Emmy tidak bisa mengungkapkan rasa nyeri di sekitar bawah tubuhnya ketika dia siuman. Beruntung dia segera menerima pertolongan pertama dari para asisten rumah tangganya. Madam Jill terpaksa menghubungi Lily Lauren, sahabat Emmy karena dia tidak yakin jika mereka bisa merawat luka Emmy di rumah.Dengan amarah yang meledak-ledak, Lily melarikan Emmy ke rumah sakit milik ayahnya. Lily selalu tidak bisa menemukan alasan kenapa Emmy terus bertahan dalam rumah itu padahal dia sudah sering menjadi objek kemarahan ibu dan kakak tirinya.“Kamu baik-baik saja?”Lily menggenggam erat tangan Emmy, merasakan kulit sahabatnya sedikit membara. Bola mata Emmy berputar menatapnya, air mata bening seketika jatuh mneyusuri sudut matanya. Lily mengelus pipi Emmy, tersenyum sembari menahan tangisannya.“Kamu akan baik-baik saja. Aku sudah bicara dengan Dad.”“Mereka membakarku,” isak Emmy, tangannya semakin erat menggenggam tangan Lily.“Aku tahu. Madam Jill sudah memberitahuku. Sekarang jangan memikirka
“Sial.”Isa membanting ponselnya hingga hancur ke lantai. Nafasnya memburu, pundaknya naik turun dan ubun-ubunnya terasa panas membara.“Sialan kamu Emmyyy.”Dia kembali memekik nyaring. Kedua tangannya menyapu bersih perlengkapan make up di meja rias hingga benada-benda itu berjatuhan di lantai dan hancur. Dia meraih kursi yang biasa digunakannya untuk merias diri, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu melempar hingga kaca meja riasnya pecah berkeping-keping.“Kenapa itu kamu? Kenapa yang menikah dengan Keenan adalah kamu? Kenapa bukan aku? Ahhhh...”Teriakannya membuat Diane panik. Dia menaiki tangga buru-buru lalu terkejut melihat kondisi kamar Isa yang sudah hancur.“Isa, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?”“Mom, lihat!” Isa menunjukkan layar ponselnya.Dia membuka situs resmi The Achilles dan membaca lantang judul artikel itu. Di bawahnya juga terdapat beberapa foto Emmy yang tersenyum.“Menjijikkan.” Isa kembali berteriak. “Aku akan membunuhmu. Emmy, aku akan melenyapkanmu.”“Tah
“Kamu baik-baik saja?”Nicholas Meyer, CEO Hope and Fighting Center, salah satu fasilitisas penelitian yang berfokus pada imunologi khusus penyakit diabetes tempat Emmy bekerja datang bersama istrinya Linda Meyer. Kedua pasangan itu sudah dianggap Emmy sebagai orang tuanya dan begitu pula sebaliknya.“Ketika Nicho mengatakan kamu tidak masuk selama dua hari karena sakit, aku langsung panik.” Wanita paruh baya itu melepas long coatnya, menaruhnya di ujung tempat tidur Emmy lalu mengelus rambut gadis itu. “Kamu terluka di mana kali ini?”“Aku baik-baik saja, Linda. Terimakasih sudah datang.” Emmy mencoba tersenyum.“Lily sudah memberitahuku, tak perlu menutupinya lagi.” Nicholas menunjukkan sikap protektifnya bak seorang ayah yang melindungi puterinya. “Mereka melakukan apa lagi padamu?”Emmy berdecak, mengumpat kesal karena Lily memberitahu keduanya tentang keadaannya. “Hanya salah paham.”“Kamu selalu mengatakan salah paham. Jika kamu tidak diterima di rumah itu, kenapa masih repot-re
Axel diam-diam mengamati Lily yang terus berjalan hilir mudik di depan pintu. Gadis itu menarik perhatiannya. Dia cantik dan menarik, namun tak terlalu banyak bicara.“Kamu menyukainya?”Axel terkejut mendengar pertanyaan Keenan. “Apa yang kamu bicarakan?”“Bukankah sejak masuk tadi kamu terus melihatnya? Kamu anggap aku buta?” sungut Keenan.“Urus saja masalahmu.” Axel berdehem pelan, bersandar di kursi tunggu rumah sakit setelah melirik Lily sekali lagi.“Sialan.” Keenan mengumpat marah. “Aku yakin, Granny akan dengan mudah mempengaruhi gadis itu.”Axel tertawa senang. “Mau bertaruh denganku?”“Bodoh. Untuk apa mempertaruhkan sesuatu yang sudah mutlak? Dia akan mengatakan ya pada Granny,” sungut Keenan lagi.Keenan menghela nafasnya. Ketika Axel sedang sibuk mengamati Lily, diam-diam dia membuka laman internetnya. Keenan memastikan dia mengeja nama panjang Emmy dengan benar dan mengetiknya pada kolom pencarian.Tautan pertama mengantarkan Keenan pada sebuah situs yang berhubungan de
Dokter Frans menepikan mobilnya di sebuah bar pusat kota. Malam sudah sangat dalam dan seharusnya dia sudah kembali ke rumah. Tapi sebuah pesan yang baru diterimanya ketika dia hendak pulang membuatnya memutar haluan menuju bar.Musik yang mengalun tidak begitu memekakkan telinga. Ketika dokter Frans mengedarkan pandangannya menyisir ruangan itu, tak begitu banyak orang yang duduk di bar.Dia menemukan sosok yang ingin ditemuinya berada di salah satu meja. Dokter Frans mendekat. Begitu melihat sang sahabat, dia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum duduk di sampingnya.“Kamu datang?”Dokter Frans melirik. “Memangnya aku bisa tidak datang?”Pria itu, Simone tersenyum. Dia menatap gelas alkoholnya sebelum meminumnya kembali. “Bagaimana keadaan Emmy?”Dokter Frans melepas jasnya. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”“Berikan aku segelas air soda.” Dokter Frans meletakkan beberapa lembar dollar di atas meja. “Ambil kembaliannya untukmu.”“Baik Tuan.”
