"Aduh... Gawat! Semoga Mami gak lihat aku," batin Brian dengan langkah kaki menuju toilet tak jauh dari sana. Dia tinggalkan Yasmin begitu saja. Brian menempelkan tubuh di dinding seraya mengatur napas yang tersengal. Tangan kanannya berada tepat di dada. Tarik napas... Hembuskan... Begitu hingga napasnya mulai normal kembali. "Brian!" Sebuah tepukan membuatnya meloncat. Beruntung kakinya tak sampai menendang tong sampah yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Napas lelaki itu kembali tersengal. "Pa--Papi," ucapnya terbata. Brian menelan ludah melihat Bagaskara sudah berdiri tepat di depannya. Rasa takut dan gugup tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. "Ingin lepas dari Mami tapi justru ketemu Papi. Ah, gawat!" batin Brian kesal. "Kenapa kaget gitu sih? Ini Papi lho, bukan setan." Brian tersenyum kaku menanggapi ucapan Bagaskara. "Kamu sendirian?" tanya Bagaskara. "I--iya, Pi.""Kita makan malam bertiga, yuk. Sama mami."Brian terdiam, bingung harus menjawab apa? Berkumpul
Yasmin berdiri di jalan depan supermarket sambil menunggu taksi yang lewat. Pertemuan dengan Sandra membuat wanita itu lupa jika Brian masih menunggunya di basement. Dia terlalu fokus untuk segera pergi dari sana.“Taksi!” Yasmin melambaikan tangan saat mobil berwarna biru lewat di depannya. Setelah mobil itu berhenti,dengan cepat ia masuk.Taksi mulai melaju meninggalkan Brian yang duduk di atas jok motor sambil menunggu kedatangan Yasmin.Brian kembali menghubungi Yasmin, berharap kali ini sang pujaan hati mau mengangkat teleponnya. "Kamu di mana?" tanya Brian tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Yasmin menepuk jidat teringat Brian yang menunggunya di supermarket. Rasa bersalah tiba-tiba hadir karena meninggalkan Brian. Namun untuk kembali ia enggan. "Maaf, Sayang. Aku lupa, ini di taksi menuju rumah," ucap Yasmin tengah suara bergetar. "Kamu baik-baik saja?" tanya Brian kala mendengar suara Yasmin yang berbeda. "Gak apa-apa, kok. Aku matiin, ya, mau sampai." Yasmin pun mem
"Kenapa diam, Yang?" tanya Yasmin saat melihat Brian duduk termenung di depan televisi yang menyala. "Eh... Itu...." Brian gelagapan. Dia bingung harus menjawab apa? Karena dalam pikirannya hanya permintaan Sandra. "Kenapa? Mikirin permintaanku kemarin? Aku masih menunggu kamu hingga benar-benar siap. Tapi jangan terlalu lama, aku takut keburu jamuran," ucap Yasmin sambil mengerucutkan bibir. Rian tersenyum melihat ekspresi Yasmin yang menggemaskan. Perlahan ia menggeser posisi duduk hingga semakin mendekat ke arah sang kekasih. Dalam hitungan detik bibir kedua insan itu saling bertemu. Yasmin terpaku mendapat serangan mendadak dari putra sulung Sandra. Jantungnya berdetak tak menentu,tubuhnya tiba-tiba memanas. Tak bisa dipungkiri ada hasrat yang memaksa untuk segera dituntaskan.Bukan hanya Yasmin,Brian juga merasakan hal yang sama. Napas lelaki itu semakin memburu dengan keinginan yang berlawanan dengan hati nuraninya. Sebagai manusia normal,Brian menginginkan saat-saat seperti
"Bi,besok sudah minggu. Jangan lupa bawa pacar kamu yang namanya Billa itu. Mami pengen kenal sama calon menantu," ucap Sandra di acara sarapan pagi mereka. Uhuuk... Uhuuk.... Brian tersedak nasi goreng. Rasa panas pun menjalar di tenggorokannya. Ucapan Sandra bagai bom yang menghancurkan hari dan mood Brian. "Pelan-pelan, dong. Baru diminta Mami gitu saja langsung grogi," ledek Andre sambil tertawa cekikikan. "Mami tunggu, ya, Bi." Sandra menoleh ke arah Brian. Lelaki itu menelan ludah dengan susah payah. Air putih yang baru saja ia minum tak bisa mengurangi rasa gugupnya. Lalu dengan terpaksa ia menganggukkan kepala. Saat ini menganggukkan kepala adalah salah satu cara membuat Sandra diam. "Masalah besok dipikir nanti, yang terpenting mami tak lagi bertanya-tanya," ucap Brian dalam hati. Sesaat suasana menjadi hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka. Rendi sibuk menyusun rencana untuk membatalkan permintaan Sandra. Sementara istri Bagaskara memikirkan makan
“Brian ....”Suara panggilan membuatku menoleh ke belakang. Mataku melotot dengan mulut terbuka lebar. Seketika jantung ini seakan berhenti berdetak. Aku bahkan tak mampu menelan air liur. Beribu pertanyaan menari-nari dalam kepalaku. Kenapa lelaki ini ada di sini? Di hadapan kami.“Yasmin ...,” panggilnya saat melihatku. Dia tersenyum tapi aku justru menoleh ke arah Rian.“Kenapa kalian bisa bersama?” tanya Gilang sambil menatap kami bergantian.Kalian? Apa yang dia maksud aku dan Rian? Apa mereka berdua saling mengenal? Tunggu, bukankah dia memanggil Brian,bukan Rian? Apa jangan-jangan nama Rian itu Brian?Kepalaku terasa berdenyut,banyak pertanyaan yang membuatku tak bisa berpikir waras. Lebih baik aku dan Rian segera pergi dari sini.Aku senggol Rian yang masih diam membisu. Wajahnya mulai dipenuhi keringat dingin. Senyum yang tadi hadir telah lenyap,hanya tinggal ketegangan yang nampak di wajah tampannya.“Sayang,ayo kita pergi!” Kugenggam tangannya yang terasa dingin. Namun Rian
Pagi telah menyapa,segera aku bangun dari kasur. Mata ini terasa begitu berat karena semalaman aku terus menangis. Bukan hanya kecewa pada Rian,tapi juga pada diri sendiri. Kenapa aku harus mencintai orang yang harusnya kujauhi?Tuhan ....Apakah ini hukuman atas semua dosa dan kesalahanku di masa lalu? Kalau memang iya, tidakkah ini terlalu menyakitkan?Aku buka jendela,sinar mentari menerobos masuk. Hangat sinarnya seakan menyapa diriku ini. Memintaku tersenyum karena mendung tak lagi ada. Namun apa bisa bibir ini melengkung ke atas setelah separuh jiwaku pergi? Kurasa tak akan semudah dulu karena luka yang Rian tancapkan terlalu dalam.Krucuuk... Krucuuk ....Suara cacing dalam perut yang meminta jatah. Pantas saja perutku terasa melilit,dari semalam tak ada secuil makanan yang masuk ke perut. Aku terlalu sibuk mengurusi hati yang hancur menjadi serpihan kecil. Hingga mengabaikan kebutuhan perut.Aku berjalan seraya mengikat rambut yang terurai tak beraturan. Segera kuambil panci d
Aku mulai menyibukkan diri dengan tumpukan pakaian kotor yang ada di dalam keranjang. Tak kubiarkan pikiran ini kosong. Aku tak mau memberi cela Rian masuk ke dalam sana. Namun cukup sulit membiasakan diri tanpa Rian di sini. Meski nomor ponselnya sudah kublokir tapi tetap saja aku selalu mencari tahu kabar tentangnya lewat media sosial.Ternyata begitu sulit menghapus namanya di sanubari. Aku memang selalu terlihat kuat di luar tapi pada kenyataannya aku rapuh. Aku terpuruk tanpa Rian di sisiku.Berulang kali kutekankan pada diri sendiri bahwa aku tak pantas bersanding dengan Rian. Dia bak langit sedang aku tanah yang penuh dengan lumpur. Kami tak sama,jauh berbeda. Namun tetap saja hati tak bisa diajak kompromi meski logika menentangnya.Ya Allah ....Seperti inikah perasaan Sandra dulu? Kalau bisa kuulang waktu,tentu aku ingin kembali ke masa itu. Aku akan pergi agar tak bertemu Om Bagaskara. Agar rasa sesal tak menyiksa hati. Namun sayang, apa yang sudah terjadi tak akan bisa diu
"Hay, pelakor!" Teriakan seseorang membuat langkahku terhenti. Aku kembali membalikkan badan, ingin tahu siapa yang memanggilku pelakor. Jantungku berdetak kencang melihat orang-orang yang ada di luar pagar masuk ke dalam. Aku memejamkan mata saat telur dan tomat melayang ke arahku. Ini serangan mendadak, dan aku tak sempat menghindar. "Rasain kamu pelakor!""Sok baik pakai gratisin mencuci mukena gak taunya ngincar laki orang!""Dasar wanita mur*han! Harusnya kamu pergi dari sini!""Iya, pergi!""Huuu ... memalukan!"Aku mematung, merasakan sesak dalam dada. Ingin aku berteriak memaki, meluapkan amarah. Namun lagi dan lagi mulut ini kelu. Aku memilih diam, membersihkan kulit telur yang menempel di rambut dan pakaianku. Percuma membela diri karena yang dikatakan mereka benar, aku perempuan mur*han yang merusak rumah tangga orang. Tanpa disadari air bah turun begitu saja. Sekuat tenaga aku pura-pura kuat tapi nyatanya tak bisa. Caci dan maki mereka membuatku terluka. "Gak usah sok
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk