih atas pelayanannya hari ini. Jadilah wanita bayaran saja, pasti laris manis. Hahaha."
Ia pergi meninggalkan Clara seorang diri. Bahkan tanpa kepedulian sedikit pun. Ia memang laki-laki tak bermoral. Statusnya saja yang dosen, tapi kelakuan menyerupai iblis.
Clara hanya bisa menangis, kesucian yang ia jaga telah direnggut oleh dosennya sendiri. Ia tak menyangka jika hidupnya akan berakhir seperti ini.
Ini seperti mimpi buruk yang menghancurkan hidupnya, masa depannya, dan ... bagaimana nasib hubungannya dengan Algo? Apa yang harus ia katakan nanti?
Bahkan dirinya sudah tak suci lagi. Ia sudah tak gadis lagi. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Hanya harapan yang bisa ia andalkan sekarang.
Tiba-tiba ada cahaya yang menyibak ke dalam ruangan gelap itu. Pintu itu terbuka sempurna dan menampilkan sosok laki-laki yang tidak bisa ia lihat dengan jelas bagaimana wajahnya.
Ia menangis sembari memangku tangan. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan dari dirinya. Semua telah sirna, impiannya menjadi dokter, impiannya menikah dengan Algo, sirna sudah. Tidak ada yang tersisa selain penyesalan dan rasa malu.
"Siapa yang di dalam? Siapa yang menangis?" tanya laki-laki yang membuka pintu gudang.
Di sana hanya ada seorang gadis yang memangku tangan seraya menangis. Arya sudah tidak berada di sana. Karena ia keluar duluan tanpa memikirkan keadaan gadis yang telah ia nodai. Ia memang laki-laki tak punya hati.
"Pergi! Jangan lakukan itu."
"Melakukan apa? Apa yang terjadi pada gadis ini? Kenapa menangis di gudang? Apalagi pakaiannya terlihat tak beraturan," gumamnya dalam hati.
Ia pun memutuskan untuk medekat ke gadis yang belum ia ketahui indentitasnya. Karena Dev tak tega jika ada perempuan yang menangis. Ia merasa simpati dan iba.
Ya ... laki-laki itu adalah Devaro Mahardika Sanjaya, mahasiswa jurusan hukum yang menjadi kakak angkatan Clara. Ia juga salah satu teman Algo yang merupakan kekasih gadis itu.
"Hei, kenapa lu nangis di sini? Kalau mau nangis di kamar mandi sono!"
Namun gadis itu semakin menangis histeris. Ia merasa sangat buruk, bahkan lebih buruk dari pelakor. Karena ia gagal menjaga barang berharganya yang hanya berhak disentuh oleh suaminya.
"Kok malah makin keras, sih."
Tiba-tiba datang gerombolan mahasiswa dan para dosen ke arah gudang. Sedangan Dev, ia mengerutkan dahinya bingung dengan tatapan mereka ke arahnya.
"Devaro!" teriak Pak Tirta, salah satu dosen dari fakultas kedokteran di Universitas Manura.
Sedangkan pemilik nama hanya menatap dengan cengo. Karena ia bukan mahasiswa yang suka bikin onar.
"Kamu sangat keterlaluan, Dev. Di mana etika kamu? Apa ini yang kamu dapat selama kuliah di sini? Perbuatan kamu ini bisa merusak reputasi kampus, paham nggak?!"
"Maksud Bapak apa ya? Saya nggak ngerti," tanyanya.
Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tak habis pikir dengan apa yang baru saja telinganya tangkap.
"Kamu sudah mempraktikkan salah satu mata pelajaran, yaitu biologi. Masih mau ngelak?!"
Pak Tirta terlihat sangat marah dan ingin memakan Dev hidup-hidup. Karena kelakuannya sangat memalukan, menjijikkan, kalau orang Jawa menyebutnya nggilani.
