Sebelum Emmy benar-benar menjawab, dia sedikit terintimidasi oleh tatapan jahat Keenan. Gadis itu beringsut mundur. Tidak. Dia tidak boleh mencari masalah dengan Keenan.
Seharusnya memang mereka sepakat, entah bagaimana hasilnya, mereka harus bicara. Emmy tidak mau berakhir di tangan Isa dan ibunya, namun dia pun tak mau dituduh sebagai orang yang menjebak Keenan.
Tapi bagaimana seharusnya mereka menyepakati hal ini?
Kelebat lari dua tiga orang pria yang membawa kamera melintas di depan pintu kamar hotel yang terbuka lebar. Keenan terkejut, menyadari jika mereka adalah pemburu berita. Salah satu dari mereka berhenti karena melihat Keenan sekilas di balik pintu.
Dia mundur dan benar!
Keenan ada di sana, berdiri dengan pakaian kusut dan ada wanita di dalam kamarnya.
“Dia di sini,” serunya memberi kode pada teman-temannya.
Keenan tak bisa mengelak ketika beberapa orang sudah mengambil potret dirinya sebelum manajer hotel mendorong Keenan kembali ke dalam kamar lalu menutupnya dari luar.
Nafas Keenan memburu, dia semakin tegang dan marah.
Dia menoleh, Emmy pun siaga. Dengan berang Keenan mendorong Emmy hingga jatuh ke lantai.
“Kamu yang memberitahu para wartawan itu bukan?” teriaknya hingga Emmy merasa gendang telinganya akan pecah.
“Ti-tidak.” Emmy menggeleng ketakutan. “Aku tidak gila untuk memberitahu mereka jika aku diperkosa olehmu.”
“Diperkosa?” Keenan kembali menganga.
Sial, Keenan merutuk kesal dalam hati. Dia berjalan hilir mudik di hadapan Emmy yang masih terpaku di lantai.
Tidak boleh. Media tidak boleh mengungkap hal ini ke hadapan publik. Walau posisi Emmy berada di balik tubuhnya, para pemburu berita itu pasti mengetahuinya.
Mereka bisa melakukan zoom pada setiap gambar dan akan membubuhkan detail atau melingkari tubuh Emmy yang samar.
Dia tahu bakal seperti apa media melihat kejadian ini. Media akan membersar-besarkannya, menggambarkan insiden ini lebih parah dari yang sebenarnya kemudian rekam jejaknya yang murni akan segera hancur.
Keenan merogoh seluruh kantung jas hingga celananya, namun dia tidak bisa menemukan ponselnya.
“Kamu menyembunyikan ponselku?”
“Aku?” Emmy menunjuk dirinya sendiri.
Tidak mungkin dia, Keenan berusaha menyadarkan diri dan fokus. Apa untungnya bagi gadis ini menyembunyikan ponselnya? Apa terjatuh?
Keenan menunduk, berusaha menyisir kolong tempat tidur dan menemukan ponselnya memang berada di sana. Dia segera memungutnya lalu menghubungi seseorang.
“Aku masih berada di hotel murahan ini.” Keenan berdecak kesal, matanya sesekali menatap Emmy yang kini sudah berdiri kaku. “Berita tentangku bakal segera muncul dan aku mau kamu menghentikannya, bagaimanapun caranya. Pergunakan seluruh staff baik pusat dan cabang untuk melenyapkan berita konyol itu.”
Keenan menarik nafas berat. “Aku tidak mau namaku menjadi topik pencarian. Satu lagi. Minta Axel menjemputku kerena ponselku hampir kehabisan daya dan...”
Panggilan itu terputus karena layar ponsel Keenan sudah gelap, pertanda daya ponselnya sudah habis. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Emmy yang menempel ke dinding. Gadis itu jelas ketakutan sekarang.
“Katakan, apa maumu sekarang?”
Suara dingin Keenan membuat Emmy mengangkat wajahnya. Dia sudah berpikir. Masalah ini biarlah berlalu tanpa kejelasan. Jika Keenan mengatakan dia adalah korban, maka ya, Keenan lah korbannya.
Jika Keenan mengatakan dia tidak memperkosa Emmy, maka ya, Keenan tidak melakukannya.
Emmy hanya ingin kembali hidup dengan tenang.
“Aku tidak mau berhubungan denganmu lagi,” gumam Emmy pelan, namun suaranya masih bisa didengar Keenan dengan jelas.
“Seharusnya kamu mengatakannya sejak awal.”
Pria sialan! Semoga Tuhan membalas perbuatan busukmu.
“Ya.” Emmy memindahkan rambut yang menutup wajahnya. “Anggap saja ini tidak terjadi.”
“Kamu yakin?”
Tentu saja tidak, bodoh.
Emmy menghela nafas. “Ya. Bisa aku pergi sekarang?”
Keenan berdiri, menempel telinga ke pintu kamar. Seharusnya manajer sudah mengusir wartawan itu. Ketika dia merasa sekelilingnya hening, Keenan memutar handel pintu dan benar saja suasananya sudah sepi.
“Aku harap aku tidak bertemu denganmu lagi.” Keenan merapikan jasnya, bertepatan saat seorang benama Axel Josiah, sepupunya, datang menemuinya.
“Kamu baik-baik saja?” Axel menatapnya dengan simpati.
Keenan hanya mengangguk, lalu Axel mengalihkan perhatiannya pada Emmy yang masih mematung di dalam kamar. “Dia?”
“Aku sudah meminta Leo untuk mengurusnya. Ayo, kita pergi.”
Begitu Keenan dan Axel berlalu, Emmy merasakan gelegak kemarahan memenuhi tubuhnya. Gadis itu merapikan kembali penampilannya, lalu meninggalkan kamar hotel yang menjadi saksi penderitaannya.
Dan para pria yang menjebaknya sudah mengawasi kamar itu semalaman. Ketika pintu belum sepenuhnya menutup, salah seorang dari mereka bergegas masuk lalu mengambil kamera yang sudah disembunyikan.
Mengetahui jika Keenan Achilles-lah yang meniduri Emmy justru membuat mereka semakin puas. Umpan besar masuk ke dalam perangkap, dan mereka akan kaya!
“Dari mana saja kamu?”
Diane Matilda, ibu tirinya menghadang Emmy ketika dia tiba di rumah. Sungguh, Emmy hanya ingin istirahat, namun sepertinya kata itu jauh dari jangkauannya.
Di meja makan, Isa menatapnya tajam. Mendadak Emmy mengingat bagaimana Keenan menindih tubuhnya dan sekujur tubuhnya langsung merinding kaku.
Bagaimana kalau Isa mengetahuinya?
“Maaf Mom. Aku tidur di kantor karena beberapa pekerjaan yang...”
Plak!
Desingan panas di wajahnya oleh tamparan Diane membuat Emmy tak kuasa bicara lebih banyak. Dia menahan air mata yang mulai menggenang di wajahnya.
“Apa kamu membuat rumah ini persinggahan? Kamu menganggapku sampah?”
“Tidak Mom.” Emmy menggeleng.
Tapi bicara pada Diane tak akan menghasilkan apapun. Dia akan tetap disalahkan dan ya, dia memang salah karena tidak kembali ke rumah.
“Ada apa?” Simone Matilda menuruni anak tangga sambil memperbaiki posisi jam tangannya. “Anak itu kembali berulah?”
“Ya. Lihat saja kelakukan anak gadismu ini. Menyebalkan,” sungut Diane kesal.
“Hanya karena almarhum ibunya menitipkannya padaku, bukan berarti dia adalah anak gadisku.” Simone duduk dengan santai di samping Isa yang sedang menyantap sarapannya sambil menonton di ponselnya.
Emmy nyaris menangis. Seharusnya dia tidak dilahirkan ibunya dulu. Tidak! Seharusnya ibunya tidak menikah dengan Simone hingga ibunya tersiksa dan kehilangan nyawa.
Emmy adalah anak haram dari pria lain, begitu Simone mengatakannya. Namun Emmy tahu betul, ibunya mengatakan jika Simone adalah ayahnya, bukan orang lain.
Walau saat itu usia Emmy baru tujuh tahun, ingatan tentang pesan terakhir ibunya itu tak pernah lekang dari ingatannya.
“Apa ini?” Isa tiba-tiba berdiri, ponsel di tangannya jatuh ke atas meja makan.
Jantung Emmy mendadak berdetak lebih cepat. Apa berita tentang dia dan Keenan sudah muncul? Bukankah tadi Keenan meminta seseorang membereskannya?
“Tidak, Mom. Keenan...”
Isa menatap layar ponselnya, lalu tiba-tiba dia melihat Emmy yang mematung.
“Tunggu. Kenapa aku merasa kalau gadis dalam video ini adalah kamu?”
The Achilles segera dibanjiri telepon serta email begitu video pendek berisi cuplikan Keenan, sang pewaris The Achilles tengah berhubungan badan dengan seorang wanita di salah satu kamar hotel.Wanita berusia tiga puluhan yang bertugas berjaga di belakang meja lobi nyaris meradang untuk menghadapi dering telepon yang berbunyi tiap detik.The Achilles sibuk bukan main. Leo Karlisle bahkan harus melempar telepon genggamnya, sambil terus mengoceh. “Bagaimana cara kerja kalian? Kenapa video itu terus bermunculan?”Sebagai tangan kanan Keenan, Leo harus bekerja efektif. Dia tidak mau merasakan amukan Keenan jika masalah ini tak kunjung selesai.“Tuan Leo, sumber daya kita tidak mampu memblokir seluruh ID pengguna internet. Kita tidak bisa melakukannya.”Leo meradang. Dia hilir mudik, lalu berkata, “Temukan alamat pertama yang mengunggah video itu.”Sementara itu di kediaman keluarga Achilles, istana megah itu pun tak luput dari kesibukan. Telepon terus berdering dan Madam Veronika bahkan l
Emmy dibayang-bayangi oleh kekejaman Diane dan Isa ketika dua wanita itu berjalan ke arahnya. Emmy mundur perlahan-lahan, tubuhnya mulai gemetar dan air matanya mengalir.“Wanita dalam video ini adalah kamu, iya kan?” Isa menunjukkan video yang membuat mulut Emmy menganga.Darimana video itu berasal? Kenapa bisa? Siapa yang sudah meletakkan kamera di kamar hotel itu?“Semua orang mungkin tidak mengenalimu. Tapi aku tahu, wanita busuk.”Isa mengayunkan tangannya tepat ke wajah Emmy, membuat Emmy terhuyung mundur. Gadis itu mengerang kesakitan, namun detik berikutnya dia merasakan rambut panjangnya ditarik kencang hingga kulit kepalanya terasa akan mengelupas.“Isa, hentikan.” Emmy memohon.“Hentikan katamu?” Isa marah tak karuan. “Katakan, kenapa kamu bisa tidur dengan Keenan. Kenapa?” Isa berteriak, menghempas kepala Emmy hingga terantuk ke dinding rumah.Dari dapur, dua asisten rumah tangga keluarga Matilda seketika merinding dan berdecak kasihan. Namun keduanya hanya bisa mengintip,
Emmy tidak bisa mengungkapkan rasa nyeri di sekitar bawah tubuhnya ketika dia siuman. Beruntung dia segera menerima pertolongan pertama dari para asisten rumah tangganya. Madam Jill terpaksa menghubungi Lily Lauren, sahabat Emmy karena dia tidak yakin jika mereka bisa merawat luka Emmy di rumah.Dengan amarah yang meledak-ledak, Lily melarikan Emmy ke rumah sakit milik ayahnya. Lily selalu tidak bisa menemukan alasan kenapa Emmy terus bertahan dalam rumah itu padahal dia sudah sering menjadi objek kemarahan ibu dan kakak tirinya.“Kamu baik-baik saja?”Lily menggenggam erat tangan Emmy, merasakan kulit sahabatnya sedikit membara. Bola mata Emmy berputar menatapnya, air mata bening seketika jatuh mneyusuri sudut matanya. Lily mengelus pipi Emmy, tersenyum sembari menahan tangisannya.“Kamu akan baik-baik saja. Aku sudah bicara dengan Dad.”“Mereka membakarku,” isak Emmy, tangannya semakin erat menggenggam tangan Lily.“Aku tahu. Madam Jill sudah memberitahuku. Sekarang jangan memikirka
“Sial.”Isa membanting ponselnya hingga hancur ke lantai. Nafasnya memburu, pundaknya naik turun dan ubun-ubunnya terasa panas membara.“Sialan kamu Emmyyy.”Dia kembali memekik nyaring. Kedua tangannya menyapu bersih perlengkapan make up di meja rias hingga benada-benda itu berjatuhan di lantai dan hancur. Dia meraih kursi yang biasa digunakannya untuk merias diri, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu melempar hingga kaca meja riasnya pecah berkeping-keping.“Kenapa itu kamu? Kenapa yang menikah dengan Keenan adalah kamu? Kenapa bukan aku? Ahhhh...”Teriakannya membuat Diane panik. Dia menaiki tangga buru-buru lalu terkejut melihat kondisi kamar Isa yang sudah hancur.“Isa, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?”“Mom, lihat!” Isa menunjukkan layar ponselnya.Dia membuka situs resmi The Achilles dan membaca lantang judul artikel itu. Di bawahnya juga terdapat beberapa foto Emmy yang tersenyum.“Menjijikkan.” Isa kembali berteriak. “Aku akan membunuhmu. Emmy, aku akan melenyapkanmu.”“Tah
