Langit semakin gelap, awan mendung kian menutupi sorot sinar sang rembulan. Bintang juga ikut bersembunyi di balik awan. Kini tinggal menunggu air langit jatuh membasahi bumi. Di sebuah kamar, Yasmin beringsut mundur saat Riki melepas kain yang mengikat tangan dan matanya. Wajahnya semakin tegang saat melihat lelaki yang pernah melecehkannya tersenyum menyeringai. "Kamu mau apa, Riki!" teriak Yasmin lantang. "Sayang, jangan terlalu galak? Apa kamu tak merindukan aku?" Riki mendekat, senyum penuh kemenangan tergambar jelas di wajah lelaki itu. "Jangan mendekat! Aku benci denganmu! Pergi!" Yasmin semakin mundur hingga tubuhnya menempel di dinding kamar bernuansa putih itu. "Yasmin ... Yasmin ... Semakin kamu marah, semakin membuatku tergoda," goda Riki membuat Yasmin semakin ketakutan. "Tolong lepaskan aku, Rik. Apa salahku hingga membuat kamu begitu tega padaku?" ucap Yasmin dengan linangan air mata membasahi pipi. "Salah? Kamu jelas bersalah Yasmin. Tidak ingatkah perbuatan yan
Bijaklah dalam membaca. Anak kecil skip. Riki membuka pintu kamar mandi dengan kasar, ia terkejut melihat Yasmin tergeletak tak sadarkan diri. Dengan cepat ia membopong tubuh Yasmin dan merebahkan di atas ranjang. "Dasar bodoh! Apa kau ingin bunuh diri? Harusnya kau senang karena aku telah memilihmu," ujar Riki sambil memasangkan pakaian di tubuh Yasmin. Yasmin diam, dia bahkan tak mendengar setiap kata yang keluar dari mulut lelaki itu. "Kamu semakin cantik tanpa pakaian yang menempel di tubuh indahmu," ucap Riki lagi. Hasrat lelaki itu kembali naik saat melihat tubuh Yasmin."Sial, kau membuatku menginginkannya, tapi aku tak suka jika lawanku masih pingsan. Aku lebih senang jika melihatmu menangis, Yasmin," ucap Riki lalu meninggalkannya Yasmin yang masih tak sadarkan diri di atas ranjang. Tentu setelah berhasil memakaikan kemeja miliknya. Riki membuka pintu kamar tamu lalu masuk dan menjatuhkan tubuh di atas ranjang. "Kenapa kemari? Bukankah ada mainan baru?" tanya seorang w
Kreeek....Pintu kamar Yasmin di dorong dari luar. Lelaki itu masuk sambil tersenyum menyeringai ke arah Yasmin. Dilihatnya Yasmin yang tidur berbalut selimut tebal, hanya nampak kepala dengan rambut menutupi sebagian wajah cantiknya.Riki mendekat lalu menjatuhkan bobot tepat di samping Yasmin. Beberapa menit ia terdiam sambil menatap wajah polos Yasmin tanpa riasan. "Kamu tetap cantik tanpa make up yang menempel di wajahmu. Dan itu yang membuatku jatuh cinta padamu," ucap Riki lirih. Perlahan Riki mengelus rambut Yasmin yang terurai berantakan. Wajah lelaki itu kian mendekat, dalam hitungan detik,bibir Riki menempel tepat di bibir Yasmin. Sentuhan tiba-tiba membuat Yasmin terbangun. Matanya membola melihat lelaki yang ia benci sudah berada di depan matanya. Yasmin memberontak,ia berusaha menjauhkan wajahnya. Namun Riki justru menghimpit tubuhnya. Perlawanan yang ia berikan membuat gejolak dalam diri Riki kian memuncak. Hasrat yang datang menutupi rasa kasihan di hati lelaki itu.
Pov BrianDOR! "Brian!" teriak Om Gilang lalu mendorong tubuhku. Aku tersungkur di lantai dan peluru yang melesat di udara berhenti tepat di dada Om Gilang. Seketika dia ambruk dengan darah segar keluar dan membasahi pakaiannya. Aku syok, kakiku tiba-tiba gemetar. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh ini. "Om Gilang...." Aku mendekat lalu memeluk tubuhnya yang sudah berlumur darah. "Sekarang giliranmu!" ucap Riki sambil menodongkan pistol ke arahku. DOR! DOR! Aku memejamkan mata kala peluru itu melayang di udara. Mungkin ini hari terakhirku menghirup udara di dunia. Ya Tuhan, apa aku akan mati sekarang juga? “Aw ... sakit!” teriak Riki kesakitan.Seketika aku membuka mata,kulihat bajingan itu merintih kesakitan sambil memegangi lengannya yang penuh darah. “Kamu tak kenapa-napa,kan,Bi?” Suara yang sangat familiar terdengar jelas di belakangku. Aku menoleh,lelaki yang sudah membesarkanku itu berdiri di ambang pintu sambil membawa sebuah pistol.“Brian, tidak kenapa-na
Pov Brian“Tolong tunggu di luar,” ucap seorang suster lalu menutup pintu.Aku mondar-mandir di depan ruang IGD. Rasa takut kian besar saat seorang dokter masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa. "Om Gilang tak kenapa-napa, kan, Pi?" "Kita do'akan saja, Bi."Tak berapa lama orang kepercayaan Papi datang sambil membopong Yasmin. Sontak kami berdua berdiri lalu menuju ke arahnya. "Bawa masuk ke ruang IGD!" perintah Papi. Lelaki itu mengangguk lalu masuk ke ruang IGD. Tak berapa lama ia pun kembali keluar. Sepuluh menit kami duduk dengan gelisah. Menunggu dokter atau suster keluar terasa begitu lama. "Keluarga Yasmin?" panggil seorang suster saat pintu dibuka. "Saya pacarnya, Dok." Papi melirikku tapi tak mengatakan sepatah kata pun. Namun nampak jelas ia tak suka dengan ucapanku. Apa mungkin masih ada cinta untuk Yasmin di hatinya. "Silakan masuk." Aku mengangguk lalu masuk ke ruang IGD. Aku duduk sambil menunggu dokter menuliskan resep untuk Yasmin. Untunglah dia hanya demam d
"Yasmin!" teriak seseorang dari luar. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju depan. Entah siapa yang membuat rusuh di depan rumah. Tak tahukah jika aku lelah? Aku sudah bosan dengan semua masalah yang datang silih berganti? Aku hanya ingin hidup tenang, Ya Tuhan.Lagi dan lagi Sandra berdiri di depan rumah. Apa mau wanita itu? Bukankah aku sudah berusaha menjauh dari Brian? "Mau apa lagi kamu?" tanyaku datar. Sebisa mungkin kutahan rasa kesal dan marah yang hadir. "Mau apa?" ucapnya sambil melangkah maju. Mendadak perasaanku tak enak. Aku mundur beberapa langkah saat jarak kami semakin dekat. Semenjak kejadian beberapa hari lalu,aku semakin mudah takut. Bayangan Riki menganiayaku selalu hadir. Hidupku selalu diselimuti perasaan bersalah dan berdosa. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepada Brian dan Gilang. Diri ini terlalu sibuk menata hati. Setelah diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit,belum sekali pun aku bertemu mereka berdua. Aku pulang juga diantar supir,bukan
Beberapa tahun kemudian"Bagaimana, Farel? Kamu menerima perjodohan ini, kan?" Aku masih mematung. Mulut membungkam tak ada satu kata yang mampu keluar. Azizah, putri seorang dokter spesialis jantung. Dia wanita yang dipilih mama dan papa untuk menjadi istriku. Ya, pilihan kedua orang tuaku tapi bukan dari hati ini. "Kamu menerima perjodohan ini, kan?" Mama menatapku kelat. "Maaf, Ma, Pa aku tidak bisa. Aku tidak mencintai Azizah. Tak mungkin aku menjalani biduk rumah tangga jika hati masih terisi nama wania lain."Senyum yang sempat hadir kini lenyap. Hanya kekecewaan yang tergambar di wajah Azizah dan keluarganya. "Farel!"Aku menggeser kursi kemudian melangkah pergi. Kutinggalkan mereka dengan rasa kecewa yang mendalam. Pintu kututup kemudian menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lelah, aku lelah menjadi boneka yang selalu diatur. Bahkan untuk memilih masa depan aku tak mampu. Apakah ini namanya berbakti hingga menghilangkan hak diri sendiri? Aku tatap langit-langit kamar. Baya
"Tangkap dia!" teriak seseorang dari belakang. Dengan cepat aku berlari lalu melompat keluar. Kaki terus kupaksakan berlari. Tak perduli betapa lelah diriku ini. Kabur adalah solusi dari pada diam habis diambuk masa, lalu akhirnya mati dengan gelar pencuri. Memalukan. Masyarakat mudah terprovokasi, tanpa mengetahui kebenaran. Mereka menghukum seseorang hanya karena hasutan. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya mati karena tak bisa membela diri. "Berhenti! Berhenti!" Suara itu semakin dekat.Aku terus berlari, menyelip ke sana kemari. Beberapa kali aku hampir terhuyung lalu jatuh. Beruntung banyak orang di terminal hingga menyulitkan mereka untuk mengejarku. Berdiri di belakang tembok, kuatur napas yang tersengal. Seakan oksigen tak mampu masuk ke paru-paru. Kupindai sekeliling, aman. Aku lolos dari kejaran mereka. Semua karena wanita itu. Awas saja kalau sampai bertemu! Suara cacing meronta meminta haknya. Aku melangkah pelan mencari warung makan. Berkali-kali aku mengamati kea
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se