"Kamu boleh minta tolong apa aja, asal jangan yang satu itu," tolakku. Wajah Orin berubah sendu, dia menundukkan wajahnya sambil menarik-narik selimut yang menyelimuti tubuhnya. Oh … tidak! Aku paling tidak bisa menghadapi Orin yang seperti itu. Orin memang selalu bersikap seperti itu jika aku menolak permintaannya. Wajah memelasnya ditambah kali ini dia memang sedang sakit membuatku iba.
"Kalau aku bisa keluar dari rumah sakit ini, aku nggak bakal minta tolong kamu, Mel," katanya dengan nada mengiba. Aku menarik napas panjang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang rawat inap ini begitu sesak, apalagi ditambah menatap wajah Orin. Seperti perpaduan antara minta tolong dan pemaksaan.
Sudah dua hari Orin dirawat di rumah sakit karena tifus yang dideritanya. Andai saja dia sehat-sehat saja, aku pasti tidak perlu menuruti permintaan tidak masuk akalnya.
"Kapan acaranya?" tanyaku akhirnya. Senyum Orin mengembang. Dia bahkan memaksa dirinya untuk duduk sehingga membuat selang infusnya sedikit tertarik.
"Hari Sabtu. Kamu tinggal bawa aja undangan Meet and Greet-nya. Mereka nggak bakal tanya identitas kamu kok. Asal kamu bawa undangan aja, itu sudah cukup," jelasnya. Aku masih saja tidak bersemangat mendengarnya.
Refrain, band idola Orin, dan mungkin juga band idola hampir seluruh kaum wanita di Indonesia. Ya, terkecuali aku. Entah kenapa aku tidak menemukan sisi menarik dari Refrain. Sama saja seperti band-band lain yang membawakan lagu-lagu beraliran pop. Tidak ada bedanya, berpenampilan menarik, suara yang lembut dan memikat hati, serta lirik lagu yang membuat siapa pun mendengarnya serasa dibawa ke langit.
Cih. Sama sekali bukan tipe band apalagi lagu kesukaanku. Dan saat ini tiba-tiba saja Orin mengiba-iba memintaku untuk mengikuti acara Meet and Greet band Refrain.
"Aku sebenarnya kesal banget nggak bisa datang langsung ke acara mereka, apalagi undangan Meet and Greet itu aku dapatin dengan susah payah." Aku menghela napas panjang sambil menggaruk keningku yang tidak gatal. Cerita ini sudah berkali-kali aku dengar, tentang keberhasilannya mendapatkan tiket undangan Meet and Greet setelah beratus-ratus kali mengirimkan sms undian. Masih jaman ya di masa sekarang ini mengikuti undian dengan bersemangat seperti itu?
"Cuma kamu harapanku, Mel," lanjutnya sambil mengelus-ngelus tanganku. Mendadak aku bergidik dan segera mengibaskan tangan Orin yang menyentuh lenganku.
"Apa yang mesti aku lakuin di sana nanti?" tanyaku setelah beberapa kali menarik napas panjang. Aku bahkan lebih suka mengikuti ujian semester berkali-kali daripada harus mengikuti acara Meet and Greet nggak penting itu.
"Dapatin tanda tangannya Zoe, vokalisnya. Atau tanda tangan semuanya juga boleh. Zoe, Kai, Dean, Leo, Nue." Dia mulai mengabsen nama-nama yang terdengar asing di telingaku.
"Gimana caranya?" Tunggu ... siapa tadi nama-nama mereka? Dan keningku pun berkerut karena otakku sedang bekerja dengan kerasa mengingat nama-nama yang disebutkan Orin tadi.
"Aduh, Mel. Masa gitu aja nggak tahu. Nanti setelah acara Meet and Greet selesai, pasti ada acara foto bareng. Di saat itu juga kamu bisa minta tanda tangan mereka," jelasnya. Aku berdecak kagum, entah sudah berapa kali Orin mengikuti acara seperti ini, dia terlihat sangat berpengalaman.
"Umurmu sudah dua puluh tahun, tapi kegiatanmu nggak jauh-jauh dari apa yang dikerjakan ABG," sindirku. Orin meringis, entah sedang menahan sakit atau tersinggung dengan perkataanku.
"Yang penting kamu harus dapatin tanda tangan mereka. Nggak foto juga nggak apa-apa, toh nggak penting buat kamu, kan?" Orin kembali berbaring setelah aku membetulkan letak bantalnya.
"Semuanya nggak penting buat aku," sahutku. Orin nyengir.
"Kamu harus dengar lagu mereka, pasti bakal suka," ujarnya. Aku menggeleng. Siapa bilang aku nggak pernah mendengar lagu-lagu Refrain yang didominasi oleh lagu cinta romantis yang buat siapa pun berkhayal akan mendapatkan pasangan sempurna seperti isi lagu. Apalagi sejak berteman dengan Orin, setiap hari di pendengaranku hanya ada lagu mereka. Dan itu membuat kepalaku bertambah pusing.
"Janji ya, jangan sampai kamu nggak datang," lanjutnya lagi. Kalau bisa aku malah ingin membuang jauh-jauh penyakit Orin dan membuatnya bisa datang sendiri ke acara Meet and Greet. Kenapa kesialan malah datang padaku?
"Lagi pula kalau hari Sabtu, biasanya kamu juga nggak ada kerjaan, kuliah juga kosong, kan? Hitung-hitung siapa tahu bisa dapat kenalan baru."
"Aku malah ngeri kalau dapat kenalan baru di sana, pasti kelakuannya nggak jauh-jauh sama kamu," sahutku. Bukannya tersinggung dengan ucapanku, Orin malah terkikik geli.
Aku sebenarnya orang yang paling mudah mematahkan hati orang, entah itu karena sikap ketusku ataupun sifatku yang terlihat tidak bersahabat. Tapi jika menyangkut sahabat terbaikku, aku menyerah. Walaupun permintaannya sungguh tidak masuk akal. Ikut acara Meet and Greet? Sama sekali nggak pernah terbayangkan di pikiranku yang polos ini.
Orin sahabatku sejak semester awal, sekaligus teman kost dari pertama kali aku menginjakkan kaki di Jakarta. Sebagai sesama anak daerah, kami memiliki banyak kesamaan. Yang membedakan hanya sifat kami yang bertolak belakang. Orin yang ceria, cerewet dan banyak memiliki teman, sedangkan aku cenderung pendiam dan tidak terlalu menyukai keramaian, apalagi bersosialisasi. Ditambah hobiku memang suka menyendiri dan tidak suka berbaur di keramaian. Sendiri lebih menyenangkan menurutku.
"Kamu harus hafal wajah-wajah mereka." Orin menyodorkan sehelai foto padaku.
"Ini Zoe, paling imut di antara mereka berlima. Dia vokalis. Kai, gitaris. Dia jarang banget diekspos, agak misterius dan paling cool. Terus ini Dean, bassist. Kedua paling imut setelah Zoe. Tapi aku tetap sukanya sama Zoe. Ada Leo, keyboard. Satu-satunya personel yang sudah nikah, jadi aku nggak terlalu suka sama dia. Dan yang terakhir Nue, drum. Paling humoris dan agak playboy," jelas Orin bersemangat. Aku berdecak kagum, mengingat saat ini dia sedang sakit dan bisa dengan semangat menjelaskan band idolanya. Coba deh kalau kuminta dia menghafal materi kuliah, pasti nggak bakal seperti ini.
"Ingat baik-baik, jangan sampai lupa. Sebagai penggemar, setidaknya kamu hafal nama mereka," lanjutnya. Aku tersenyum masam sambil mengambil lembaran foto dari tangan Orin. Lelaki-lelaki di foto ini bukannya membuat jantungku berdebar, tapi malah membuat migrainku kambuh.
"Ya sudah, kamu istirahat aja. Aku mesti balik ke kampus lagi," kataku mengakhiri sesi pembicaraan kami.
"Jangan lupa video call kalau kamu sudah di sana."
Oh Tuhan, di kepalaku bahkan masih dipenuhi soal-soal ujian semester. Orin malah kembali menjejalinya dengan hal tidak bermutu. Orin nyengir, memamerkan wajah pucatnya.
"Just call them Refrain, and you will fall in love with them," bisiknya dengan wajah menyebalkan.
"Cukup Orin! Jangan sampai nama bandnya aja aku lupa gara-gara kecerewetanmu," ujarku.
Terkutuklah siapa pun itu yang mencetuskan berdirinya band Refrain!
***
Sudah satu jam aku seperti anak ayam kehilangan induk. Tempat ini begitu sesak dan ramai, tapi tidak demikian yang aku rasa. Perasaan asing dan bingung terus-menerus menekanku, membuat napasku terasa sesak. Aku sangat tidak suka keramaian, apalagi yang membuatku bingung seperti ini. Hal yang paling menyenangkan buatku adalah kesendirian, karena semuanya akan berjalan dengan keinginanku.
Sial! Seharusnya tidak kuturuti permintaan Orin.
Entah bagaimana caranya anak-anak muda itu bisa sedemikian bersemangatnya. Wajah mereka ceria, senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasi bibir mereka. Sepertinya aku berada di tempat yang salah. Berbicara tentang anak muda, aku juga sebenarnya masih bisa dikategorikan sebagai anak muda, tapi tentu saja tingkah laku kami sungguh berbeda.
Setengah jam lagi mereka akan menggelar jumpa pers sekaligus jumpa penggemar khusus untuk pemenang kuis seperti yang dimenangkan oleh Orin. Entah kenapa aku merasa waktu berjalan sangat lama, semuanya terasa membosankan.
Bagaimana caranya Orin bisa menyukai band dengan penggemar terbanyak anak-anak baru gede seperti ini?
Aku beringsut dari dudukku. Suara tawa bahagia sungguh menyiksa telinga. Sebagian besar penggemar band ini adalah dari kaum wanita. Wajar saja, jika melihat dari wajah-wajah yang terpampang di banner di depan sana, wajah anggota band itu memang cukup menarik. Kalau tidak, mana mau produser musik menggaet mereka. Aku memang sering melihat wajah-wajah tampan para anggota band itu dari foto-foto yang ditunjukkan oleh Orin, tapi tetap saja tidak bisa mengingat nama-nama mereka. Lima orang, dengan wajah berbeda, dan dengan lima nama, mana sanggup aku mengingat itu semua, sedangkan ada hal lebih penting yang harus aku ingat.
Suara tawa perlahan berganti jerit histeris. Oh … tidak sepertinya sudah dimulai. Entah kenapa saat ini aku merasa merinding. Rasanya ketakutanku sungguh nggak berarti.
Beberapa orang tampak berjalan dengan tergesa, petugas keamanan mengawali mereka. Jerit dan teriakan semakin nyaring. Oh malangnya aku sampai terdampar di tempat asing seperti ini.
Tubuhku terdorong dengan paksa, ke kiri, ke kanan, dan kali ini ke depan. Mengikuti kerumunan gadis-gadis belia yang mengejar anggota band favorit mereka. Suasana terasa panas, tubuhku dari tadi mengeluarkan keringat dengan derasnya. Percuma saja Orin berpesan padaku untuk berdandan yang cantik dan mengenakan pakaian terbaik, tetap saja ujung-ujungnya seperti ikan asin juga.
Aku mengumpat dalam hati. Kalau kali ini Orin berada di sini, apa yang akan dilakukannya? Aku rasa dia akan ikut mengejar-ngejar anggota band itu dan berteriak dengan histerisnya. Sama sekali bukan kegiatan yang berfaedah. Coba deh gerombolan gadis-gadis muda ini diberi pelatihan apa gitu, biar lebih bermanfaat daripada sekadar menjerit histeris seperti ini.
Suasana agak tenang saat petugas keamanan menghalau penggemar garis keras itu dengan membuat posisi mereka seperti pagar. Aku menarik napas lega karena tidak terdorong-dorong seperti tadi lagi. Tapi tetap saja, semua yang berada di sini seperi tidak mau mengalah, aku tidak bisa bergerak sedikit pun dari tadi.
Ini baru jumpa penggemar, bagaimana kondisinya jika mereka sedang konser? Oh mama ... aku nggak mau membayangkannya.
Lima anak muda duduk mengitari meja setengah lingkaran di hadapanku. Oke … sebenarnya mereka tidak lagi muda. Walaupun semuanya menggunakan kacamata hitam, tapi aku bisa menebak, umur mereka tidak jauh dari umurku.
Jadi ini band favorit Orin. Tidak ada yang istimewa selain wajah mereka yang tampan. Salah seorang dari mereka malah berwajah menyebalkan, ganteng tapi minta digampar. Tapi rasanya rata-rata tampang anak band memang kayak gitu deh, sombong, sok dingin, sok ganteng, dan sok lainnya yang menyebalkan.
Sepertinya pemenang acara jumpa penggemar kali ini tidak begitu banyak, mungkin sekitar lima puluh orang. Tapi entah kenapa aku merasakan suasana seperti sedang berada di stadion olahraga. Pengap dan berisik. Memang ya kalau kumpulan wanita sefrekuensi dikumpulkan dalam satu tempat, jadinya ya seperti ini.
Salah seorang anggota band yang berwajah imut mengambil mic dan mulai menyapa penggemar-nya. Suasana kembali riuh, teriakan dan jeritan kembali terdengar. Oh … diriku yang malang, apa salahku sampai bisa berada di tempat ini?
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya. Suaranya ditelan oleh jerit histeris gadis-gadis muda ini. Aku pernah muda beberapa tahun yang lalu, menjalani masa remaja yang begitu menyenangkan, tapi tidak pernah seperti ini. Apa aku melewatkan fase masa mudaku?
Panitia acara jumpa penggemar kemudian mengatur kami dalam beberapa barisan. Astaga! Menyebutkan 'kami', seolah-olah aku menjadi bagian dari mereka.
Barisan diurut berdasarkan nomor pemenang undian. Dan sialnya! Aku lupa dengan nomor urut Orin. Yang kubawa hanya bukti kemenangan Orin berupa kode unik yang tadi digunakan saat registrasi.
Karena tidak berhasil mengingat nomor urutku, aku ditempatkan di barisan paling terakhir. Panita tidak bisa mengusirku, karena aku sudah melakukan registrasi tadi. Sungguh keterlaluan, cuma acara jumpa penggemar aja perlakuannya seperti sedang mengantre sembako.
Masing-masing orang diberi kesempatan untuk meminta tanda tangan dan foto bareng bersama Refrain. Gadis-gadis di sekelilingku menjerit-jerit tidak sabar. Astaga, lebih asyik antre sembako. Sumpah!
Orin ... Orin ...! Derita macam apa yang dihibahkan padaku. Kenapa hanya meminta foto dan tanda tangan grup cowok ganteng ini aja mesti perjuangan seperti ini?Tidak adil! Sungguh semuanya tidak adil! Di saat aku meluangkan hari liburku dari rutinitas kuliahku, yang kulakukan malah hal tidak penting seperti ini. Sungguh ironi.Antrean berjalan sangat lambat, selambat bekicot sedang jalan santai. Tidak ada seorang pun di sini yang rela bertukar posisi denganku, dengan iming-iming apa pun. Bukannya ingin cepat-cepat bertemu band idola Orin, aku mulai merasakan kakiku seperti kesemutan.Saat sudah hampir sampai giliranku, seluruh sendiku melemas. Sial! Ini jauh lebih menyakitkan dibanding diputuskan oleh pacar. Lima orang anggota band itu seperti berbenah, siap meninggalkan tempat."Masih ada satu orang lagi," teriak salah seorang panitia. Apa keberadaanku tidak terlihat oleh mereka? Jangan-jangan penampilanku lebih mirip petugas bersih-ber
"Oke, kita batalkan aja hari ini," kataku panik. Masa sih aku harus memaksa makan malam dengan orang sakit, terdengar nggak manusiawi."Bantu aku kembali ke kamar," pintanya lagi. Suaranya semakin lemah, dan aku semakin kebingungan dengan situasi aneh ini."Ayo aku bantu," kataku akhirnya. Aku memang tipe orang yang gampang kasihan dengan penderitaan orang, makanya paling mudah ditipu.Aku tidak mengerti kenapa dia masih memaksa mengabulkan acara makan malam ini jika saat ini sedang sakit. Tinggal mengatakan sedang tidak enak badang, pasti manajemennya mau mengerti. Huh! Pasti ini salah satu kerja paksa dari manajemennya."Kamar nomor berapa?" tanyaku sambil membantunya berdiri. Hilang sudah batas antara penggemar dan idolanya. Aku bisa memegang tangan dan berada begitu dekat dengannya yang bagi penggemarnya adalah hal yang mustahil.Dia menarik masker sehingga menutupi sebagian wajahnya dan kemudian menyerahkan sebuah kartu yang menjadi kunci kama
"Oke, kita batalkan aja hari ini," kataku panik. Masa sih aku harus memaksa makan malam dengan orang sakit, terdengar nggak manusiawi."Bantu aku kembali ke kamar," pintanya lagi. Suaranya semakin lemah, dan aku semakin kebingungan dengan situasi aneh ini."Ayo aku bantu," kataku akhirnya. Aku memang tipe orang yang gampang kasihan dengan penderitaan orang, makanya paling mudah ditipu.Aku tidak mengerti kenapa dia masih memaksa mengabulkan acara makan malam ini jika saat ini sedang sakit. Tinggal mengatakan sedang tidak enak badang, pasti manajemennya mau mengerti. Huh! Pasti ini salah satu kerja paksa dari manajemennya."Kamar nomor berapa?" tanyaku sambil membantunya berdiri. Hilang sudah batas antara penggemar dan idolanya. Aku bisa memegang tangan dan berada begitu dekat dengannya yang bagi penggemarnya adalah hal yang mustahil.Dia menarik masker sehingga menutupi sebagian wajahnya dan kemudian menyerahkan sebuah kartu yang menjadi kunci kama
Orin ... Orin ...! Derita macam apa yang dihibahkan padaku. Kenapa hanya meminta foto dan tanda tangan grup cowok ganteng ini aja mesti perjuangan seperti ini?Tidak adil! Sungguh semuanya tidak adil! Di saat aku meluangkan hari liburku dari rutinitas kuliahku, yang kulakukan malah hal tidak penting seperti ini. Sungguh ironi.Antrean berjalan sangat lambat, selambat bekicot sedang jalan santai. Tidak ada seorang pun di sini yang rela bertukar posisi denganku, dengan iming-iming apa pun. Bukannya ingin cepat-cepat bertemu band idola Orin, aku mulai merasakan kakiku seperti kesemutan.Saat sudah hampir sampai giliranku, seluruh sendiku melemas. Sial! Ini jauh lebih menyakitkan dibanding diputuskan oleh pacar. Lima orang anggota band itu seperti berbenah, siap meninggalkan tempat."Masih ada satu orang lagi," teriak salah seorang panitia. Apa keberadaanku tidak terlihat oleh mereka? Jangan-jangan penampilanku lebih mirip petugas bersih-ber
"Kamu boleh minta tolong apa aja, asal jangan yang satu itu," tolakku. Wajah Orin berubah sendu, dia menundukkan wajahnya sambil menarik-narik selimut yang menyelimuti tubuhnya. Oh … tidak! Aku paling tidak bisa menghadapi Orin yang seperti itu. Orin memang selalu bersikap seperti itu jika aku menolak permintaannya. Wajah memelasnya ditambah kali ini dia memang sedang sakit membuatku iba."Kalau aku bisa keluar dari rumah sakit ini, aku nggak bakal minta tolong kamu, Mel," katanya dengan nada mengiba. Aku menarik napas panjang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang rawat inap ini begitu sesak, apalagi ditambah menatap wajah Orin. Seperti perpaduan antara minta tolong dan pemaksaan.Sudah dua hari Orin dirawat di rumah sakit karena tifus yang dideritanya. Andai saja dia sehat-sehat saja, aku pasti tidak perlu menuruti permintaan tidak masuk akalnya."Kapan acaranya?" tanyaku akhirnya. Senyum Orin mengembang. Dia bahkan memaksa dirinya untuk dudu