"Hari ini saya memang ada praktik mengoperasi katak, Pak. Jadi itu maksudnya?" tanyanya cengo. Ia seperti orang bodoh yang tidak punya otak.
Sedangkan Clara, masih dalam posisi yang sama. Menangis.
"Lihat gadis itu, kamu sudah menodai kesuciannya! Kenapa sekarang kamu jadi laki-laki menjijikkan?!"
Ia kaget bukan main. Tuduhan yang dosennya berikan sangat tidak masuk akal. Ia ke sini karena manaruh barang. Tapi kenapa ia malah dituduh hal yang memalukan seperti ini?
"Saya tidak melakukan apa pun, Pak. Saya tadi ...."
Belum selesai ia melanjutkan kalimatnya, Pak Tirta sudah memotongnya.
"Saya dapat laporan dari Pak Arya kalau kalian telah berbuat hal tak senooh di gudang kampus. Kalian ini mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi, bisa-bisanya melakukan perbuatan hina seperti ini!"
"Kalau kamu masih punya tanggung jawab, maka nikahi Clara. Pertanggung jawabkan perbuatan kalian!"
Apa? Menikah? Dengan gadis asing? Bahkan Dev tak tahu siapa gadis itu sebenarnya. Bisa-bisanya ia dituduh pelaku kejahatan seperti ini. Dia anak dari keluarga terhormat, keluarganya tak pernah mengajarkan hal memalukan seperti ini.
"Sial, ternyata si dosen sok cakep itu sudah menjebak gue. Kurang ajar," cercanya dalam hati.
Ingin rasanya menekik lehernya hingga putus. Berani sekali memutar balik fakta. Dia pelakunya, tapi Dev yang harus menikahi gadis itu. Ini jebakan.
Sedangkan pelaku sebenarnya terlihat bernapas lega. Karena masalahnya bisa teratasi dalam waktu yang singkat. Itulah gunanya otak yang cerdas. Namun ... salah persepsi. Ia menyalahgunakan kekuasaan dan kepintaran yang dimiliki.
Gadis itu masih dalam posisi yang sama, merutuki nasib buruknya. Ia berharap semoga semua ini hanyalah bunga tidur. Namun ... inilah kenyataan pahit yang ia terima. Takdir sedang tak berpihak padanya.
Status Clara bukan gadis cantik dan berprestasi lagi. Ia hanya mantan gadis yang kesuciannya direnggut paksa oleh dosen yang jahat. Benar-benar tidak ada gunanya lagi ia hidup.
Clara tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia menunduk malu, tak berani menatap wajah teman-temannya dan para dosen. Apalagi di sana ada Algo, kekasihnya. Sekaligus ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ia sudah tak punya nyali lagi. Dirinya benar-benar rendah, serendah-rendahnya.Ini merupakan titik terendah dalam dirinya, menjadi mantan gadis. Ia sudah tak suci lagi. Dalam masyarakat gadis seperti itu adalah pembawa sial, sekaligus sampah masyarakat."Ternyata gadis bar-bar kayak Clara, kelakuannya juga bar-bar ya? Lihat tuh, udah digituin duluan. Padahal kan masih belum lulus kuliah," bisik Anne, salah satu teman kampus Clara yang suka menebar gosip."Nah iya, gue aja nggak nyangka ternyata Clara berani juga. Di luar aja kelihatan sok polos, tapi dalemnya uh ... gue aja malu menganggapnya kaum perempuan," balas mahasiswi yang lain."Ih kok Clara nggak malu sih, ngelakuin hal menjijikkan di kampus. Bisa jelek reputasi kampus kita kalau masyarakat tahu.""Udah dapet Algo yang gentengnya
