“Ada apa Bang Sarip?” tanyaku sambil memasukkan anak rambut yang sempat keluar dari mukena. Sementara Hilda dan Ola sudah berebut untuk masuk ke dalam sambil berteriak memanggil Erin dan Erlan.
Aku sudah bersiap untuk menjawab pertanyaan Bang Sarip seandainya ia menanyakan tentang Riya.“Mama Erin, tolong titip Hilda sama Ola ya. Saya mau ke pasar sebentar. Mau ngantar pesanan sayur orang.” Katanya.“Iya, boleh. Biar mereka main sama Erin dan Erlan. Udah pada makan belum?” tanyaku lagi.“Udah tadi saya suapin. Tapi mereka nggak mau makan banyak.”“Nggak apa, nanti biar makan lagi. Kalau makan rame-rame biasanya anak-anak jadi lebih semangat makan.” Kataku sambil memperhatikan gerak-geriknya.Bang Sarip seperti orang yang ingin menanyakan sesuatu, tapi tampak ragu. Dia bahkan sempat pamit dan membalikkan badan. Namun ia kembali dan lama berdiri menatapku.“Kenapa Bang?”Bang Sarip lagi-lagi diam, seperti sedang berpikir keras dan menimbang-nimbDua hari setelah tak ada kabar sama sekali dari Riya, aku pikir ia tak akan kembali lagi. Untuk sementara hatiku merasa plong karena tak ada lagi perempuan memuakkan itu di sekitarku. Namun hal itu tak bertahan lama, saat tiba-tiba saja siang ini ketika aku sedang menyapu ruang tamu, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku yang bahkan belum sempat menjawab salam, sangat terkejut melihat Riya yang tahu-tahu sudah berada di depanku dengan menenteng dua kantong plastik besar.“Riya...?”“Sssttttt..... Udah diem, jangan banyak omong.” Katanya sambil meletakkan dua kantong itu di lantai.Dengan cepat ia mengeluarkan beberapa isinya dan membagi menjadi dua. Aku terheran-heran melihat apa yang sedang ia lakukan.“Kamu ngapain? Ke mana aja kamu dua hari ini?” tanyaku. Namun sama sekali tak ada jawaban dari Riya. Ia sibuk membagi barang bawaannya yang entah untuk apa.Aku melirik ke arah dapur, di mana Bang Roni sedang makan siang. Aku yakin kalau ia p
“Berarti kamu udah baikan sama Bang Sarip?” Tanyaku sambil menyerahkan piring dan pisau kecil pada Riya.“Ya... Baik-baik gitu lah.” Jawabnya agak acuh.“Maksudnya?”“Ya aku pulang seolah nggak ada terjadi apa-apa. Dia juga biasa aja. Nggak ada membahas tentang ini sama sekali.”“Emang dia nggak nanya, selama tiga hari ini kamu ke mana? Dengan siapa? Terus siapa yang nganter kamu kabur malam itu?” tanyaku masih penasaran. Sebab kulihat ia begitu santai, seperti bukan seseorang yang habis lari dari rumah.“Nggak ada. Kalaupun nanya, paling nanti kalau udah agak lama. Aku pulang aja dicuekin. Sampai sekarang aja, nggak ada dia negur aku.”Aku ternganga mendengarnya. Bagaimana bisa ada suami yang seperti itu terhadap istrinya? Aku jangankan kabur dari rumah, pergi belanja sayur agak lama aja sampai disusul dan ditanya ini itu sama Bang Roni. Ini Bang Sarip, istrinya lari dari rumah sampai berhari-hari, ditegur aja nggak.Aku baru saja hendak bertanya
“Aku boleh duduk di sini?” tanya Bang Roni padaku, yang kini sedang duduk melamun sendirian di teras rumah. Aku tak menjawab. Malas sekali bicara dengannya. Lagi pula aku tak suka ia mengganggu waktuku bersantai sendiri seperti ini. Kami baru saja selesai makan malam sehabis shalat Isya tadi. Dan aku, memang lebih suka duduk melamun di kursi teras rumahku, memandang orang yang lalu lalang.Meski tak kujawab pertanyaannya, Bang Roni langsung duduk di sampingku. Mungkin karena aku pun tak menolak. Aku menggeser posisi, agak menjauh darinya.“Nggak usah jauh-jauh dong. Masa’ didekatin suami malah menghindar.” Bang Roni berusaha menggodaku. Tapi maaf, kali ini sudah tak mempan lagi.Bang Roni menghidupkan sebatang rokok dan mengembuskan asapnya di udara. Aku melirik ke arahnya dengan tatapan tak suka. Namun, ternyata ia pun sedang memandangiku. Jadinya tanpa sengaja kami beradu pandang. Dia sempat mengangkat kedua alisnya, namun aku melengo
Aku baru saja sampai di rumah dan mematikan mesin sepeda motorku, saat Riya nongol di pagar samping rumahnya. Dengan setengah berbisik ia memanggilku.“Sssttt... Roni. Baru pulang kerja kah?” tanyanya pelan.“Iya, emang kenapa?” “Sini dulu....” ia melambaikan tangan padaku.“Ada apa sih?” tanyaku risih. Dia memang suka memanggilku ke rumahnya saat Sarip sedang tak ada di rumah. “Sarip ada?” tanyaku lagi.“Nggak ada. Lagi keluar.”“Nggak ah. Aku nggak enak mau ke situ kalau nggak ada Sarip. Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain.” Tolakku.“Sebentar aja. Ada yang mau kuberikan untuk istrimu.” Katanya memaksa.“Ya kenapa tadi nggak manggil atau nelfon dia langsung sih?” protesku. Jujur saja, selama ini aku agak risih kalau berdekatan dan mengobrol dengan Riya.Meski di luar tampak kalau aku suka bergurau dan menggodanya, itu sekedar hanya menghargai dia yang suka mengajakku bercanda. Yang buat aku kadang merasa tak suka, setiap kali ia Cuma be
Aku sedang asyik mengobrol dengan Mas Indra, saat sebuah chat masuk dari Riya. Aku mengerutkan kening. Jam segini dia chat aku buat apa? Ini sudah hampir tengah malam.[ Roni, mana janjimu? ] Aku berpikir, janji apa? Perasaan aku nggak pernah berjanji apa-apa padanya. Kuketik balasan.[ Emang aku ada janji apa? ][ Tuh kan pura-pura lupa. Berarti apa yang kamu bilang tadi siang itu bohong!” ]Otakku cepat berpikir. Oh, ternyata dia menagih janji bualanku? Aku ukir senyum jahat. Sungguh sangat menyenangkan mengerjai perempuan seperti ini. Perempuan kesepian yang haus akan kasih sayang dan perhatian.[ Oh, yang rekaman itu? Nggak jadi. Nanti kamu sebarkan ][ Buat apa aku sebarkan? Memangnya aku berani? ][ Nggak. Itu rahasia antara aku dan istriku. Kalau Sartika tahu aku ngirim gituan ke kamu, dia bisa ngamuk ][ Kamu takut sama Sartika? ][ Aku nggak takut. Aku Cuma menghargai dia, karena aku sayang dia ]Cukup lama Riya tak me
“Mamanya Riya dulu pernah merendahkan aku.” “Merendahkan gimana? Menghina maksudnya?”Aku mengangguk lagi. Kumatikan bara api rokokku, meski masih tersisa setengah batang yang belum terbakar. Aku akan ceritakan semua pada Eko.“Dulu waktu masih SMA, aku pernah dijodohin sama Riya. Bukan dijodohkan sih. Lebih tepatnya, Bi Surani yang ngajak orang tuaku buat besanan. Tapi aku dan orang tuaku nggak setuju karena punya alasan.” Sejenak aku menghentikan cerita.“Trus?” Eko tampak tak sabar.“Nah, dulu kan Riya udah nikah duluan dari aku, dengan suami pertamanya, yang namanya Khoiri kan? Trus dia bercerai dan jadi janda. Saat itu aku udah nikah dengan Sartika. Waktu Riya janda selama beberapa waktu, Bi Surani seolah sibuk mencarikan ia suami baru. Jadi aku bercandain dia. Kubilang, biar aku aja yang nikahin Riya. Padahal waktu itu aku benar-benar Cuma bercanda, nggak ada maksud apa-apa. Tapi jawabannya Bi Surani sungguh membuatku tersinggung.”
“Mau ke mana?” tanya Sartika saat kami tadi berpapasan di jalan depan rumah.“Aku mau ke rumah Riya. Mau numpang transfer duit.” Kataku memberi alasan. Aku yakin Sartika tak akan curiga sedikit pun, karena kami memang sudah biasa menumpang transfer uang dengan Riya. Padahal, siang ini aku ke rumah Riya, karena dia baru saja mengirim chat, kalau Sarip sedang tak ada. Riya menagih janjiku yang bilang akan mendatangi ia ke rumahnya.“Aku izin ya, mau ke rumah Mbah Muri, mau rewang ada acara nanti malam.”Kebetulan, pikirku. Kalau Sartika tak ada di rumah, akan jauh lebih aman.“Ya udah. Pulangnya jangan terlalu sore ya.” Pesanku. Sartika mengangguk, kemudian mendekat dan mencium tanganku. Aku membalasnya. Hal yang memang sudah kami lakukan sejak dulu dari awal menikah.Kulihat ia berjalan kaki bersama Bi Rabiah, menuju rumah Mbah Muri yang memang tak begitu jauh dari rumah kami. Aku tersenyum dan mengarahkan sep
PoV SartikaAku sedang mengupas kulit bawang di rumah Bi Rabiah. Nanti malam, akan diadakan pengajian ibu-ibu yang diadakan setiap malam Jumat. Karena itu, Bi Rabiah memintaku untuk membantunya memasak menu nasi campur untuk nanti malam.Hanya aku berdua saja dengan Bi Rabiah. Karena itu, untuk mengusir kebosanan, kami bercerita sambil bercanda. Namun entah kenapa, aku merasa kalau tatapan Bi Rabiah padaku hari ini terlihat lain. Seperti ada sesuatu yang ingin ia tanyakan.“Roni kerja ya Sar?” Tanyanya sambil memotong-motong bawang yang sudah kukupas dan memasukkannya ke dalam blender.“Iya, kayak biasa Bi. Kalau nggak kerja, nanti nggak bisa makan.” Selorohku.Bi Rabiah hanya mengangguk. Namun sejurus kemudian ia kembali bertanya, “Bibi boleh nanya nggak? Tapi kamu jangan marah, dan jangan cerita ke Roni juga.”“Boleh, nanya aja Bi. Soal apa?” tanyaku dengan kening berkerut. Kalau Bi Rabiah berkata seperti itu, artinya yang ia t
“Iya, ini aku dengar dari salah satu bestie-nya Riya. Kakak kenal sama yang namanya Maryana kan? Masih sepupu Roni juga. Riya pernah cerita sama dia, katanya pernah selingkuh dengan Roni. Mereka seharian di hotel Cuma berdua-duaan pas Riya kabur dari rumah gara-gara berantem sama Bang Sarip. Pikir aja coba, kalau Cuma berdua di hotel, mereka mau ngapain? Masa Cuma pandang-pandangan? Soal ini sih nggak banyak orang yang tahu, karena Riya cerita sama orang-orang terdekatnya aja. Tapi namanya dari mulut ke mulut, nyampai juga ke telingaku.” Kata Ayu menjelaskan. Aku sejenak terdiam beberapa saat.Apa maksud Riya menceritakan ke sana-sini soal dia yang berduaan dengan Bang Roni di losmen kemarin? Bukankah hal seperti itu harusnya ia tutupi karena menyangkut aib? Kenapa Riya sangat tak tahu malu jadi perempuan?“Jadi Riya baru-baru ini keguguran?” tanyaku memastikan.“Iya. Waktu kemarin aku masih di rumah sakit, Riya juga ke sana karena dikuret.”“Berarti baru beberap
Aku memarkir sepeda motor di samping rumah Ayu, di bawah sebuah pohon rambutan. Malam ini, aku hanya pergi bersama kedua anakku. Bang Roni kutinggal di rumah, dan aku tak peduli dia mau datang ke sini atau tidak.Dengan penuh percaya diri aku melangkah masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Terdengar beberapa orang membalas salamku. Dari ekor mata, dapat kulihat ada Riya yang sedang duduk bersama beberapa anggota keluarga yang lain.“Sini Kak....” Ayu melambai padaku sambil tetap menggendong bayi mungil yang baru saja ia lahirkan seminggu lalu.Aku duduk di depan Ayu sambil mengatur posisi duduk untuk Erin dan Erlan agar tak mengganggu orang lewat.“Lucunya.... Harum bayi emang enak ya...” kataku sambil menciumi bayi lelaki di pangkuan Ayu.“Eh, ini siapa ya? Kok kayak kenal?” tanya seorang kerabat jauh Bang Roni yang berbadan gemuk.“Ini loh istrinya Roni. Masa’ nggak ingat?” jawab Ayu.“Ah masa’? Perasaan istrinya Roni nggak secantik ini.” Pere
“Emangnya apa yang udah pernah kamu kasih ke dia? Kalau dia iya, banyak belikan kamu makanan enak!”“Oh mau mengungkit?! Oke, sekarang bayar upahku merawat dan mengasuh Hilda sama Ola selama ini! Kalau kalian bayar Baby Sitter, sebulan seenggaknya satu setengah juta. Hilda dan Ola dititipkan di rumah ini dari pagi sampai malam, udah hampir setahun. Jadi bayar upah baby sitter buatku. Trus upah masak. Riya tiap nyuruh masak Cuma ngasih bahan. Tapi rempah, minyak, bumbu, dan gas nggak pernah ngasih. Dan terakhir, aku minta kembalikan ciuman suamiku. Kembalikan keutuhan rumah tanggaku, kembalikan rasa percaya dan cintaku untuk suamiku. Bisa nggak dia mengganti itu semua?! Bisa?! Sini bayar sama aku! Kalau sampai aku bercerai sama Roni gara-gara dia, aku minta ganti rugi karena udah membuat masa depan anak-anakku jadi suram. Jadi, jangan sok-sokan mengungkit pemberian Riya. Apa yang anak kamu berikan ke aku itu nggak ada apa-apanya Bi. Masih bisa diganti semua. Tapi apa yang udah dia lak
“Sartika, sini dulu....” Bi Rabiah memanggilku yang sedang menimba air sumur di depan rumah. Sementara ia melambaikan tangan dari jendela dapurnya.Aku mendekat dan bertanya,” kenapa Bi?”“Roni mana?” tanyanya setengah berbisik.“Masih tidur kali, di kamar depan.” Jawabku malas. Aku sungguh tak mau tahu lagi soal lelaki itu. “Eh sini deh...” ia melambai lagi, menyuruhku untuk lebih mendekat. Sepertinya transfer data akan dimulai. Dia mulai menggosip. “Ada apa lagi Bi? Apa ini tentang semalam?” tebakku.“Iya. Kamu tahu nggak, tadi pagi Riya dilabrak sama Bibinya sendiri.”Aku mengerutkan kening. “Bibi yang mana?” tanyaku lagi. Karena Bang Roni memang punya banyak Bibi. Mama mertuaku punya empat saudara perempuan.“Si Yati yang ngelabrak.”“Ngapain Bi Yati ngelabrak Riya?”“Semalam habis dari rumah kalian, mertua kamu tuh singgah ke tempat Yati. Mungkin ngomongin soal ini. Jadi tadi sekitar jam enam, Yati datang ke rumah Riya. Nanyai
Kuputar rekaman suara Riya dengan volume suara paling besar. Tampak sekali keterkejutan di wajah semua orang yang ada dalam ruangan ini. Hanya Bang Roni yang tertunduk sambil menutupi wajah. Ia pasti sangat malu, karena pengakuan Riya yang ada di dalam rekaman suara itu benar-benar menceritakan tentang semua kelakuan mesumnya.“Ini pengakuan Riya. Apa Ayah dan Mama juga mau baca isi chat mesra mereka?” tanyaku dingin. Sekarang mereka sudah tahu kelakuan anaknya.Ayah, Bi Rabiah dan kedua Paman yang lain hanya menggelengkan kepala. Sementara Mama sudah menangis.“Nggak perlu, Sar. Kami percaya aja sama kamu. Lagi pula itu adalah aib suami kamu, yang kalau bisa ditutupi hingga akhir. Cuma Ayah mau tahu aja, mereka sudah sejauh mana?” tanya Ayah padaku.“Ayah tanya aja sendiri sama Roni. Dia yang melakukannya.” Kataku datar sambil melirik Bang Roni.“Roni....??” Ayah memanggil Bang Roni, memaksa untuk mengaku.“Kami nggak pernah melakukan hal di luar batas
“Sartika, tolong jangan keras kepala! Kalau dibiarkan, Roni bisa membunuh orang!” Teriak Paman Fauzi, masih berusaha membujukku untuk mengambil pisau di tangan Bang Roni. Mereka sungguh tampak kewalahan.“Lepasin aja Paman. Biarkan apa maunya. Aku nggak yakin dia akan benar-benar mendatangi rumah Riya. Percayalah, Roni itu Cuma menggertak. Dia nggak mungkin berani membunuh orang.” Kataku sambil meninggalkan mereka ke dapur. Tenggorokanku kering, ingin minum.Benar dugaanku, Bang Roni tak lagi mencak-mencak seperti tadi. Kudengar suasana sudah agak tenang. Dan begitu aku kembali, kulihat Paman Ardi dan Paman Fauzi sudah melonggarkan pegangannya pada Bang Roni. Meski mereka masih tampak waspada.Aku yang melihatnya hanya bisa menyeringai sambil menggelengkan kepala. Ternyata Bang Roni hanya gertak sambal. Jangankan membunuh, mendatangi Riya ke rumahnya pun tak berani. Laki-laki seperti apa dia?“Duduk dulu sama-sama Sar. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin.” B
Aku mengepalkan tanganku diam-diam. Gigiku sudah gemeretak menahan emosi yang sedikit lagi nyaris meluap. Ingin rasanya aku mencakar wajah Bang Roni dan Riya saat ini, seandainya saja mereka berdua sedang berada di depanku.Sekali lagi, aku telah dibohongi mentah-mentah. Benar firasatku malam itu yang mengatakan, kalau mereka keluar berdua, pasti berciuman untuk yang terakhir kalinya. Mereka pasti sama-sama tak mau rugi. Hubungan berakhir paksa, setidaknya mereka masih bisa saling mencicipi bibir masing-masing.Dan Bang Roni, padahal sudah berjanji padaku tak akan mengulangi lagi, ia bahkan seolah benci pada Riya. Nyatanya, mereka berciuman dan ia bahkan menutupinya hingga saat ini. Untungnya Riya keceplosan dan aku bisa mengetahui kebenarannya.Baiklah, ini akhir dari semua. Akan aku sudahi kali ini. Sudah cukup aku dibohongi dan dipermainkan. Saatnya mengambil tindakan. Aku akan tunggu Bang Roni pulang, dan memberi pelajaran pada lelaki jahat itu.“Oh jadi kali
“Roni belum pulang kerja ya Say?” Tanya Riya begitu ia datang dan duduk bersamaku di teras rumah.Selalu saja setiap dia datang, yang ditanyakan pasti Bang Roni. Yang dicari pasti Bang Roni. Bahkan datang dengan membawa makanan pun, dia selalu menyisihkan untuk Bang Roni terlebih dulu, baru kami boleh memakannya.Aku kadang tak habis pikir. Riya bilang tak punya perasaan dengan Bang Roni, tapi selalu caper dan seolah minta dikejar-kejar. Tapi saat kemarin aku suruh mereka melanjutkan hubungan dan menikah, dia tak mau. Jadi apa sebenarnya tujuan dia mendekati Bang Roni? Hanya untuk menghancurkan rumah tanggaku dan bersenang-senang?“Belum. Paling nanti dekat mau Maghrib.” Jawabku singkat.“Dia masih sering keluar malam?” “Masihlah seperti biasa.”“Dia bilang sama aku udah nggak. Kemarin pas aku dekat sama dia tuh aku nasehatin, biar di rumah aja. Kalau malam nggak usah ke mana-mana. Dan kamu liat sendiri kan, kemarin waktu masih berhubungan sama aku, di
Sudah beberapa hari, sejak aku memblokir akses WhatsApp dan Facebook Riya di ponsel Bang Roni. Belum ada tanda-tanda kalau Riya protes atau marah. Entah karena dia memang belum menghubungi Bang Roni, atau karena dia sudah tahu, namun tak mau bertanya. Biar saja, setidaknya aku lega karena ia tak bisa lagi menggoda suamiku. Riya masih sesekali menghubungiku lewat chat, namun Cuma sekedar minta dimasakkan sesuatu atau menyuruhku untuk menjaga kedua anaknya.Ponselku berdering saat sedang melipat pakaian. Kulihat di layar, ternyata ibu mertuaku yang menelepon.“Assalamualaikum Ma. Ada apa?” tanyaku begitu mengangkat panggilan telepon.“Roni ke mana Sar?”“Bang Roni masih kerja, belum pulang. Paling nanti sore.” Kataku. “Emang kenapa Ma?”“Tolong sampaikan ke Roni ya. Paman Aryo yang rumahnya di kampung seberang lagi sakit parah. Nanti malam insya Allah kami mau jenguk. Roni suruh siap-siap, dia harus ikut. Biar bisa gantian bawa mobil sama Ayahnya.”