“Aku pikir orang kaya seperti kalian tidak pernah melakukan kontrak pernikahan.”Emmy berusaha menelan kekecewaannya. Dia pura-pura bersikap proaktif dengan meletakkan kertas itu di atas meja berikut pulpennya.“Jika aku menikah dengan wanita pilihanku, mungkin ceritanya akan sedikit berbeda.” Keenan menyeringai. “Sialnya, aku menikah denganmu, gadis murahan yang penuh intrik. Daripada kamu menyusahkanku nanti, lebih baik kita mengaturnya mulai saat ini.”Aku yang sial menikah denganmu, gerutu Emmy.“Baiklah. Akan ku tanda tangani,” seru Emmy.Keenan mengernyit. Begitu saja? Dia tidak bertanya dan tidak protes?“Selesai.” Emmy menyerahkan kertas itu pada Keenan. “Kamu mau aku tidur di mana?” Emmy bertanya seolah dia tak keberatan dengan situasi yang dihadapinya kini.Benar-benar gadis murahan, Keenan mendengus sambil menyambar kertas yang ditandatangani oleh Emmy. Dia menunjuk pada satu kamar. “Walau kamar itu terlalu mewah untukmu, tapi tidak masalah. Aku tahu sewaktu-waktu keluargak
“Apa maks...”“Sudah ku duga kamu adalah otak di balik pemerasan yang mereka lakukan.” Tiba-tiba saja Keenan muncul bersama Isa, entah dari mana keduanya datang.Emmy menoleh dan mendapati Isa tersenyum menyeringai padanya. Ya Tuhan, apa yang dia pikirkan? Para pria jahanam ini tentu tak akan melakukan kebaikan untuknya. Dan sekarang mereka menjebaknya?Si supir taksi terlihat memutar kendaraannya, meninggalkan lokasi itu tanpa menunggu seperti yang dia janjikan tadi.“Keenan, ini bukan seperti yang kamu lihat.” Emmy masih berusaha membela diri walau dia tahu Keenan tak terkesan pada nada memelas yang keluar dari mulutnya.“Emmy, aku tidak tahu kalau kamu serendah ini!”Ucapan Isa membuat Emmy bergidik ngeri. Kelembutan dalam setiap penekanan nada suaranya adalah masalah baru. Isa tidak seperti itu. Dia adalah wanita paling kejam yang siap merejang Emmy, melukai dan bahkan tak segan-segan menyiksa hingga nyawa Emmy hampir melayang.Isa adalah otak di balik ini semua.“Tuan, maaf. Jika
“Di mana Emmy?” Dorothy mencegat Keenan ketika dia hendak masuk ke rumah.Keenan sudah tahu jika sang Granny akan bertanya soal Emmy. Jarang-jarang neneknya berada di kediamannya di bagian Barat. Dan sekarang dia berada di sini, apa lagi kalau bukan untuk Emmy.Tapi Emmy tidak di rumah, mendadak Keenan ingat jika dia meninggalkannya di dalam hutan.“Granny. Dia sedang belanja dengan sahabatnya,” sahut Keenan sekenanya.“Maksudmu dengan gadis itu?”Keenan menoleh ke arah jari Dorothy menunjuk. Sial. Lily ada di taman, sedang memeriksa kebun mawar bersama ibunya.“Di mana gadis itu? Kamu menyakitinya?” tanya Dorothy lagi.“Tentu saja tidak.” Keenan menggeleng. “Dia kesayanganmu. Bagaimana aku bisa melakukan sesuatu padanya?”“Lalu di mana dia? Kenapa tidak menjawab?”“Aku meminta Leo mengantarnya berbelanja,” sahut Keenan lagi, namun dia juga tiba-tiba ingat Leo berada di hutan, menuntaskan kedua pemeras sialan itu.“Berbelanja?” Lily tiba-tiba saja sudah berada di halaman rumah, menaik
“Granny, bukankah tidak sopan kamu masuk ke kamar pengantin?”Keenan tiba-tiba saja menggandeng tangan Emmy, menyeretnya ikut naik ketika Dorothy tanpa aba-aba menaiki anak tangga. Untung saja aku sudah memindahkan barang-barang gadis ini, pikir Keenan.Emmy mengernyit, hendak melepas tangan Keenan namun di belakangnya ada Cecilia dan Lily. Emmy melirik Keenan, dan lirikan tajam pria itu membuat nyali Emmy menciut. Dan ketika tangan pria itu berpindah ke punggungnya dan merangkulnya, Emmy mendadak mematung.“Jaga sikapmu, atau aku tidak akan segan-segan melakukan sesuatu padamu,” bisik Keenan dengan suara rendahnya yang khas.Sialan, pria ini benar-benar mengontrolnya penuh. Emmy tak punya pilihan lain. Walau tidak nyaman berada di pelukan Keenan, dia memutuskan untuk mengikuti alur permainan pria itu untuk berlakon di hadapan keluarganya.Namun Lily mengetetahui gestur Emmy. Dia tahu Emmy terpaksa dan Lily hanya bisa melirik tajam punggung Keenan yang lebar.“Siapa yang tahu pemikira