Pak Tirta, selaku dosen biologi di Universitas Manura, menghubungi orang tua Clara dan Devaro. Orang tua mereka harus tahu bagaimana kelakuan anaknya sewaktu di kampus. Melihat hal itu, tangis Clara sekian histeris."Pak saya mohon, jangan hubungi orang tua saya. Mereka akan marah dan malu karena hal ini, Pak!"Namun, dosen biologi itu tidak menghiraukan permintaan Clara, meskipun dirinya sudah berderai air mata."Perbuatan kamu ini sangat memalukan, Clara! Kamu sudah mencoreng nama baik kampus. Seharusnya kamu berpikir dulu sebelum bertindak nekat seperti ini!" Kali ini Arya Mahendra yang bersuara. Biang kerok yang menjadi sumber masalah. Bisa-bisanya ia mengatakan seolah-olah dirinya tidak bersalah. Padahal kenyataannya ... ia bukan dosen yang baik. Jangankan dosen, dirinya tidak pantas disebut binatang.'Kenapa Bapak tega melakukan ini kepada saya. Apa salah saya, hingga Bapak harus merenggut kegadisan saya? Bahkan Anda bertingkah seolah-olah tidak bersalah. Tapi aku tak bisa berk
Pak Tirta sudah kelihatan tidak sabar ingin mengeksekusi mereka berdua. Karena waktu yang ia berikan tidak mereka penuhi tepat waktu. Sudah hampir lima belas menit, namun kedua sejoli itu tak menampakkan batang hidungnya. "Pak Arya, kenapa mereka berdua lama sekali? Apakah mereka akan melakukan hal aneh-aneh lagi?" tanyanya. Ia menggerak-gerakkan jari-jari kakinya. Ia tidak suka menunggu. Apalagi menunggu sesuatu yang menjengkelkan. Karena hanya akan membuang waktu yang sangat berharga. "Apakah perlu saya menyusul mereka, Pak? Takutnya mereka malah kabur lagi," tawarnya. Sikapnya yang sok nggak bersalah itu, membuat siapapun yang mendengarnya muak. Karena ia memang pandai berakting. Lihat saja dirinya, bahkan ia bisa tersenyum menang atas piala yang ia menangkan. Meskipun sangat memalukan jika terpublikasi. "Tidak perlu," sahut laki-laki bertubu tegap penuh penekanan. Ya ... dia adalah Devaro Mahardika Sanjaya. "Saya akan menuruti apa kata Bapak. Saya akan menikahi Clara dan bert
Setelah acara akad nikah yang digelar secara sederhana, Dev dan Clara merasa capek. Apalagi Clara yang tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Ia merasa jika harga dirinya sudah tidak ada lagi. Apalagi Dev yang seharusnya tidak menjadi suaminya, kini malah menjadi pendamping hidupnya. Permainan takdir sungguh kejam. Ia tak bisa menentangnya, karena ini akan membahayakan masa depannya."Ra, kenapa diem aja?" tanya Dev.Ia menatap istrinya penuh teka-teki. Ia merasa bingung dengan gadis yang satu ini. Karena hanya menangis saja sejak tadi."Udah nggak usah nangis. Anggap aja lu punya nasib yang beruntung. Karena bisa nikah sama cowok ganteng kayak gue," ujar Dev dengan bangga."Kamarnya ada di mana?" tanya Clara."Kan ini di kos, Ra. Kamarnya udah jelas di depan lu, soalnya di sini hanya ada satu kamar. Jadi kita tidurnya barengan," kata Dev.Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah kos Dev untuk sementara waktu. Karena mereka masih belum memiliki keberanian untuk pulang ke rumah. M
