“Brian ....”Suara panggilan membuatku menoleh ke belakang. Mataku melotot dengan mulut terbuka lebar. Seketika jantung ini seakan berhenti berdetak. Aku bahkan tak mampu menelan air liur. Beribu pertanyaan menari-nari dalam kepalaku. Kenapa lelaki ini ada di sini? Di hadapan kami.“Yasmin ...,” panggilnya saat melihatku. Dia tersenyum tapi aku justru menoleh ke arah Rian.“Kenapa kalian bisa bersama?” tanya Gilang sambil menatap kami bergantian.Kalian? Apa yang dia maksud aku dan Rian? Apa mereka berdua saling mengenal? Tunggu, bukankah dia memanggil Brian,bukan Rian? Apa jangan-jangan nama Rian itu Brian?Kepalaku terasa berdenyut,banyak pertanyaan yang membuatku tak bisa berpikir waras. Lebih baik aku dan Rian segera pergi dari sini.Aku senggol Rian yang masih diam membisu. Wajahnya mulai dipenuhi keringat dingin. Senyum yang tadi hadir telah lenyap,hanya tinggal ketegangan yang nampak di wajah tampannya.“Sayang,ayo kita pergi!” Kugenggam tangannya yang terasa dingin. Namun Rian
Pagi telah menyapa,segera aku bangun dari kasur. Mata ini terasa begitu berat karena semalaman aku terus menangis. Bukan hanya kecewa pada Rian,tapi juga pada diri sendiri. Kenapa aku harus mencintai orang yang harusnya kujauhi?Tuhan ....Apakah ini hukuman atas semua dosa dan kesalahanku di masa lalu? Kalau memang iya, tidakkah ini terlalu menyakitkan?Aku buka jendela,sinar mentari menerobos masuk. Hangat sinarnya seakan menyapa diriku ini. Memintaku tersenyum karena mendung tak lagi ada. Namun apa bisa bibir ini melengkung ke atas setelah separuh jiwaku pergi? Kurasa tak akan semudah dulu karena luka yang Rian tancapkan terlalu dalam.Krucuuk... Krucuuk ....Suara cacing dalam perut yang meminta jatah. Pantas saja perutku terasa melilit,dari semalam tak ada secuil makanan yang masuk ke perut. Aku terlalu sibuk mengurusi hati yang hancur menjadi serpihan kecil. Hingga mengabaikan kebutuhan perut.Aku berjalan seraya mengikat rambut yang terurai tak beraturan. Segera kuambil panci d
Aku mulai menyibukkan diri dengan tumpukan pakaian kotor yang ada di dalam keranjang. Tak kubiarkan pikiran ini kosong. Aku tak mau memberi cela Rian masuk ke dalam sana. Namun cukup sulit membiasakan diri tanpa Rian di sini. Meski nomor ponselnya sudah kublokir tapi tetap saja aku selalu mencari tahu kabar tentangnya lewat media sosial.Ternyata begitu sulit menghapus namanya di sanubari. Aku memang selalu terlihat kuat di luar tapi pada kenyataannya aku rapuh. Aku terpuruk tanpa Rian di sisiku.Berulang kali kutekankan pada diri sendiri bahwa aku tak pantas bersanding dengan Rian. Dia bak langit sedang aku tanah yang penuh dengan lumpur. Kami tak sama,jauh berbeda. Namun tetap saja hati tak bisa diajak kompromi meski logika menentangnya.Ya Allah ....Seperti inikah perasaan Sandra dulu? Kalau bisa kuulang waktu,tentu aku ingin kembali ke masa itu. Aku akan pergi agar tak bertemu Om Bagaskara. Agar rasa sesal tak menyiksa hati. Namun sayang, apa yang sudah terjadi tak akan bisa diu
"Hay, pelakor!" Teriakan seseorang membuat langkahku terhenti. Aku kembali membalikkan badan, ingin tahu siapa yang memanggilku pelakor. Jantungku berdetak kencang melihat orang-orang yang ada di luar pagar masuk ke dalam. Aku memejamkan mata saat telur dan tomat melayang ke arahku. Ini serangan mendadak, dan aku tak sempat menghindar. "Rasain kamu pelakor!""Sok baik pakai gratisin mencuci mukena gak taunya ngincar laki orang!""Dasar wanita mur*han! Harusnya kamu pergi dari sini!""Iya, pergi!""Huuu ... memalukan!"Aku mematung, merasakan sesak dalam dada. Ingin aku berteriak memaki, meluapkan amarah. Namun lagi dan lagi mulut ini kelu. Aku memilih diam, membersihkan kulit telur yang menempel di rambut dan pakaianku. Percuma membela diri karena yang dikatakan mereka benar, aku perempuan mur*han yang merusak rumah tangga orang. Tanpa disadari air bah turun begitu saja. Sekuat tenaga aku pura-pura kuat tapi nyatanya tak bisa. Caci dan maki mereka membuatku terluka. "Gak usah sok
“Aku di mana?” gumamku saat melihat setiap inci ruangan ini. Sebuah ruang yang dipenuhi dengan berbagai barang tak terpakai. Debu menempel di setiap sudut.“Ya Allah ... kenapa aku bisa berada di sini?” gumamku.Bulir demi bulir menetes dari sudut netra. Aku tak pernah menyangka akan berada di dalam gudang seperti ini. Siapa yang tega melakukan ini padaku? Sandra? Gilang? Atau Om Bagas?Perlahan aku berdiri sambil berpegangan dinding yang catnya mulai mengelupas. Tertatih aku melangkah mendekati pintu. Rasa sakit di kepala membuat langkahku seperti siput. Entah obat apa yang mereka berikan padaku?“Tolong! Tolong!” teriakku sambil menggedor pintu dengan sisa tenaga yang masih ada.Hening,tak ada suara apa lagi jawaban. Rumah ini seperti kosong tak berpenghuni. Lalu kenapa aku bisa sampai di sini? Aku ingat betul, ada seorang lelaki yang memberiku bius dan saat aku bangun sudah berada di gudang ini.“Tolong! Siapa saja tolong keluarkan aku dari sini!” teriakku lagi.Aku luruh di dekat
Sudah dua hari aku dikurung di sini. Siang kepanasan sedang malam kedinginan. Hampir tiap malam aku tak bisa tidur karena beralaskan kardus. Aku juga belum mandi hingga detik ini. Jangankan untuk menguyur tubuh dengan air, buang air kecil saja selalu di awasi di balik pintu. Hidupku ini seperti tahanan dalam penjara bahkan lebih. Siang telah berganti malam, aku bisa tahu dari ventilasi di gudang ini. Namun aku tak tahu ini pukul berapa. Satu jam begitu lama, apa lagi aku hanya duduk menunggu keajaiban datang. Aku pernah berteriak meminta tolong tapi orang-orang itu justru mengikat tangan dan kakiku. Bahkan mulutku juga dilakban. Dan itu yang membuatku memilih tak berteriak.Aku rebahkan tubuh di atas lantai beralaskan kardus. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang. Tak ada selimut apa lagi bantal. Nyamuk selalu datang menemani tidurku. Kreek.... Spontan aku membuka mata kala mendengar suara gesekan di pintu. Dua orang lelaki yang selalu mengawasiku sudah berdiri tepat di sampingku. D
"Sudah kau temukan?" tanya Gilang pada seseorang di seberang sana. "Maaf, Bos. Tak ada petunjuk apa pun. CCTV sedang rusak saat kejadian penculikan," terang orang suruhan Gilang dengan gugup. Dia takut bosnya murka saat perintahnya tak dapat ia kerjakan dengan baik."Cari petunjuk lain, aku ingin Yasmin segera ditemukan!"Belum sempat lelaki itu menjawab tapi sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Gilang. "Kamu ke mana, Yasmin?" tanya Gilang pada diri sendiri. Lelaki yang memakai kaos navy itu berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali ia tendang barang-barang yang menghalangi jalannya. Rasa cemas dan khawatir membuatnya emosi dan menyalahkan orang lain, bahkan benda mati tak luput dari amukannya. Gilang menjatuhkan tubuh di atas ranjang. Lalu memijit kepalanya yang terasa berdenyut. Pikirannya menerka-nerka, siapa gerangan orang di balik penculikan Yasmin. "Apa Mbak Sandra? Tapi tidak, dia tak akan senekat itu meski membenci Yasmin setengah mati. Bahkan dia tak m
Langit semakin gelap, awan mendung kian menutupi sorot sinar sang rembulan. Bintang juga ikut bersembunyi di balik awan. Kini tinggal menunggu air langit jatuh membasahi bumi. Di sebuah kamar, Yasmin beringsut mundur saat Riki melepas kain yang mengikat tangan dan matanya. Wajahnya semakin tegang saat melihat lelaki yang pernah melecehkannya tersenyum menyeringai. "Kamu mau apa, Riki!" teriak Yasmin lantang. "Sayang, jangan terlalu galak? Apa kamu tak merindukan aku?" Riki mendekat, senyum penuh kemenangan tergambar jelas di wajah lelaki itu. "Jangan mendekat! Aku benci denganmu! Pergi!" Yasmin semakin mundur hingga tubuhnya menempel di dinding kamar bernuansa putih itu. "Yasmin ... Yasmin ... Semakin kamu marah, semakin membuatku tergoda," goda Riki membuat Yasmin semakin ketakutan. "Tolong lepaskan aku, Rik. Apa salahku hingga membuat kamu begitu tega padaku?" ucap Yasmin dengan linangan air mata membasahi pipi. "Salah? Kamu jelas bersalah Yasmin. Tidak ingatkah perbuatan yan
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk