Dua hari setelah tak ada kabar sama sekali dari Riya, aku pikir ia tak akan kembali lagi. Untuk sementara hatiku merasa plong karena tak ada lagi perempuan memuakkan itu di sekitarku.
Namun hal itu tak bertahan lama, saat tiba-tiba saja siang ini ketika aku sedang menyapu ruang tamu, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku yang bahkan belum sempat menjawab salam, sangat terkejut melihat Riya yang tahu-tahu sudah berada di depanku dengan menenteng dua kantong plastik besar.“Riya...?”“Sssttttt..... Udah diem, jangan banyak omong.” Katanya sambil meletakkan dua kantong itu di lantai.Dengan cepat ia mengeluarkan beberapa isinya dan membagi menjadi dua. Aku terheran-heran melihat apa yang sedang ia lakukan.“Kamu ngapain? Ke mana aja kamu dua hari ini?” tanyaku. Namun sama sekali tak ada jawaban dari Riya. Ia sibuk membagi barang bawaannya yang entah untuk apa.Aku melirik ke arah dapur, di mana Bang Roni sedang makan siang. Aku yakin kalau ia p“Berarti kamu udah baikan sama Bang Sarip?” Tanyaku sambil menyerahkan piring dan pisau kecil pada Riya.“Ya... Baik-baik gitu lah.” Jawabnya agak acuh.“Maksudnya?”“Ya aku pulang seolah nggak ada terjadi apa-apa. Dia juga biasa aja. Nggak ada membahas tentang ini sama sekali.”“Emang dia nggak nanya, selama tiga hari ini kamu ke mana? Dengan siapa? Terus siapa yang nganter kamu kabur malam itu?” tanyaku masih penasaran. Sebab kulihat ia begitu santai, seperti bukan seseorang yang habis lari dari rumah.“Nggak ada. Kalaupun nanya, paling nanti kalau udah agak lama. Aku pulang aja dicuekin. Sampai sekarang aja, nggak ada dia negur aku.”Aku ternganga mendengarnya. Bagaimana bisa ada suami yang seperti itu terhadap istrinya? Aku jangankan kabur dari rumah, pergi belanja sayur agak lama aja sampai disusul dan ditanya ini itu sama Bang Roni. Ini Bang Sarip, istrinya lari dari rumah sampai berhari-hari, ditegur aja nggak.Aku baru saja hendak bertanya
“Aku boleh duduk di sini?” tanya Bang Roni padaku, yang kini sedang duduk melamun sendirian di teras rumah. Aku tak menjawab. Malas sekali bicara dengannya. Lagi pula aku tak suka ia mengganggu waktuku bersantai sendiri seperti ini. Kami baru saja selesai makan malam sehabis shalat Isya tadi. Dan aku, memang lebih suka duduk melamun di kursi teras rumahku, memandang orang yang lalu lalang.Meski tak kujawab pertanyaannya, Bang Roni langsung duduk di sampingku. Mungkin karena aku pun tak menolak. Aku menggeser posisi, agak menjauh darinya.“Nggak usah jauh-jauh dong. Masa’ didekatin suami malah menghindar.” Bang Roni berusaha menggodaku. Tapi maaf, kali ini sudah tak mempan lagi.Bang Roni menghidupkan sebatang rokok dan mengembuskan asapnya di udara. Aku melirik ke arahnya dengan tatapan tak suka. Namun, ternyata ia pun sedang memandangiku. Jadinya tanpa sengaja kami beradu pandang. Dia sempat mengangkat kedua alisnya, namun aku melengo
Aku baru saja sampai di rumah dan mematikan mesin sepeda motorku, saat Riya nongol di pagar samping rumahnya. Dengan setengah berbisik ia memanggilku.“Sssttt... Roni. Baru pulang kerja kah?” tanyanya pelan.“Iya, emang kenapa?” “Sini dulu....” ia melambaikan tangan padaku.“Ada apa sih?” tanyaku risih. Dia memang suka memanggilku ke rumahnya saat Sarip sedang tak ada di rumah. “Sarip ada?” tanyaku lagi.“Nggak ada. Lagi keluar.”“Nggak ah. Aku nggak enak mau ke situ kalau nggak ada Sarip. Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain.” Tolakku.“Sebentar aja. Ada yang mau kuberikan untuk istrimu.” Katanya memaksa.“Ya kenapa tadi nggak manggil atau nelfon dia langsung sih?” protesku. Jujur saja, selama ini aku agak risih kalau berdekatan dan mengobrol dengan Riya.Meski di luar tampak kalau aku suka bergurau dan menggodanya, itu sekedar hanya menghargai dia yang suka mengajakku bercanda. Yang buat aku kadang merasa tak suka, setiap kali ia Cuma be
Aku sedang asyik mengobrol dengan Mas Indra, saat sebuah chat masuk dari Riya. Aku mengerutkan kening. Jam segini dia chat aku buat apa? Ini sudah hampir tengah malam.[ Roni, mana janjimu? ] Aku berpikir, janji apa? Perasaan aku nggak pernah berjanji apa-apa padanya. Kuketik balasan.[ Emang aku ada janji apa? ][ Tuh kan pura-pura lupa. Berarti apa yang kamu bilang tadi siang itu bohong!” ]Otakku cepat berpikir. Oh, ternyata dia menagih janji bualanku? Aku ukir senyum jahat. Sungguh sangat menyenangkan mengerjai perempuan seperti ini. Perempuan kesepian yang haus akan kasih sayang dan perhatian.[ Oh, yang rekaman itu? Nggak jadi. Nanti kamu sebarkan ][ Buat apa aku sebarkan? Memangnya aku berani? ][ Nggak. Itu rahasia antara aku dan istriku. Kalau Sartika tahu aku ngirim gituan ke kamu, dia bisa ngamuk ][ Kamu takut sama Sartika? ][ Aku nggak takut. Aku Cuma menghargai dia, karena aku sayang dia ]Cukup lama Riya tak me
“Mamanya Riya dulu pernah merendahkan aku.” “Merendahkan gimana? Menghina maksudnya?”Aku mengangguk lagi. Kumatikan bara api rokokku, meski masih tersisa setengah batang yang belum terbakar. Aku akan ceritakan semua pada Eko.“Dulu waktu masih SMA, aku pernah dijodohin sama Riya. Bukan dijodohkan sih. Lebih tepatnya, Bi Surani yang ngajak orang tuaku buat besanan. Tapi aku dan orang tuaku nggak setuju karena punya alasan.” Sejenak aku menghentikan cerita.“Trus?” Eko tampak tak sabar.“Nah, dulu kan Riya udah nikah duluan dari aku, dengan suami pertamanya, yang namanya Khoiri kan? Trus dia bercerai dan jadi janda. Saat itu aku udah nikah dengan Sartika. Waktu Riya janda selama beberapa waktu, Bi Surani seolah sibuk mencarikan ia suami baru. Jadi aku bercandain dia. Kubilang, biar aku aja yang nikahin Riya. Padahal waktu itu aku benar-benar Cuma bercanda, nggak ada maksud apa-apa. Tapi jawabannya Bi Surani sungguh membuatku tersinggung.”
“Mau ke mana?” tanya Sartika saat kami tadi berpapasan di jalan depan rumah.“Aku mau ke rumah Riya. Mau numpang transfer duit.” Kataku memberi alasan. Aku yakin Sartika tak akan curiga sedikit pun, karena kami memang sudah biasa menumpang transfer uang dengan Riya. Padahal, siang ini aku ke rumah Riya, karena dia baru saja mengirim chat, kalau Sarip sedang tak ada. Riya menagih janjiku yang bilang akan mendatangi ia ke rumahnya.“Aku izin ya, mau ke rumah Mbah Muri, mau rewang ada acara nanti malam.”Kebetulan, pikirku. Kalau Sartika tak ada di rumah, akan jauh lebih aman.“Ya udah. Pulangnya jangan terlalu sore ya.” Pesanku. Sartika mengangguk, kemudian mendekat dan mencium tanganku. Aku membalasnya. Hal yang memang sudah kami lakukan sejak dulu dari awal menikah.Kulihat ia berjalan kaki bersama Bi Rabiah, menuju rumah Mbah Muri yang memang tak begitu jauh dari rumah kami. Aku tersenyum dan mengarahkan sep
PoV SartikaAku sedang mengupas kulit bawang di rumah Bi Rabiah. Nanti malam, akan diadakan pengajian ibu-ibu yang diadakan setiap malam Jumat. Karena itu, Bi Rabiah memintaku untuk membantunya memasak menu nasi campur untuk nanti malam.Hanya aku berdua saja dengan Bi Rabiah. Karena itu, untuk mengusir kebosanan, kami bercerita sambil bercanda. Namun entah kenapa, aku merasa kalau tatapan Bi Rabiah padaku hari ini terlihat lain. Seperti ada sesuatu yang ingin ia tanyakan.“Roni kerja ya Sar?” Tanyanya sambil memotong-motong bawang yang sudah kukupas dan memasukkannya ke dalam blender.“Iya, kayak biasa Bi. Kalau nggak kerja, nanti nggak bisa makan.” Selorohku.Bi Rabiah hanya mengangguk. Namun sejurus kemudian ia kembali bertanya, “Bibi boleh nanya nggak? Tapi kamu jangan marah, dan jangan cerita ke Roni juga.”“Boleh, nanya aja Bi. Soal apa?” tanyaku dengan kening berkerut. Kalau Bi Rabiah berkata seperti itu, artinya yang ia t
“Sar, tadi siang Tante Sheila nelfon. Dia bilang, ada temannya yang minta diajarin nyetir mobil sama aku. Boleh kuambil nggak?”“Ya bolehlah. Ambil aja. Uangnya untuk aku semua. Dari kemarin kan aku minta lima ratus ribu buat beli skincare. Sampe sekarang kamu belum ngasih. Emang dia mau bayar berapa?” Tanyaku sambil melipat mukena dan sajadah, setelah baru saja selesai shalat Isya.“Aku sih minta tujuh ratus ribu. Tapi dia baru bayar kalau udah mahir.”“Ya minta DP dulu lah biarpun bayarnya pas udah lancar nyetir. Seenggaknya dua ratus dulu. Mulai kapan mau ngajarin?” tanyaku.“Malam ini. Sekarang aku mau ke tempat Tante dulu, baru pergi ke rumah temannya yang mau kursus nyetir.”“Latihan di mana?”“Di stadion. Kalau malam kan nggak ada orang. Jadi bisa belajar di sana.”Aku mengangguk. “Ya udah, pergi aja sana. Uang DP nya jangan lupa. Kalau dia nggak mau bayar, nggak usah ajarin.”“Aku nggak enak mau bilang.”“Enak nggak enaklah. Kan k
“Aku tahu kalau dulu sudah menyia-nyiakan kalian. Tapi apakah kamu sama sekali nggak mau memberikan aku kesempatan untuk menebus segala kekuranganku yang dulu? Aku berjanji, akan memperlakukan kalian semua dengan baik.” Bang Roni berkata dengan mata memerah.“Aku udah memberi kamu banyak kesempatan, Roni. Tapi beberapa kali juga kau sudah mengecewakan aku. Sekarang tolong biarkan aku tenang sendiri. Udah saatnya aku bahagia.” Kataku tajam.Bang Roni tampak terdiam. Namun kemudian ia berkata, “aku sudah mengakui pada Sarip, soal hubungan aku dengan Riya. Aku ceritakan semua termasuk semua bukti yang pernah ada padamu.”Kalimat Bang Roni sungguh membuatku terkejut. Aku tak menyangka kalau dia ternyata melakukan apa yang kemarin ia bilang. “Kenapa seperti itu? Aku udah bilang agar kau tak merusak rumah tangga orang lain.”“Rumah tangga kita udah rusak Sartika. Kalaupun kau tak bisa kembali padaku, maka Riya juga harus hancur. Dia tak boleh bahagia, sementara h
“Ayaah....!”Erin dan Erlan berlari mengejar Bang Roni. Kelihatan sekali kalau mereka sangat merindukan ayahnya. Sekilas kulihat ke arah Azmil, wajahnya tampak mendung melihat pemandangan antara ayah dan anak itu.Bang Roni berjongkok dan memeluk anaknya bergantian. Ia tampak ingin menangis. Tapi dapat kulihat ia seperti sedang berusaha menguatkan dirinya.Aku tertegun melihat kedatangan Bang Roni yang tiba-tiba seperti ini. Ada rasa tak enak dalam hatiku, karena sekarang sedang bersama Azmil. Memang kami sudah bercerai, namun aku masih berada dalam masa Iddah. Aku khawatir Bang Roni akan berpikir macam-macam dan justru balik merendahkan aku.Bang Roni berdiri dan mendekatiku yang masih berdiri mematung. Tatapan matanya terasa menusuk, terutama saat ia melihat ke arah Azmil. Berbanding terbalik dengan Azmil, ia justru tak tampak sedikit pun merasa takut atau khawatir melihat kedatangan Bang Roni. Azmil terlihat santai, seolah tak akan mungkin terjadi apa-apa. Aku yang justru mer
Suara salam terdengar dari depan pintu rumah. Aku yang sedang berbaring sambil bermain-main dengan kucing, memilih untuk tak menghiraukannya. Karena kupikir pasti tamu Ibuku. Dan beliau juga kebetulan sedang berada di ruang tamu.Namun ternyata tak lama kemudian kudengar suara Ibu memanggil.“Sartika, keluar sebentar. Ini ada Rusdi, teman sekolahmu.” Jujur saja aku agak kaget. Karena Rusdi adalah temanku sejak SD dan kami sudah tak pernah lagi berjumpa sejak aku menikah dengan Bang Roni.Aku langsung keluar kamar karena terlalu antusias bertemu dengan teman lama. Begitu sampai di ruang tamu, kulihat dia sedang duduk di sofa. Ibu memilih untuk meninggalkan kami, katanya mau menonton acara TV kesayangannya.“Eh Rusdi, apa kabar?” Tanyaku sambil menyalami Rusdi yang langsung berdiri melihat aku datang.“Baik-baik aja. Kamu gimana? Udah lama ya nggak pulang kampung.” Katanya sambil kembali duduk. Aku pun ikut duduk di kursi yang berseberangan dengannya.
“Aku akan buat rumah tangga dia juga hancur, Sar. Aku masih nggak ikhlas rasanya dibuat seperti ini.”Aku menghela napas. Bagaimanapun, aku juga tak bisa menyalahkan Bang Roni kalau memiliki kebencian yang teramat sangat dengan Riya. Karena jangankan dia, aku sendiri pun sebenarnya sangat marah dan tak terima dengan apa yang sudah dilakukan Riya terhadap rumah tangga kami.Namun bagiku, membalas dendam hanya akan membuang waktu dan energi. Aku lebih memilih menyerahkan semuanya pada yang di atas. Aku tak mau rasa marah dan dendam membuatku terus terjebak dalam sakitnya pengalaman di masa lalu. Lebih baik aku fokus mencari uang dan membahagiakan diri serta anak-anakku.“Aku sekarang nggak bisa melarang apa pun yang mau kamu lakukan, Roni. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi dalam hidupmu. Hanya saja, aku berharap agar kau memikirkan kembali masak-masak apa yang akan kau lakukan ke depannya. Jangan sampai menjadi penyesalan lagi seperti sekarang.”Bang Roni dia
“Iya, ini aku dengar dari salah satu bestie-nya Riya. Kakak kenal sama yang namanya Maryana kan? Masih sepupu Roni juga. Riya pernah cerita sama dia, katanya pernah selingkuh dengan Roni. Mereka seharian di hotel Cuma berdua-duaan pas Riya kabur dari rumah gara-gara berantem sama Bang Sarip. Pikir aja coba, kalau Cuma berdua di hotel, mereka mau ngapain? Masa Cuma pandang-pandangan? Soal ini sih nggak banyak orang yang tahu, karena Riya cerita sama orang-orang terdekatnya aja. Tapi namanya dari mulut ke mulut, nyampai juga ke telingaku.” Kata Ayu menjelaskan. Aku sejenak terdiam beberapa saat.Apa maksud Riya menceritakan ke sana-sini soal dia yang berduaan dengan Bang Roni di losmen kemarin? Bukankah hal seperti itu harusnya ia tutupi karena menyangkut aib? Kenapa Riya sangat tak tahu malu jadi perempuan?“Jadi Riya baru-baru ini keguguran?” tanyaku memastikan.“Iya. Waktu kemarin aku masih di rumah sakit, Riya juga ke sana karena dikuret.”“Berarti baru beberap
Aku memarkir sepeda motor di samping rumah Ayu, di bawah sebuah pohon rambutan. Malam ini, aku hanya pergi bersama kedua anakku. Bang Roni kutinggal di rumah, dan aku tak peduli dia mau datang ke sini atau tidak.Dengan penuh percaya diri aku melangkah masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Terdengar beberapa orang membalas salamku. Dari ekor mata, dapat kulihat ada Riya yang sedang duduk bersama beberapa anggota keluarga yang lain.“Sini Kak....” Ayu melambai padaku sambil tetap menggendong bayi mungil yang baru saja ia lahirkan seminggu lalu.Aku duduk di depan Ayu sambil mengatur posisi duduk untuk Erin dan Erlan agar tak mengganggu orang lewat.“Lucunya.... Harum bayi emang enak ya...” kataku sambil menciumi bayi lelaki di pangkuan Ayu.“Eh, ini siapa ya? Kok kayak kenal?” tanya seorang kerabat jauh Bang Roni yang berbadan gemuk.“Ini loh istrinya Roni. Masa’ nggak ingat?” jawab Ayu.“Ah masa’? Perasaan istrinya Roni nggak secantik ini.” Pere
“Emangnya apa yang udah pernah kamu kasih ke dia? Kalau dia iya, banyak belikan kamu makanan enak!”“Oh mau mengungkit?! Oke, sekarang bayar upahku merawat dan mengasuh Hilda sama Ola selama ini! Kalau kalian bayar Baby Sitter, sebulan seenggaknya satu setengah juta. Hilda dan Ola dititipkan di rumah ini dari pagi sampai malam, udah hampir setahun. Jadi bayar upah baby sitter buatku. Trus upah masak. Riya tiap nyuruh masak Cuma ngasih bahan. Tapi rempah, minyak, bumbu, dan gas nggak pernah ngasih. Dan terakhir, aku minta kembalikan ciuman suamiku. Kembalikan keutuhan rumah tanggaku, kembalikan rasa percaya dan cintaku untuk suamiku. Bisa nggak dia mengganti itu semua?! Bisa?! Sini bayar sama aku! Kalau sampai aku bercerai sama Roni gara-gara dia, aku minta ganti rugi karena udah membuat masa depan anak-anakku jadi suram. Jadi, jangan sok-sokan mengungkit pemberian Riya. Apa yang anak kamu berikan ke aku itu nggak ada apa-apanya Bi. Masih bisa diganti semua. Tapi apa yang udah dia lak
“Sartika, sini dulu....” Bi Rabiah memanggilku yang sedang menimba air sumur di depan rumah. Sementara ia melambaikan tangan dari jendela dapurnya.Aku mendekat dan bertanya,” kenapa Bi?”“Roni mana?” tanyanya setengah berbisik.“Masih tidur kali, di kamar depan.” Jawabku malas. Aku sungguh tak mau tahu lagi soal lelaki itu. “Eh sini deh...” ia melambai lagi, menyuruhku untuk lebih mendekat. Sepertinya transfer data akan dimulai. Dia mulai menggosip. “Ada apa lagi Bi? Apa ini tentang semalam?” tebakku.“Iya. Kamu tahu nggak, tadi pagi Riya dilabrak sama Bibinya sendiri.”Aku mengerutkan kening. “Bibi yang mana?” tanyaku lagi. Karena Bang Roni memang punya banyak Bibi. Mama mertuaku punya empat saudara perempuan.“Si Yati yang ngelabrak.”“Ngapain Bi Yati ngelabrak Riya?”“Semalam habis dari rumah kalian, mertua kamu tuh singgah ke tempat Yati. Mungkin ngomongin soal ini. Jadi tadi sekitar jam enam, Yati datang ke rumah Riya. Nanyai
Kuputar rekaman suara Riya dengan volume suara paling besar. Tampak sekali keterkejutan di wajah semua orang yang ada dalam ruangan ini. Hanya Bang Roni yang tertunduk sambil menutupi wajah. Ia pasti sangat malu, karena pengakuan Riya yang ada di dalam rekaman suara itu benar-benar menceritakan tentang semua kelakuan mesumnya.“Ini pengakuan Riya. Apa Ayah dan Mama juga mau baca isi chat mesra mereka?” tanyaku dingin. Sekarang mereka sudah tahu kelakuan anaknya.Ayah, Bi Rabiah dan kedua Paman yang lain hanya menggelengkan kepala. Sementara Mama sudah menangis.“Nggak perlu, Sar. Kami percaya aja sama kamu. Lagi pula itu adalah aib suami kamu, yang kalau bisa ditutupi hingga akhir. Cuma Ayah mau tahu aja, mereka sudah sejauh mana?” tanya Ayah padaku.“Ayah tanya aja sendiri sama Roni. Dia yang melakukannya.” Kataku datar sambil melirik Bang Roni.“Roni....??” Ayah memanggil Bang Roni, memaksa untuk mengaku.“Kami nggak pernah melakukan hal di luar batas