Alunan lagu galau milik Mahen itu membuat hati Clara teriris. Memang ia tak suka mendengarkan lagu galau, tapi entah mengapa lagi itu terus muncul dalam beranda sosial medianya."Kenapa aku terus memikirkan kamu, Al? Padahal kamu udah benci sama aku. Kenapa aku sulit melupakan kamu?" lirih Clara.Tak disadari, cairan bening itu keluar dari pupil matanya. Ia tak sanggup lagi membendungnya. Karena batinnya sangat sakit teringat akan kata-kata Algo sewaktu di kampus tadi.Ia pun mencoba memejamkan matanya. Ia harap bisa keluar dari mimpi buruk ini. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Karena nasi sudah menjadi bubur."Lu kenapa, Ra?" Suara nyaring itu membuat Clara tertegun. Ia pun langsung merubah posisinya senormal mungkin. Karena ia tak mau orang tahu akan perasaannya sekarang, apalagi suaminya sendiri.Ia juga segera menghapus air matanya sebelum Dev meledeknya karena terlalu cengeng. "Aku nggak papa, Dev. Tidur gih," pinta Clara. Ia pun mencoba tersenyum di depan Devaro. Karena
Dev membopong tubuh istrinya ke kamar. Karena ulahnya yang kebablasan, ia sampai membuat Clara jatuh pingsan. Sepertinya gadis itu sangat kaget dengan ulahnya yang berlebihan."Duh Dev, apa yang ada di pikiran lu, sampai buat anak orang pingsan," kata Dev bermonolog.Ia menatap wajah istrinya yang nampak sayu. Tubuhnya terasa sangat enteng, karena berat badannya tidak sampi setengah kwintal."Maafin gue, Ra. Harusnya gue bisa menahan nafsu gue. Gue benar-benar nggak sengaja," ujar Dev.Ia meletakkan tubuh Clara dengan hati-hati. Kemudian, ia mengambil segelas air hangat untuk membuat istrinya sadar. Tak lupa, ia mencari minyak kayu putih untuk merangsang Indra penciumannya.Saat Dev mendekatkan minyak kayu putih ke hidung istrinya, ia nampak mengendusnya. Mungkin sebentar lagi Clara akan segera siuman."Aw," ringis Clara yang masih setengah sadar.Ia memegang kepalanya yang dirasa sedikit pusing. Padahal tidak terbentur, tapi entah mengapa rasanya pusing tujuh keliling. Ia juga tak pu
Devaro tersenyum ke arah Clara penuh kasih. Senyuman itu nampak sangat tulus. Walaupun Dev sadar jika tidak mungkin mereka akan terus bersama. Karena pernikahan mereka bisa diibaratkan sebagai pernikahan kontrak. Ya ... mereka memang sepakat akan menjalani pernikahan tanpa cinta ini hingga lima tahun. Memang waktu lima tahun sangat lama, tapi ini sudah menjadi kesepakatan mereka berdua. Kedua insan itu bersitatap dengan retina yang menyala bagai anala. Seolah mereka bisa merasakan dan terikat satu sama lain. Memang, semesta tahu apa yang terbaik untuk seluruh umat. "Lu istirahat dulu aja, Ra. Pasti capek kan nangis mulu?" goda Dev. Ia menaikkan sebelah alisnya.Gadis itu hanya tersenyum kecut, mengalihkan pandangannya dari kedua retina Dev yang sangat manis. Ia tak mau sampai hatinya terbawa suasana. Karena ia harus kembali pada kenyataan. Tak ada lagi kesan indah dalam hidupnya yang kelam. Ia harus belajar untuk bertaut dengan kelam. Berdamai dengan nasibnya yang penuh kemalangan.
Suara azan subuh sudah berkumandang. Dev pun langsung membuka kedua matanya. Karena sudah saatnya menunaikan ibadah salat subuh.Ia mengucek matanya, karena pagi ini begitu melelahkan baginya. Apalagi ia kurang tidur karena begadang. Padahal hari ini ia memiliki jadwal yang padat di kampus."Ra, bangun! Udah azan subuh tuh. Lu nggak mau salat?"Dev menepuk-nepuk pipi tembem istrinya yang nampak nyenyak dalam kalut mimpi. Sehingga ia tidak bisa merasakan sentuhan tangan suaminya yang begitu hangat."Astaga ... nih anak kebo banget, sih! Bikin kesel aja. Ra, bangunnn ... lihat tuh udah pukul empat, loh."Ia berusaha keras untuk membangunkan istrinya. Namun, Clara hanya mendesis kesal. Karena sepertinya ia sedang kelelahan. Karena kemarin sudah melayani dosennya."Kamu duluan aja, Dev. Aku masih ngantuk," ujar Clara masih dengan mata terpejam."Ini udah waktunya salat subuh, Ra. Ayo salat subuh berjamaah!" ajak Dev.Ia menatap istrinya penuh arti. Entah mengapa mulutnya langsung mengatak
"Terima kasih," ucap Clara dengan senyum lebar di bibirnya. Ia sangat terharu dengan usaha Dev mendapatkan keadilan untuknya."Terima kasih, untuk apa?" tanya Devaro."Untuk semuanya. Kamu sudah berhasil menjebloskan pelaku itu ke penjara. Kamu juga sudah mau menerima aku apa adanya. Kamu selalu berusaha membahagiakan aku dan Tania. Aku nggak bisa mengatakan apa-apa lagi selain terima kasih yang banyak. Aku mencintaimu."Cup!Clara mencium sekilas bibir Dev. Hal itu membuat Dev terkejut bukan main."Untuk apa ini?" tanyanya sambil memegang bibirnya."Anggap saja ini bentuk kasih sayang aku ke kamu, Tuan Devaro Mahardika Sanjaya!" seru Clara menekankan nama lengkap suaminya.Dev tersenyum bahagia. Mereka saling berpelukan dan merasakan getaran yang menjalar. Meski mereka sering melakukan ini, namun rasanya tetap sama. Jantung Clara selalu berdegup kencang setiap berdekatan dengan suaminya. 'Aku nggak akan pernah menyia-nyiakan kamu, Dev. Aku sangat mencintai kamu. Baik kemarin, hari i
Dua Minggu kemudian ....Karena pihak Arya meminta waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti, maka pengadilan untuk kasus Clara harus ditunda satu minggu.Meski harus ditunda, Dev sangat yakin jika Clara akan mendapatkan keadilan. Karena dari hasil Minggu kemarin, ia dan Alice sudah memberikan satu bukti yang kuat untuk menyatakan jika pelecehan yang dialami Clara memang murni disengaja.Namun, pengacara Arya terus menyangkal. Hingga akhirnya hakim memutuskan untuk menunda persidangan hingga minggu depan.Kini, tibalah di mana kasus Clara akan dibuka kembali. Tepat di hari Senin, 25 Juni 2022.Clara dan Caca duduk berdampingan. Meski Dev sudah memperingatkan istrinya untuk menjauh dari Caca, namun gadis itu tetap keras kepala.Ia bahkan tidak percaya jika sahabatnya, Caca, juga terlibat dalam tindak kriminal ini."Kamu yang tenang ya, Ra. Aku yakin jika Pak Arya akan mendapatkan hukuman yang berat," ucap Caca menenangkan sahabatnya. Ia mengelus punggung Clara dengan lembut. Tak lupa senyum
Dev melihat istrinya yang sedari tadi mondar-mandir di depannya. Clara terlihat sibuk mencari buku-buku dan keperluan kuliahnya hari ini. Ingin rasanya ia mengutarakan segala isi hatinya pada Clara, tapi ... ia takut jika gadis itu akan marah setelah tahu semuanya."Ra," panggil Dev lirih. Meski sangat lirih, ia yakin jika gadis itu bisa mendengar suaranya. Namun, Clara hanya meliriknya sekilas lalu pergi dari sana. "Clara, tunggu!" teriak Dev saat Clara hendak membuka pintu kamar.Clara menoleh. "Ada apa?" tanyanya datar."Kemarilah, aku ingin mengatakan sesuatu," pinta Dev tersenyum manis.Clara menyipitkan kedua matanya. 'Sepertinya ada yang aneh dengan suami aku,' pikirnya."Kamu mau ngomong apa?" tanya Clara penasaran.Clara berjalan menuju tempat tidur. Di mana Dev duduk sila dengan laptop di depannya. "Duduk di sini," pinta Dev meminta istrinya duduk di pangkuannya.Clara terdiam sejenak. Pikirannya ke mana-mana. Namun, ia langsung duduk di sebelah suaminya. "Mau ngomong ap
"Dev, cukup ya kamu bersikap cuek sama aku! Aku udah nggak sanggup lagi!" marah Clara tak kuat menahan diri.Dev tak menyahut sedikit pun. Ia tetap fokus dengan layar laptopnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Clara saat ini."Dev! Aku sedang bicara sama kamu. Apa kamu sengaja melakukan ini sama aku?" tanyanya dengan rasa amarah."Nggak usah lebay deh, Ra," ketus Dev tanpa ekspresi. Bahkan ia tak melihat lawan bicaranya sama sekali."Lebay kamu bilang?" Clara geleng-geleng kepala tak percaya. "Aku hanya bertanya, Dev. Harusnya kamu jawab aja ada apa sebenarnya. Kalau aku ada salah, katakan di mana letak kesalahan aku. Nggak perlu diemin aku kayak gini. Aku bukan patung yang nggak punya perasaan. You know?"Dev berhenti mengetik dan melihat sekilas istrinya yang menahan rasa sakit dan marah bersamaan. Wajahnya yang memerah membuat Dev merasa bersalah.Tapi, ia masih tak bisa berkata jujur. Karena terkadang, kejujuran sangat menyakitkan."Terserah kamu, Dev. Aku nggak peduli lagi. Ma
Kedua keluarga sedang berkumpul untuk membicarakan pernikahan Devaro dan Alice. "Bagaimana menurutmu, Dev? Apakah kamu suka gaun yang ini?" tanya Farah disertai senyum tipis di wajahnya. Dev melirik mamanya sekilas, lalu kembali fokus dengan benda pipih di tangannya. "Terserah Mama aja," jawabnya datar. "Kenapa kamu terlihat tidak minat seperti itu, Dev? Sebentar lagi kita akan menikah, harusnya kamu bahagia bisa menikah dengan aku," sahut Alice yang menatapnya. "Anda tahu jika saya tidak akan pernah bahagia dengan pernikahan ini. Jika Anda suka, ya sudah, ambil aja," ketus Dev. Jika sebelumnya Devaro bersikap sopan terhadap Alice. Tidak kali ini. Atau mungkin, ia akan sangat membencinya. Karena keegoisannya, Dev harus poligami. Itu pun tanpa sepengetahuan istrinya. "Kenapa sih kamu jadi kayak gini? Aku ini calon istri kamu, Dev!" Alice membuang napas gusar. "Anda sudah tahu jawabannya. Kenapa masih bertanya? Dan ya ... bagi saya, hanya Clara yang menjadi istri saya satu-satuny
"Assalamualaikum," ucap Devaro dengan nada kurang bersemangat. Bagaimana mau semangat? Ia harus memulai drama agar istrinya tak curiga mengenai pengkhianatan yang akan ia lakukan. Meski rasanya tidak tenang, namun ini demi kebaikan semua orang.Kebaikan semua orang katanya? Mungkin hanya orang-orang tertentu saja. Bahkan dirinya sama sekali tak bahagia dengan pernikahan yang akan ia jalani."Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab Clara. Ia mencium punggung telapak tangan suaminya dan mengambil tas kerjanya."Kamu kenapa, Dev? Pulang-pulang kok mukanya masam gitu?" tanya Clara. Ia nampak curiga.Dev mengendurkan dasinya. "Nggak papa, Sayang. I am fine," jawabnya.Dev berjalan ke kamar. Clara yang masih tidak percaya dengan apa yang suaminya katakan, berjalan mengikutinya. Dev membuang dasinya ke ranjang. Memang kebiasaan, selalu Clara yang membereskan nantinya."Kenapa aku merasa kalau kamu berusaha menghindar dari aku?" tanya Clara penasaran. Ia mengambil dasi suaminya d
ANDAI KU MALAIKAT KU POTONG SAYAPKU DAN RASAKAN PERIH DI DUNIA BERSAMAMU. PERANG KAN BERAKHIR CINTA KAN ABADI DI TANAH ANARKI, ROMANSA TERJADI ....Seroang dengan rambut pirang blonde itu bernyanyi dengan jiwa rock-nya. Tania tampak menikmati pertunjukan rock and roll itu dengan sangat antusias. Ditambah lagi teriakan para penonton yang memekakkan telinga. Belum lagi aksi gila sang gitaris yang bisa memainkan gitarnya dengan lihai sambil lompat-lompat.Acara ini diselenggarakan tidak jauh dari sekolahnya. Ia pun menerima ajakan temannya untuk menonton konser SID (Superman Is Dead) penuh rasa bangga."Gimana, Tan? Bagus kan konsernya?" tanya Algi, teman sekolahnya. Meski masih duduk di bangku satu SD, mereka seperti anak kuliahan yang tak memiliki rasa takut."Bagus banget, Algi!" teriak Tania dengan girangnya.Sejenak kemudian, Tania nampak sedih dan menundukkan kepalanya."Katanya bagus. Kenapa wajah kamu sedih?" tanya Algi dengan wajah penasaran."Aku takut Momma dan Dadda aku nant
Caca melihat alamat di ponselnya. Dari alamat yang dikirim orang misterius itu, dirinya berada di lokasi yang benar. Namun, ia merasa aneh dengan tempatnya. Pasalnya tempat itu sangat gelap dan terlihat kumuh. Bukan hanya itu, dari luar saja ... bangunan itu nampak horor."Masuk, nggak? Masuk, nggak? Masuk. Ish ... ayolah Caca, masuk aja," ucapnya meyakinkan diri.Setelah merasa yakin dan mengumpulkan keberanian, Caca menaruh ponselnya di tas selempang yang ia kenakan. Ia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata sejenak.Saat kakinya hendak melangkah masuk ke bangunan tua itu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Drt ... drt ... drt ....Ia memutar bola matanya malas. "Astaga, siapa sih yang ngirim pesan di saat-saat seperti ini?" tanyanya dengan wajah cemberut.Ia pun mengambil ponselnya dan menggeser layar ponselnya. Di sana tersemat seuntai pesan dari orang yang sama.[CEPAT MASUK! SAYA TIDAK PUNYA BANYAK WAKTU!]Begitulah isi pesan dari orang misterius yang akan Caca temui. Tiba-ti
"Jadi, bagaimana keputusan kamu, Dev? Papa tidak punya banyak waktu, cepat putuskan!" desak Anton tak punya perasaan.Devaro menatap istrinya yang tidak hentinya menangis dalam rangkulan mamanya. Ia sama sekali tak tega melihatnya. Tapi ia terdesak di antara dua pilihan yang sulit."Dev belum bisa memutuskan sekarang, Pa. Ini terlalu sulit untuk Dev," balasnya. Ia memejamkan mata sejenak.Anton menyipitkan matanya. "Apa kamu mau keluarga kita hidup di jalanan? Papa tidak mau tahu, kamu harus putuskan sekarang!" bentak Anton terus mendesak Dev mengambil keputusan.Dev mendengar kesal. "Tidak semudah itu, Pa. Apa hanya karena sebuah janji, Papa tega membuat hidup anak papa tidak bahagia nantinya? Aku nggak cinta sama pilihan papa. Lagi pula, kenapa harus aku yang menikahi dia?" "Satu lagi, aku tidak mungkin pisah sama Clara. Tidak mungkin," sambungnya.Farah mengelus punggung menantunya dengan lembut. Sejujurnya ia tak mau putranya menikah lagi. Tapi keadaannya sangat genting. Selain u