"Oke, kita batalkan aja hari ini," kataku panik. Masa sih aku harus memaksa makan malam dengan orang sakit, terdengar nggak manusiawi.
"Bantu aku kembali ke kamar," pintanya lagi. Suaranya semakin lemah, dan aku semakin kebingungan dengan situasi aneh ini.
"Ayo aku bantu," kataku akhirnya. Aku memang tipe orang yang gampang kasihan dengan penderitaan orang, makanya paling mudah ditipu.
Aku tidak mengerti kenapa dia masih memaksa mengabulkan acara makan malam ini jika saat ini sedang sakit. Tinggal mengatakan sedang tidak enak badang, pasti manajemennya mau mengerti. Huh! Pasti ini salah satu kerja paksa dari manajemennya.
"Kamar nomor berapa?" tanyaku sambil membantunya berdiri. Hilang sudah batas antara penggemar dan idolanya. Aku bisa memegang tangan dan berada begitu dekat dengannya yang bagi penggemarnya adalah hal yang mustahil.
Dia menarik masker sehingga menutupi sebagian wajahnya dan kemudian menyerahkan sebuah kartu yang menjadi kunci kamarnya.
"Masih bisa jalan?" tanyaku sok perhatian. Dia mengangguk lemah dan tangannya bertumpu pada pundakku. Aku menahan napas selama beberapa detik. Bukan apa-apa, ternyata badannya berat banget.
Beruntung kamarnya hanya berada dua lantai di bawah rooftop. Aku melirik kunci untuk memastikan nomor kamarnya. Aku tidak tahu apa yang biasa dilakukan penggemarnya bila menemukan idolanya sedang kesakitan seperti ini. Apa masih akan mengajaknya foto bareng?
"Perlu aku panggilkan yang lain?" Penawaranku terdengar bodoh. Yang lain siapa? Teman sesama anggota band yang nggak kuketahui keberadaannya? Namanya saja aku nggak tahu, bagaimana caranya aku bisa mencari teman-temannya yang lain? Dia menggeleng lemah dan dengan langkah tertatih memasuki kamar saat aku berhasil membukanya.
"Oke, aku tinggal ya," kataku seperti bicara pada diriku sendiri karena saat ini dia telah terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam. Apa dia masih hidup? Oh tidak! Jika dia mati, akulah tersangka utamanya.
Aku menarik napas panjang dan mendekat ke tempat tidur. Dadanya naik turun tanda dia masih menarik dan mengembuskan napas.
Setengah berjingkat aku meninggalkannya dan melangkah menuju pintu. Entah kenapa semakin mendekati pintu, perasaanku semakin tidak enak. Mungkin rasanya seperti sedang diikuti oleh malaikat pencabut nyawa.
Jangan-jangan saat aku membuka pintu nanti, ada keempat anggota band yang lain sedang menungguku sambil membawa pentungan. Nggak jadi makan malam gratis nggak jadi masalah, asal aku nggak babak belur hanya karena rasa terlalu baik hati menolong orang.
Aku berjinjit di depan pintu dan memicingkan mataku di lubang intip. Firasatku memang jarang meleset. Tepat di depan pintu terlihat dengan jelas wajah salah seorang panitia Meet and Greet tadi pagi. Ah! Aku ingat, dia panitia bergaya kemayu itu.
Gerak-geriknya sungguh aneh. Dia tidak mengetuk pintu ataupun menekan bel, yang dilakukannya adalah menempelkan telinganya di pintu sambil komat-kamit nggak jelas. Beberapa saat kemudian dia mengambil ponsel dan menempelkannya di telinga.
Aku hampir menjerit saat mendadak terdengar dering ponsel dari belakangku. Ponsel lelaki itu yang berbunyi dengan nyaringnya. Pasti panitia kemayu itu yang meneleponnya.
Tenang, jangan panik. Di posisiku yang serba salah ini, aku merasa sangat terpojok. Mau membuka pintu dan keluar dari kamar ini, tidak mungkin kulakukan. Orang-orang pasti akan menganggap aku telah melakukan sebuah kejahatan. Tapi jika tetap di kamar ini, lebih nggak mungkin lagi. Saat ini aku merasa seperti sedang kencan, tapi yang ngajak nggak ikhlas dan lebih memilih tidur seperti yang dilakukan oleh personel band yang tidak berhasil kuingat namanya itu.
"Haaaus ...." Terdengar rintihan lirih. Aku menoleh dan mendapatkan lelaki itu merintih dengan mata terpejam. Tampaknya sakit yang dideritanya lumayan parah. Bagaimana ini, aku tidak punya keberanian untuk keluar dan mencari bantuan.
"Haus ...." Dia kembali merintih dengan ucapan yang sama. Aku mengernyit dan berjalan mendekatinya. Kebetulan di sebelah tempat tidurnya ada sebotol air mineral yang masih bersegel. Kubuka dengan cepat dan kusodorkan ke mulutnya.
Sakit apa sih yang dideritanya? Perasaan tadi siang baik-baik aja, masih punya tenaga buat mencemoohku.
Aku akan menunggu beberapa menit lagi sampai situasi di depan sana aman terkendali. Dibawa tiduran sambil nonton televisi kayaknya boleh juga.
Aku mengambil remote televisi dan dengan acak memilih siaran sampai tidak terasa kantuk mulai menyerang kedua mataku.
***
Mataku terbuka perlahan. Aku menekan keningku yang terasa pusing dan entah kenapa lenganku seperti kesemutan. Aku pasti tertidur di posisi yang nggak benar.
Saat mataku terbuka sempurna, nyawaku seperti dipaksa keluar karena saking kagetnya. Di mana ini?
Mataku nyalang. Menatap sudut demi sudut ruangan sampai aku sendiri kebingungan sedang berada di mana sekarang.
Mataku kembali beredar. Tempat ini terasa asing. Tunggu … sepertinya aku melupakan sesuatu. Setiap baru bangun tidur, otakku memang bekerja sangat lambat.
Astaga! Jangan bilang kalau aku masih berada di kamar hotel!
Panik, aku buru-buru mencari tas kecilku yang biasanya tidak pernah lepas dariku. Tepat di atas nakas, di kanan tempat tidur aku menemukannya. Dan dengan gerak cepat mengeluarkan ponselku.
Jam tujuh. Apa? Jam tujuh! Tidak mungkin jam tujuh malam. Astaga! Tuhan! Ini sudah jam tujuh pagi! Apa yang kulakukan sampai bisa tertidur di sini?
Tenang Mel, berpikirlah, jangan panik. Rapikan rambut, bersihin sudut bibir dari bercak iler yang mengganggu, seka minyak di wajah dan … bersiaplah untuk segera kabur dari ruangan ini!
Suara deheman mengacaukan rencana kaburku. Rasanya seperti terperosok di jurang dan tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan diri.
"Makasih buat semalam." Suara serak itu muncul dari balik selimut di sebelahku. Aku melompat dari kasur saking kagetnya. Pelan tapi pasti selimut yang awalnya terlihat seperti tumpukan baju kotor tadi mulai terbuka. Mataku melotot, hampir keluar dari tempatnya saat melihat sesosok lelaki tanpa baju keluar dari balik selimut.
Aku menjerit sekeras-kerasnya dan dengan sisa tenaga yang kupunya berlari menuju pintu dan membukanya. Tanpa peduli dengan keadaan di sekitarku, aku berlari sekencang-kencangnya dan meninggalkan sepatuku di kamar tadi.
Tanpa alas kaki, aku memasuki lift yang untungnya sedang sepi. Tidak ada seorang pun, hanya aku sendiri meratapi tampilanku yang terpantul di dinding lift.
Mengenaskan. Itu kalimat yang cocok untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Aku meninggalkan sepatu ketsku di kamar tadi. Mengumpat dalam hati, menyalahkan keteledoranku sampai bisa tertidur hingga pagi bersama seorang lelaki asing.
Sial!
Apa yang telah terjadi tadi malam? Seingatku lelaki itu mengenakan pakaian lengkap saat tertidur. Kenapa tadi mendadak dia tidak menggunakan baju? Apa dia telah memper … ah! Tidak mungkin!
Astaga, Melody! Kesialan seperti apa yang sebenarnya sedang menimpaku?
Setengah berlari, aku segera meninggalkan lift sesaat setelah lift terbuka. Telapak kakiku terasa perih akibat tidak mengenakan apa pun, butiran pasir terasa menempel dan saling bergesekan di antara sela-sela kakiku. Aku harus segera meninggalkan hotel ini sebelum hal buruk akan terjadi.
***
Ponselku berdering dengan nyaringnya bersamaan dengan bunyi pintu kamar kostku yang digedor paksa. Mataku enggan terbuka, kelopaknya terasa lengket seperti ingin menarikku kembali ke alam mimpi.
"Mel ...!" Kali ini namaku diteriakkan dengan nyaring.
"Kamu ada di dalam, kan!" Suara itu kembali terdengar.
"Iya!" sahutku akhirnya dan dengan sempoyongan bangkit membuka pintu.
"Oh … baru pulang dari rumah sakit?" Aku membuka pintu dan mendapatkan Orin berdiri dengan tatapan mata heran.
"Kamu semalam ke mana aja?" tanyanya sambil memasuki kamarku.
"Kapan pulang dari rumah sakit? Barusan?" Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik.
"Kamu ke mana aja? Dari semalam dihubungi, tapi nggak ada kabar," ulangnya lagi. Dengan gerakan pelan dia kemudian berbaring di tempat tidurku, tidak menyisakan sedikit pun celah untukku.
"Nggak kemana-mana, di kost aja. Kamu kan tahu aku kecapean habis ngantri tanda tangan band idolamu itu," ujarku sambil mendorong tubuhnya agar aku bisa berbaring juga.
"Oya, tuh di atas meja ya tanda tangan para idolamu," ujarku sambil memejamkan mata. Orin menjerit kesenangan. Aku heran, katanya baru sembuh, tapi tingkah lakunya sama sekali tidak mencerminkan apa yang terjadi.
Orin beranjak dan dengan gerak cepat menyambar foto Refrain yang sudah ditandatangani. Dia kemudian membawa fotonya ke pelukan dan tersenyum puas. Melihat wajah Orin yang berbinar malah membuatku kesal. Kalau saja aku tidak menuruti permintaan anehnya itu, kejadian semalam pasti tidak akan terjadi dan membuat kepalaku terasa membesar saat memikirkannya.
"Ini yang terakhir ya," ujarku sambil berusaha memejamkan mataku lagi. Hari masih sore, tapi entah kenapa mataku tidak bisa diajak bekerja sama.
Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Orin selanjutnya. Mataku benar-benar mengantuk, mungkin efek kelelahan karena acara Meet and Greet kemarin. Ditambah lagi, semalam tidurku tidak begitu nyaman. Oh … tidak! Aku kembali mengingatnya! Wajah lelaki itu, suara seraknya dan bahkan tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian seperti terekam di pikiranku dan semuanya begitu menyeramkan.
"Mel … Mel … lihat deh!" Orin mengguncang-guncang tubuhku saat alam mimpi mulai menarikku. Aku enggan untuk membuka mata hingga yang kulakukan hanya bergumam pelan, tanda jika aku masih mendengar suaranya.
"Hmmm ...." Aku bergumam sambil mengubah posisi tidurku.
"Mel … Kai digosipin nginap bareng wanita di hotel." Kali ini Orin mencubit pipiku. Aku mengeram dan menepis tangannya. Pipiku terasa nyeri karena cubitannya. Karena merasa terganggu, mataku pun terbuka dan menatap Orin dengan kesal.
"Apaan sih, Rin. Aku ngantuk, nonton aja sendiri," ujarku.
"Tuh lihat dulu, gitarisnya Refrain ketangkap kamera lagi bawa wanita ke hotel," kata Orin mirip pembawa acara gosip. Aku membalikkan badan dan memicingkan mata. Gosip dan anak band, bukan hal yang aneh.
"Baju ceweknya mirip sama yang kita beli di Tanah Abang kemarin. Nggak modal banget, pacaran pakai baju beli tiga, lima puluh ribu," ujarnya lagi. Napasku tertahan dan mataku pun membesar mendengarnya.
"Kamu boleh minta tolong apa aja, asal jangan yang satu itu," tolakku. Wajah Orin berubah sendu, dia menundukkan wajahnya sambil menarik-narik selimut yang menyelimuti tubuhnya. Oh … tidak! Aku paling tidak bisa menghadapi Orin yang seperti itu. Orin memang selalu bersikap seperti itu jika aku menolak permintaannya. Wajah memelasnya ditambah kali ini dia memang sedang sakit membuatku iba."Kalau aku bisa keluar dari rumah sakit ini, aku nggak bakal minta tolong kamu, Mel," katanya dengan nada mengiba. Aku menarik napas panjang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang rawat inap ini begitu sesak, apalagi ditambah menatap wajah Orin. Seperti perpaduan antara minta tolong dan pemaksaan.Sudah dua hari Orin dirawat di rumah sakit karena tifus yang dideritanya. Andai saja dia sehat-sehat saja, aku pasti tidak perlu menuruti permintaan tidak masuk akalnya."Kapan acaranya?" tanyaku akhirnya. Senyum Orin mengembang. Dia bahkan memaksa dirinya untuk dudu
Orin ... Orin ...! Derita macam apa yang dihibahkan padaku. Kenapa hanya meminta foto dan tanda tangan grup cowok ganteng ini aja mesti perjuangan seperti ini?Tidak adil! Sungguh semuanya tidak adil! Di saat aku meluangkan hari liburku dari rutinitas kuliahku, yang kulakukan malah hal tidak penting seperti ini. Sungguh ironi.Antrean berjalan sangat lambat, selambat bekicot sedang jalan santai. Tidak ada seorang pun di sini yang rela bertukar posisi denganku, dengan iming-iming apa pun. Bukannya ingin cepat-cepat bertemu band idola Orin, aku mulai merasakan kakiku seperti kesemutan.Saat sudah hampir sampai giliranku, seluruh sendiku melemas. Sial! Ini jauh lebih menyakitkan dibanding diputuskan oleh pacar. Lima orang anggota band itu seperti berbenah, siap meninggalkan tempat."Masih ada satu orang lagi," teriak salah seorang panitia. Apa keberadaanku tidak terlihat oleh mereka? Jangan-jangan penampilanku lebih mirip petugas bersih-ber
"Oke, kita batalkan aja hari ini," kataku panik. Masa sih aku harus memaksa makan malam dengan orang sakit, terdengar nggak manusiawi."Bantu aku kembali ke kamar," pintanya lagi. Suaranya semakin lemah, dan aku semakin kebingungan dengan situasi aneh ini."Ayo aku bantu," kataku akhirnya. Aku memang tipe orang yang gampang kasihan dengan penderitaan orang, makanya paling mudah ditipu.Aku tidak mengerti kenapa dia masih memaksa mengabulkan acara makan malam ini jika saat ini sedang sakit. Tinggal mengatakan sedang tidak enak badang, pasti manajemennya mau mengerti. Huh! Pasti ini salah satu kerja paksa dari manajemennya."Kamar nomor berapa?" tanyaku sambil membantunya berdiri. Hilang sudah batas antara penggemar dan idolanya. Aku bisa memegang tangan dan berada begitu dekat dengannya yang bagi penggemarnya adalah hal yang mustahil.Dia menarik masker sehingga menutupi sebagian wajahnya dan kemudian menyerahkan sebuah kartu yang menjadi kunci kama
Orin ... Orin ...! Derita macam apa yang dihibahkan padaku. Kenapa hanya meminta foto dan tanda tangan grup cowok ganteng ini aja mesti perjuangan seperti ini?Tidak adil! Sungguh semuanya tidak adil! Di saat aku meluangkan hari liburku dari rutinitas kuliahku, yang kulakukan malah hal tidak penting seperti ini. Sungguh ironi.Antrean berjalan sangat lambat, selambat bekicot sedang jalan santai. Tidak ada seorang pun di sini yang rela bertukar posisi denganku, dengan iming-iming apa pun. Bukannya ingin cepat-cepat bertemu band idola Orin, aku mulai merasakan kakiku seperti kesemutan.Saat sudah hampir sampai giliranku, seluruh sendiku melemas. Sial! Ini jauh lebih menyakitkan dibanding diputuskan oleh pacar. Lima orang anggota band itu seperti berbenah, siap meninggalkan tempat."Masih ada satu orang lagi," teriak salah seorang panitia. Apa keberadaanku tidak terlihat oleh mereka? Jangan-jangan penampilanku lebih mirip petugas bersih-ber
"Kamu boleh minta tolong apa aja, asal jangan yang satu itu," tolakku. Wajah Orin berubah sendu, dia menundukkan wajahnya sambil menarik-narik selimut yang menyelimuti tubuhnya. Oh … tidak! Aku paling tidak bisa menghadapi Orin yang seperti itu. Orin memang selalu bersikap seperti itu jika aku menolak permintaannya. Wajah memelasnya ditambah kali ini dia memang sedang sakit membuatku iba."Kalau aku bisa keluar dari rumah sakit ini, aku nggak bakal minta tolong kamu, Mel," katanya dengan nada mengiba. Aku menarik napas panjang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang rawat inap ini begitu sesak, apalagi ditambah menatap wajah Orin. Seperti perpaduan antara minta tolong dan pemaksaan.Sudah dua hari Orin dirawat di rumah sakit karena tifus yang dideritanya. Andai saja dia sehat-sehat saja, aku pasti tidak perlu menuruti permintaan tidak masuk akalnya."Kapan acaranya?" tanyaku akhirnya. Senyum Orin mengembang. Dia bahkan memaksa dirinya untuk dudu