Emmy mengernyit ketika dia turun, Isa sudah ada di meja makan, sedang sarapan bersama Keenan. Tanpa menyapa Emmy membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air minum, menenggak isinya lalu membuang botolnya ke tempat sampah.Dia hendak kembali naik ketika mendengar suara Isa yang memuakkan.“Kenapa kamu tidak menyapaku, Em?”Emmy berbalik, pura-pura tersenyum. “Isa, hai. Keenan, hai.” Lalu dia kembali berjalan.“Berhenti di sana!” perintah Keenan.Apa lagi ini, desis Emmy. Dia kembali berbalik, menatap keduanya dengan senyum yang dipaksakan.“Mulai hari ini, Isa akan lebih sering berkunjung.”“Okeeee.” Emmy tampak bingung. “Lalu?”“Kamu harus patuh padanya.”Emmy melirik Isa yang tersenyum menyeringai padanya. “Alasannya?”“Ini sebagai penebusan rasa bersalahku padanya. Jika bukan karena kelicikanmu, dialah yang berada di sisiku sekarang.”Emmy nyaris tertawa. Memangnya Keenan pikir dia menginginkan pernikahan ini? Memangnya dia mau menikah dengan Keenan? Walau dia tampan, tapi untuk men
Emmy berjalan menuruni tangga mengenakan gaun lilac berwarna sedikit pucat dengan belahan dada yang rendah. Ini hari Sabtu, dan asisten rumah tangganya memberitahu jika setiap hari Sabtu pada awal bulan akan ada makan malam resmi di kediaman utama.Hanya ini satu-satunya gaun yang dimiliki Emmy karena pakaiannya tertinggal di rumahnya yang lama. Dia hanya menyanggul rambutnya sembarangan, membiarkannya sedikit berantakan untuk memberikan kesan estetik namun tetap anggun.“Nona Emmy, Tuan Keenan sudah menunggu di halaman,” kata Madam Carla.Emmy hanya mengangguk. Luka di jari tangannya belum sepenuhnya sembuh dan Emmy hanya membalutnya menggunakan plester biasa. Ketika dia tiba di halaman, Keenan sedang memunggunginya.Sebenarnya pria ini tampan dan termasuk tipikal yang Emmy idam-idamkan. Lihat saja pundak lebar itu. Kulit Keenan terlihat bersinar diterpa cahaya matahari sore dan dia sangat gagah.Tapi sifatnya yang kejam dan tak tahu diri membuat Emmy justru merasa jijik.“Aku sudah
Emmy mengangguk, melepas pegangan tangan Lily dan memberitahu jika dia memang baik-baik saja.“Kenapa kamu ceroboh sekali, Em?” Diane berdiri seolah dia mengkhawatirkan keadaan Emmy.Wanita itu membantu Emmy berdiri, mengibaskan gaun Emmy seolah dia sedang membersihkannya. Namun Diane tentu tidak akan merendahkan dirinya seperti itu untuk seorang Emmy.Cincin Diane yang melingkar di tangannya berbentuk sulur dengan sisi yang cukup tajam. Ketika Diane mengibaskan gaun Emmy, dengan sengaja cincin itu mengoyak gaun itu hingga paha Emmy nyaris terlihat.Emmy langsung kembali duduk. Dengan wajah memerah menahan malu, dia menutupi kulitnya yang tersibak.“Oh, astaga Emmy. Maafkan aku, Nak. Cincinku...”Diane pura-pura panik. Emmy mendengus, tidak percaya bahkan di hadapan seorang Dorothy dan Charles Achilles, Diane masih sanggup melancarkan rencana jahatnya.Sementara itu rahang Keenan terlihat mengetat. Semua sorot mata tertuju pada Emmy dan Keenan sungguh sangat malu. Wajahnya memerah men
Emmy merasakan angin berhembus membelai kulitnya. Udara sangat lembab dan langit sedang dihiasi oleh bintang-bintang yang berkerlip. Mulut Emmy sekering gurun pasir, tubuhnya membeku ketika dia melihat Isa memegang sebilah pisau.“Apa yang akan kamu lakukan?” Emmy berusaha mendorong dirinya menjauh dari Isa.Gadis itu tertawa. Di jendela, Diane melihat semuanya. Diam-diam dia menurunkan tirai satu per satu, dan ketika dia hendak menurunkan tirai teraktir, dia mengacungkan jempolnya pada Isa.Selamat bekerja, Nak. Diane tersenyum puas lalu kembali bertepuk tangan meramaikan suasana.Dan Emmy akan mati di luar sana.“Hentikan.” Emmy menggeleng, Isa berjalan pelan layaknya pembunuh berdarah dingin yang mengintai targetnya.“Apa yang harus ku hentikan?” Isa tersenyum. Dia menggesek pisau itu ke kulitnya sambil terus mengawasi Emmy.Suara musik terdengar hingga ke taman. Dan Emmy tahu, walau dia berteriak, tidak ada seorang pun yang mendengar. Dengan mengumpulkan kekuatannya, Emmy bangkit.
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany