Mayra mendengar keributan di luar tetapi dia lebih fokus kepada rasa sakitnya. Begitu terdengar kegaduhan di luar, Kanaya melepaskan penjepit besi itu dan berlari ke luar kamar. Kesempatan bagi Mayra untuk melarikan diri. Dia melepaskan semua penjepit besi itu dan meringis perih. Untungnya satu tangan luput dari kekejaman penjepit besi milik ibu Jaya itu. Mayra membuka pintu dengan cepat. Masih terdengar suara keributan di luar, tetapi sepertinya area dalam rumah tidak terjamah. Malah cenderung sepi. Sambil setengah berlari, Mayra menuruni anak tangga rumah yang dijadikan tempatnya tadi dikurung. Dia harus bergegas, jangan sampai tertangkap lagi. Mayra berjanji, setelah selamat dari semua ini, dia akan pindah dari kota tempatnya mengais pendapatan. Tidak mengapa kehilangan pekerjaan, asalkan nyawanya selamat. Itu prioritas Mayra saat ini."Mau kemana, Nona Kecil?" Sebuah suara mengejutkan Mayra yang bergegas menuju arah luar rumah. Tanpa memperdulikan suara itu, Mayra tetap berjalan
Bastian Mahendra dan Kanaya Arinda merupakan pasangan suami istri dari hasil perjodohan, tetapi rasa cinta juga menguat seiring dengan bertambahnya usia pernikahan mereka. Kepiawaian Bastian Mahendra dalam berbisnis berbanding lurus dengan kelihaian Kanaya Arinda dalam melihat prospek usaha di masa depan. Sepak terjang pasangan ini sudah tersiar sampai ke seluruh negeri. Pasti ada saja orang yang tidak senang dengan kesuksesan keluarga Mahendra. Beberapa orang bahkan menyewa preman atau penjahat kawakan untuk bisa menganggu keluarga Mahendra."Sial, kita terlambat!" Jaya menggeram kesal ketika rumah yang ditujunya sudah kosong. Hanya ada tanaman hias yang berserakan sebagai tanda adanya bekas perkelahian. "Saya akan menyelidikinya, Tuan!""Pasti mereka membawa ibu!" Jaya memandang seputar halaman dengan seksama. Kosong melompong, hanya hembusan angin saja yang terasa sejuk menerpa wajah Jaya."Tuan, saya menemukan ponsel Nyonya besar. Di dalam juga kosong, Tuan!" kata Andrian menyera
Jaya mengumpat kesal. Ada kemacetan di jalan yang mereka lalui. "Ada kecelakaan di depan, Tuan. Kita tidak bisa memutar arah!" Andrian mengamati jalanan di depannya dan menggeleng perlahan."Kenapa kau tidak monitor jalan yang akan kita lalui?" sergah Jaya kesal. Pertanyaan yang tidak dijawab oleh Andrian, tetapi ketika dia merasakan tatapan menghunjam yang menembus punggungnya, Andrian merubah pikirannya sendiri. Dia harus menjawab Jaya."Tuan Jaya hanya memberi arahan saja tanpa memberikan tujuannya!" Jawaban Andrian yang membuat Jaya semakin kesal. "Siapkan sepeda motor! Aku akan memakai motor!" Perintah dari nada suara yang tidak bisa dibantah dan harus dilaksanakan. Andrian meraih ponselnya dan menghubungi anak buah yang berada di bawahnya untuk menyediakan sepeda motor. "Sepeda motor akan siap dalam sepuluh menit, Tuan. Kita akan ke bawah pohon Akasia dipojok jalan," kata Andrian."Kita? Tidak! Aku sendiri yang akan ke sana. Kau urus saja disini!" Jaya melihat jamnya tidak
"Mas, aku tidak mau tahu! Aku ingin menjauhkan gadis malam itu dari putra kita!" kata Kanaya Arinda melalui jaringan seluler. Dia masih kesal karena untuk kedua kalinya rencana yang sudah disusunnya gagal."Kau biasanya lebih piawai dalam hal seperti ini, Sayang!" jawab Bastian Mahendra di ujung sambungan. Ketenangan seorang Bastian Mahendra memang tidak diragukan lagi. Bahkan dalam keadaan genting pun, Bastian masih tetap dengan ketenangan yang sama."Aku akan menculik gadis itu dan sedikit menyiksanya!" kata Kanaya beberapa saat kemudian."Usul yang bagus! Bagaimana kalau aku tambahkan bumbu sedikit? Agar kisah ini lebih menarik?" Kemudian Kanaya mendengarkan semua rencana suaminya dengan senang. Senyum yang tersungging di bibirnya sudah menjadi pertanda akan hal itu."Lagipula, aku harus melakukan test kesigapan pada Jaya. Sudah lama dia merasakan kebebasan di luar sana!" Di seberang sambungan, Bastian Mahendra tersenyum. Sungguh sangat misterius di balik pribadinya yang ramah."T
Rasanya hari ini seperti mimpi panjang bagi Mayra. Dia mencubit tangannya sendiri agar dia tahu bahwa ini bukanlah mimpi belaka. Kenapa Mayra harus mencubit tangannya? Bukankah jarinya juga sudah merasakan sakit? Sakit yang sekarang juga mendera seluruh tubuhnya."May, ayo aku antar ke hotel!" kata Jaya. Dia tidak marah ketika Mayra menampik uluran tangannya. "Hotel? Kenapa kita harus ke Hotel, Tuan?" Pikiran aneh langsung berkelebat dalam pikiran Mayra. Apakah dalam keadaan seperti ini Jaya juga menginginkan berbagi ranjang dengan Mayra. Tentu saja, May! Pasti itu yang ingin Jaya lakukan. Dengan uang sebesar itu ditambah dengan penyelamatan yang dilakukan Jaya kepadanya, pasti Jaya ingin sebuah imbalan bukan?"Jangan berfikir yang aneh-aneh! Kau harus membersihkan dirimu. Tidak mungkin kau bertemu dengan keluargamu dalam keadaan seperti ini bukan?" Tatapan Jaya yang mengunci manik mata Mayra membuat Mayra jengah. Dia mengalihkan pandangannya dengan melihat keseluruhan badannya. Ben
"Membantu saya mandi, Tuan?" tanya Mayra sedikit terbata. Kenapa tuan Jaya mengatakan hal itu? Membantu Mayra mandi? Apakah itu berarti mereka akan melakukan hal yang lain lagi? Sesuatu yang menjurus ke sana? Tentu saja, Mayra! Pasti itu yang akan dilakukan tuan Jaya! Kenapa kau tiba-tiba menjadi bodoh seperti ini! teriak batin Mayra jauh di dalam sana."Aku hanya ingin membantumu saja. Tidak lebih! Kau bisa pegang kata-kataku!" kata Jaya. Dan selanjutnya tanpa aba-aba lagi, Jaya menggendong Mayra ke kamar mandi.Jaya meletakkan Mayra dengan hati-hati ke atas bangku marmer yang terdapat di area kering. Mayra sendiri hanya bisa tertegun tetapi tidak mengatakan apapun juga. Seolah-olah Mayra terhipnotis oleh perlakuan Jaya."Tuan Jaya. Saya bisa sendiri," ucap Mayra lemah ketika tangan kekar Jaya menyentuh jas yang dikenakan Mayra.Tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Jaya, tangannya tetap bergerak cekatan melepas jas Mayra. Namun, ketika sudah sampai kepada gaunnya yang koy
"Sudah bangun, May?" Suara bariton yang sudah begitu familier menyapu indera pendengaran Mayra. Mayra yang masih mengumpulkan nyawanya sesaat tertegun dan memandang sekelilingnya dengan bingung."Kau masih bersamaku dan ini sudah larut malam, May," kata Jaya menjelaskan dengan senang hati. Bola mata Mayra rasanya semakin membeliak mendengar penjelasan itu. Bisa-bisanya dia tertidur sampai tengah malam!"Ponselku? Dimana ponselku?" tanya Mayra lebih kepada dirinya sendiri. Dia harus menghubungi keluarganya. Jangan sampai sang ibu khawatir dengan keberadaan Mayra."Ini ponselmu!" ujar Jaya. Menyerahkan ponsel Mayra masih dengan senyuman yang pasti akan membuat para gadis di luar sana meleleh."Baterainya sudah aku isi sampai penuh. Hubungi ibumu sekarang, tapi aku rasa beliau bisa mengerti," lanjut Jaya lagi.Tanpa menjawab apa yang dikatakan Jaya, Mayra menerima ponselnya dan langsung menghubungi sang ibu."May, apa kau belum tidur?" sapa Santi pada deringan pertama. Sepertinya Santi
Mayra membersihkan tubuhnya secepat kilat. Dia tidak ingin Jaya masuk lagi ke dalam kamar mandi ketika dia sedang dalam kondisi tidak berbusana."Ayo, kemarilah, May. Kita makan dulu!" kata Jaya begitu Mayra keluar dari Kamar Mandi.Aneka hidangan yang menggugah selera sudah terhidang di atas meja kecil yang terdapat di sudut kamar. Tanpa disadari Mayra mengusap perutnya yang sudah menghasilkan simfoni demo di dalam sana. Mayra ternyata lapar! Dengan semua yang dialaminya sejak tadi siang, kalau Mayra tidak merasa lapar, berarti dia adalah seorang manusia super."Terima kasih, Tuan!" Mayra mengangguk sopan ketika Jaya menarikkan kursi untuknya."Tidak perlu terlalu sopan, kita hanya berdua!" Jaya menekankan lagi, ketika Mayra sudah siap dengan piring di tangannya."Baiklah, Tuan Jaya. Kalau itu keinginan Anda. Saya juga tidak akan sungkan lagi!" jawab Mayra tersenyum.Jaya tersenyum simpul. Melihat sikap Mayra yang santai, dia juga ikut merasa bahagia. Inikah rasanya? Melihat orang ya