“Kamu baik-baik saja?”Nicholas Meyer, CEO Hope and Fighting Center, salah satu fasilitisas penelitian yang berfokus pada imunologi khusus penyakit diabetes tempat Emmy bekerja datang bersama istrinya Linda Meyer. Kedua pasangan itu sudah dianggap Emmy sebagai orang tuanya dan begitu pula sebaliknya.“Ketika Nicho mengatakan kamu tidak masuk selama dua hari karena sakit, aku langsung panik.” Wanita paruh baya itu melepas long coatnya, menaruhnya di ujung tempat tidur Emmy lalu mengelus rambut gadis itu. “Kamu terluka di mana kali ini?”“Aku baik-baik saja, Linda. Terimakasih sudah datang.” Emmy mencoba tersenyum.“Lily sudah memberitahuku, tak perlu menutupinya lagi.” Nicholas menunjukkan sikap protektifnya bak seorang ayah yang melindungi puterinya. “Mereka melakukan apa lagi padamu?”Emmy berdecak, mengumpat kesal karena Lily memberitahu keduanya tentang keadaannya. “Hanya salah paham.”“Kamu selalu mengatakan salah paham. Jika kamu tidak diterima di rumah itu, kenapa masih repot-re
Axel diam-diam mengamati Lily yang terus berjalan hilir mudik di depan pintu. Gadis itu menarik perhatiannya. Dia cantik dan menarik, namun tak terlalu banyak bicara.“Kamu menyukainya?”Axel terkejut mendengar pertanyaan Keenan. “Apa yang kamu bicarakan?”“Bukankah sejak masuk tadi kamu terus melihatnya? Kamu anggap aku buta?” sungut Keenan.“Urus saja masalahmu.” Axel berdehem pelan, bersandar di kursi tunggu rumah sakit setelah melirik Lily sekali lagi.“Sialan.” Keenan mengumpat marah. “Aku yakin, Granny akan dengan mudah mempengaruhi gadis itu.”Axel tertawa senang. “Mau bertaruh denganku?”“Bodoh. Untuk apa mempertaruhkan sesuatu yang sudah mutlak? Dia akan mengatakan ya pada Granny,” sungut Keenan lagi.Keenan menghela nafasnya. Ketika Axel sedang sibuk mengamati Lily, diam-diam dia membuka laman internetnya. Keenan memastikan dia mengeja nama panjang Emmy dengan benar dan mengetiknya pada kolom pencarian.Tautan pertama mengantarkan Keenan pada sebuah situs yang berhubungan de
Dokter Frans menepikan mobilnya di sebuah bar pusat kota. Malam sudah sangat dalam dan seharusnya dia sudah kembali ke rumah. Tapi sebuah pesan yang baru diterimanya ketika dia hendak pulang membuatnya memutar haluan menuju bar.Musik yang mengalun tidak begitu memekakkan telinga. Ketika dokter Frans mengedarkan pandangannya menyisir ruangan itu, tak begitu banyak orang yang duduk di bar.Dia menemukan sosok yang ingin ditemuinya berada di salah satu meja. Dokter Frans mendekat. Begitu melihat sang sahabat, dia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum duduk di sampingnya.“Kamu datang?”Dokter Frans melirik. “Memangnya aku bisa tidak datang?”Pria itu, Simone tersenyum. Dia menatap gelas alkoholnya sebelum meminumnya kembali. “Bagaimana keadaan Emmy?”Dokter Frans melepas jasnya. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”“Berikan aku segelas air soda.” Dokter Frans meletakkan beberapa lembar dollar di atas meja. “Ambil kembaliannya untukmu.”“Baik Tuan.”
Sebuah tamparan mendarat tepat di wajah Emmy, membuat gadis itu terjerembab ke sofa. Dia kesakitan, wajahnya berubah panas. Emmy mengangkat wajah untuk menatap Keenan. “Kenapa kamu menamparku?”“Kenapa kamu mendorong Isa, hah? Kamu pikir kamu siapa? Nyonya Achilles?” teriak Keenan.“Aku tidak mendorongnya.” Emmy menggeleng, air matanya mulai merebak.“Lalu pikirmu Isa menjatuhkan dirinya sendiri di hadapan orang banyak?” teriak Keenan lagi.Memang benar, batin Emmy. Namun mengatakan semuanya pada Keenan juga tidak akan membuat pria ini percaya padanya. Emmy duduk dengan tegak di sofa. Seraya menatap Keenan, dia berkata, “Kalau aku mengatakan dia memang menjatuhkan dirinya dengan sengaja, apa kamu percaya padaku?”“Omong kosong!” bentak Keenan.“Nah, kamu tidak percaya padaku.”“Kamu mengarang cerita yang terlalu di luar nalar. Tak akan ada orang yang menjatuhkan dirinya sendiri, mengerti?”Emmy menghela nafas, air matanya diseka ketika ruangan mereka diketuk. Keenan segera membuka pin
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany