Pov BagaskaraAku diam seraya menahan gejolak dalam dada. Beginikah rasanya menunggu sebuah kepastian? Apa ini yang selalu Yasmin rasakan saat aku meminta dia untuk menungguku. Sayang, sungguh maafkan aku yang membuatmu terlalu lama menantikan kejelasan hubungan kita. Aku duduk di samping Yasmin yang masih diam membisu, pandangannya lurus ke depan. Sedikit pun dia tak pernah melirik ke arahku. Dia bukan seperti Yasmin yang kukenal. Yasmin yang selalu bergelayut manja kala bersamaku, bukan justru membatu dan mengabaikan aku. Kepala ini bergerak ke kanan dan ke kiri saat melihat pakaian yang menempel di tubuh Yasmin. Tak ada pakaian mini atau ketat yang dulu membuatku tertantang. Beberapa bulan tak bertemu dan sekarang dia jauh berbeda. Bukan lagi Yasmin yang membuatku tergila-gila.Apa karena tak memiliki uang membuatnya seperti ini? Ah, pasti dia akan kembali seperti dulu jika hidup bersamaku. Ya, pasti. "Sayang, will you marry me?" Kugenggam tangannya tapi ditepis kasar. "Kenapa
Pov BagaskaraEntah dorongan dari mana hingga membuatku semakin mendekat ke arah Yasmin. Kusibak selimut yang menutupi tubuhnya. Wajah ini kian kudekatkan, tinggal beberapa senti hingga hidung kami saling menempel. Dengan cepat kutempelkan bibir ini di tempat yang sama. "Lepas!" Yasmin mendorong tubuhku. "Aku tidak mau menikah dengan Om Bagas. Aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang lain. Sadar Om... Ini tidak benar! Kasihan anak-anak Om."Aku mengusap wajah kasar. Perkataan Yasmin membuat hasratku hilang seketika. Aku duduk di atas ranjang dengan mata lurus ke depan. Wajah Brian dan Andre tiba-tiba menari-nari di pelupuk mata. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran," ucapku seraya mengibaskan tangan. Dengan cepat Yasmin berlari ke pintu lalu menghilang. Beberapa saat aku termenung. Ucapan Yasmin benar-benar mengusik pikiranku. Semenjak bersama Yasmin aku melupakan anak-anak. Mereka memang sudah dewasa tapi tetap saja membutuhkan figur seorang ayah. Namun aku justru memik
Aku berputar-putar di depan cermin, kupindai penampilan dari ujung kepala hingga kaki. Kulot coklat dipadukan dengan kaos berwarna putih tampak cocok menempel di tubuhku. Tak lupa kupoles bedak tipis di wajah. Rambut kubiarkan tergerai begitu saja.Tin ... Tiinn....Suara klakson motor terdengar nyaring di telinga. Segera kusambar tas ransel kecil lalu berlari ke depan. Aku tak mau Rian menunggu terlalu lama. “Helmnya dipakai dulu,Sayang,” ucapnya seraya memasangkan helm berwarna merah di kepalaku.Sudut bibir tertarik ke atas melihat perhatiannya kepadaku. Kami sudah seperti anak sekolah yang sedang kasmaran. O,iya, dia memang masih anak sekolah. Lebih tepatnya sekolah di perguruan tinggi. Bersama Rian membuatku merasa lebih muda. Ini berbanding terbalik saat aku bersama Om Bagaskara.Astagfirullah ....Kenapa aku jadi membanding-bandingkan Rian dan Om Bagas? Tak seharusnya aku berpikir seperti itu."Sudah siap?" tanya Rian sambil menoleh ke arahku. "Sudah." Aku mulai berpegangan
"Kenapa, Sayang? Kok diam begitu?" tanya Rian. Aku hanya tersenyum kaku. Sejujurnya ucapan Rian memang benar adanya. Dan kebenaran itu yang membuat dadaku terasa sesak. Untuk bernapas saja begitu berat. "Satenya, Mas, Mbak," ucap penjual membuatku bernapas lega. Aku tak ingin Rian bertanya terlalu jauh. Aku belum siap untuk menceritakan aib masa lalu. Biarlah semua mengalir seperti air. Kami mulai menikmati sate dengan bumbu kacang. Campuran kecap manis membuat rasa sate kian lezat di lidah. Kriing... Kriing.... Keheningan kami hilang saat ponsel Rian berbunyi nyaring. Kulirik benda pipih menjerit-jerit di atas meja. Sebuah panggilan dari kontak bernama Mom dengan profil cincin pernikahan. Dengan cepat Rian meraih ponsel dan menonaktifkannya. "Kenapa tak diangkat, yang? Bukannya mami kamu yang telepon?" Kulirik Rian yang sedikit salah tingkah. "Tidak penting kok, Sayang." Rian kembali melanjutkan makannya. Aku memilih diam, enggan bertanya lebih dalam. Sejak kenal hingga sekara
"Aduh... Gawat! Semoga Mami gak lihat aku," batin Brian dengan langkah kaki menuju toilet tak jauh dari sana. Dia tinggalkan Yasmin begitu saja. Brian menempelkan tubuh di dinding seraya mengatur napas yang tersengal. Tangan kanannya berada tepat di dada. Tarik napas... Hembuskan... Begitu hingga napasnya mulai normal kembali. "Brian!" Sebuah tepukan membuatnya meloncat. Beruntung kakinya tak sampai menendang tong sampah yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Napas lelaki itu kembali tersengal. "Pa--Papi," ucapnya terbata. Brian menelan ludah melihat Bagaskara sudah berdiri tepat di depannya. Rasa takut dan gugup tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. "Ingin lepas dari Mami tapi justru ketemu Papi. Ah, gawat!" batin Brian kesal. "Kenapa kaget gitu sih? Ini Papi lho, bukan setan." Brian tersenyum kaku menanggapi ucapan Bagaskara. "Kamu sendirian?" tanya Bagaskara. "I--iya, Pi.""Kita makan malam bertiga, yuk. Sama mami."Brian terdiam, bingung harus menjawab apa? Berkumpul
Yasmin berdiri di jalan depan supermarket sambil menunggu taksi yang lewat. Pertemuan dengan Sandra membuat wanita itu lupa jika Brian masih menunggunya di basement. Dia terlalu fokus untuk segera pergi dari sana.“Taksi!” Yasmin melambaikan tangan saat mobil berwarna biru lewat di depannya. Setelah mobil itu berhenti,dengan cepat ia masuk.Taksi mulai melaju meninggalkan Brian yang duduk di atas jok motor sambil menunggu kedatangan Yasmin.Brian kembali menghubungi Yasmin, berharap kali ini sang pujaan hati mau mengangkat teleponnya. "Kamu di mana?" tanya Brian tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Yasmin menepuk jidat teringat Brian yang menunggunya di supermarket. Rasa bersalah tiba-tiba hadir karena meninggalkan Brian. Namun untuk kembali ia enggan. "Maaf, Sayang. Aku lupa, ini di taksi menuju rumah," ucap Yasmin tengah suara bergetar. "Kamu baik-baik saja?" tanya Brian kala mendengar suara Yasmin yang berbeda. "Gak apa-apa, kok. Aku matiin, ya, mau sampai." Yasmin pun mem
"Kenapa diam, Yang?" tanya Yasmin saat melihat Brian duduk termenung di depan televisi yang menyala. "Eh... Itu...." Brian gelagapan. Dia bingung harus menjawab apa? Karena dalam pikirannya hanya permintaan Sandra. "Kenapa? Mikirin permintaanku kemarin? Aku masih menunggu kamu hingga benar-benar siap. Tapi jangan terlalu lama, aku takut keburu jamuran," ucap Yasmin sambil mengerucutkan bibir. Rian tersenyum melihat ekspresi Yasmin yang menggemaskan. Perlahan ia menggeser posisi duduk hingga semakin mendekat ke arah sang kekasih. Dalam hitungan detik bibir kedua insan itu saling bertemu. Yasmin terpaku mendapat serangan mendadak dari putra sulung Sandra. Jantungnya berdetak tak menentu,tubuhnya tiba-tiba memanas. Tak bisa dipungkiri ada hasrat yang memaksa untuk segera dituntaskan.Bukan hanya Yasmin,Brian juga merasakan hal yang sama. Napas lelaki itu semakin memburu dengan keinginan yang berlawanan dengan hati nuraninya. Sebagai manusia normal,Brian menginginkan saat-saat seperti
"Bi,besok sudah minggu. Jangan lupa bawa pacar kamu yang namanya Billa itu. Mami pengen kenal sama calon menantu," ucap Sandra di acara sarapan pagi mereka. Uhuuk... Uhuuk.... Brian tersedak nasi goreng. Rasa panas pun menjalar di tenggorokannya. Ucapan Sandra bagai bom yang menghancurkan hari dan mood Brian. "Pelan-pelan, dong. Baru diminta Mami gitu saja langsung grogi," ledek Andre sambil tertawa cekikikan. "Mami tunggu, ya, Bi." Sandra menoleh ke arah Brian. Lelaki itu menelan ludah dengan susah payah. Air putih yang baru saja ia minum tak bisa mengurangi rasa gugupnya. Lalu dengan terpaksa ia menganggukkan kepala. Saat ini menganggukkan kepala adalah salah satu cara membuat Sandra diam. "Masalah besok dipikir nanti, yang terpenting mami tak lagi bertanya-tanya," ucap Brian dalam hati. Sesaat suasana menjadi hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka. Rendi sibuk menyusun rencana untuk membatalkan permintaan Sandra. Sementara istri Bagaskara memikirkan makan
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se