Sebuah tamparan mendarat tepat di wajah Emmy, membuat gadis itu terjerembab ke sofa. Dia kesakitan, wajahnya berubah panas. Emmy mengangkat wajah untuk menatap Keenan. “Kenapa kamu menamparku?”“Kenapa kamu mendorong Isa, hah? Kamu pikir kamu siapa? Nyonya Achilles?” teriak Keenan.“Aku tidak mendorongnya.” Emmy menggeleng, air matanya mulai merebak.“Lalu pikirmu Isa menjatuhkan dirinya sendiri di hadapan orang banyak?” teriak Keenan lagi.Memang benar, batin Emmy. Namun mengatakan semuanya pada Keenan juga tidak akan membuat pria ini percaya padanya. Emmy duduk dengan tegak di sofa. Seraya menatap Keenan, dia berkata, “Kalau aku mengatakan dia memang menjatuhkan dirinya dengan sengaja, apa kamu percaya padaku?”“Omong kosong!” bentak Keenan.“Nah, kamu tidak percaya padaku.”“Kamu mengarang cerita yang terlalu di luar nalar. Tak akan ada orang yang menjatuhkan dirinya sendiri, mengerti?”Emmy menghela nafas, air matanya diseka ketika ruangan mereka diketuk. Keenan segera membuka pin
“Aku pikir orang kaya seperti kalian tidak pernah melakukan kontrak pernikahan.”Emmy berusaha menelan kekecewaannya. Dia pura-pura bersikap proaktif dengan meletakkan kertas itu di atas meja berikut pulpennya.“Jika aku menikah dengan wanita pilihanku, mungkin ceritanya akan sedikit berbeda.” Keenan menyeringai. “Sialnya, aku menikah denganmu, gadis murahan yang penuh intrik. Daripada kamu menyusahkanku nanti, lebih baik kita mengaturnya mulai saat ini.”Aku yang sial menikah denganmu, gerutu Emmy.“Baiklah. Akan ku tanda tangani,” seru Emmy.Keenan mengernyit. Begitu saja? Dia tidak bertanya dan tidak protes?“Selesai.” Emmy menyerahkan kertas itu pada Keenan. “Kamu mau aku tidur di mana?” Emmy bertanya seolah dia tak keberatan dengan situasi yang dihadapinya kini.Benar-benar gadis murahan, Keenan mendengus sambil menyambar kertas yang ditandatangani oleh Emmy. Dia menunjuk pada satu kamar. “Walau kamar itu terlalu mewah untukmu, tapi tidak masalah. Aku tahu sewaktu-waktu keluargak
“Apa maks...”“Sudah ku duga kamu adalah otak di balik pemerasan yang mereka lakukan.” Tiba-tiba saja Keenan muncul bersama Isa, entah dari mana keduanya datang.Emmy menoleh dan mendapati Isa tersenyum menyeringai padanya. Ya Tuhan, apa yang dia pikirkan? Para pria jahanam ini tentu tak akan melakukan kebaikan untuknya. Dan sekarang mereka menjebaknya?Si supir taksi terlihat memutar kendaraannya, meninggalkan lokasi itu tanpa menunggu seperti yang dia janjikan tadi.“Keenan, ini bukan seperti yang kamu lihat.” Emmy masih berusaha membela diri walau dia tahu Keenan tak terkesan pada nada memelas yang keluar dari mulutnya.“Emmy, aku tidak tahu kalau kamu serendah ini!”Ucapan Isa membuat Emmy bergidik ngeri. Kelembutan dalam setiap penekanan nada suaranya adalah masalah baru. Isa tidak seperti itu. Dia adalah wanita paling kejam yang siap merejang Emmy, melukai dan bahkan tak segan-segan menyiksa hingga nyawa Emmy hampir melayang.Isa adalah otak di balik ini semua.“Tuan, maaf. Jika
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany