Pov BrianDOR! "Brian!" teriak Om Gilang lalu mendorong tubuhku. Aku tersungkur di lantai dan peluru yang melesat di udara berhenti tepat di dada Om Gilang. Seketika dia ambruk dengan darah segar keluar dan membasahi pakaiannya. Aku syok, kakiku tiba-tiba gemetar. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh ini. "Om Gilang...." Aku mendekat lalu memeluk tubuhnya yang sudah berlumur darah. "Sekarang giliranmu!" ucap Riki sambil menodongkan pistol ke arahku. DOR! DOR! Aku memejamkan mata kala peluru itu melayang di udara. Mungkin ini hari terakhirku menghirup udara di dunia. Ya Tuhan, apa aku akan mati sekarang juga? “Aw ... sakit!” teriak Riki kesakitan.Seketika aku membuka mata,kulihat bajingan itu merintih kesakitan sambil memegangi lengannya yang penuh darah. “Kamu tak kenapa-napa,kan,Bi?” Suara yang sangat familiar terdengar jelas di belakangku. Aku menoleh,lelaki yang sudah membesarkanku itu berdiri di ambang pintu sambil membawa sebuah pistol.“Brian, tidak kenapa-na
Pov Brian“Tolong tunggu di luar,” ucap seorang suster lalu menutup pintu.Aku mondar-mandir di depan ruang IGD. Rasa takut kian besar saat seorang dokter masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa. "Om Gilang tak kenapa-napa, kan, Pi?" "Kita do'akan saja, Bi."Tak berapa lama orang kepercayaan Papi datang sambil membopong Yasmin. Sontak kami berdua berdiri lalu menuju ke arahnya. "Bawa masuk ke ruang IGD!" perintah Papi. Lelaki itu mengangguk lalu masuk ke ruang IGD. Tak berapa lama ia pun kembali keluar. Sepuluh menit kami duduk dengan gelisah. Menunggu dokter atau suster keluar terasa begitu lama. "Keluarga Yasmin?" panggil seorang suster saat pintu dibuka. "Saya pacarnya, Dok." Papi melirikku tapi tak mengatakan sepatah kata pun. Namun nampak jelas ia tak suka dengan ucapanku. Apa mungkin masih ada cinta untuk Yasmin di hatinya. "Silakan masuk." Aku mengangguk lalu masuk ke ruang IGD. Aku duduk sambil menunggu dokter menuliskan resep untuk Yasmin. Untunglah dia hanya demam d
"Yasmin!" teriak seseorang dari luar. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju depan. Entah siapa yang membuat rusuh di depan rumah. Tak tahukah jika aku lelah? Aku sudah bosan dengan semua masalah yang datang silih berganti? Aku hanya ingin hidup tenang, Ya Tuhan.Lagi dan lagi Sandra berdiri di depan rumah. Apa mau wanita itu? Bukankah aku sudah berusaha menjauh dari Brian? "Mau apa lagi kamu?" tanyaku datar. Sebisa mungkin kutahan rasa kesal dan marah yang hadir. "Mau apa?" ucapnya sambil melangkah maju. Mendadak perasaanku tak enak. Aku mundur beberapa langkah saat jarak kami semakin dekat. Semenjak kejadian beberapa hari lalu,aku semakin mudah takut. Bayangan Riki menganiayaku selalu hadir. Hidupku selalu diselimuti perasaan bersalah dan berdosa. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepada Brian dan Gilang. Diri ini terlalu sibuk menata hati. Setelah diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit,belum sekali pun aku bertemu mereka berdua. Aku pulang juga diantar supir,bukan
Beberapa tahun kemudian"Bagaimana, Farel? Kamu menerima perjodohan ini, kan?" Aku masih mematung. Mulut membungkam tak ada satu kata yang mampu keluar. Azizah, putri seorang dokter spesialis jantung. Dia wanita yang dipilih mama dan papa untuk menjadi istriku. Ya, pilihan kedua orang tuaku tapi bukan dari hati ini. "Kamu menerima perjodohan ini, kan?" Mama menatapku kelat. "Maaf, Ma, Pa aku tidak bisa. Aku tidak mencintai Azizah. Tak mungkin aku menjalani biduk rumah tangga jika hati masih terisi nama wania lain."Senyum yang sempat hadir kini lenyap. Hanya kekecewaan yang tergambar di wajah Azizah dan keluarganya. "Farel!"Aku menggeser kursi kemudian melangkah pergi. Kutinggalkan mereka dengan rasa kecewa yang mendalam. Pintu kututup kemudian menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lelah, aku lelah menjadi boneka yang selalu diatur. Bahkan untuk memilih masa depan aku tak mampu. Apakah ini namanya berbakti hingga menghilangkan hak diri sendiri? Aku tatap langit-langit kamar. Baya
"Tangkap dia!" teriak seseorang dari belakang. Dengan cepat aku berlari lalu melompat keluar. Kaki terus kupaksakan berlari. Tak perduli betapa lelah diriku ini. Kabur adalah solusi dari pada diam habis diambuk masa, lalu akhirnya mati dengan gelar pencuri. Memalukan. Masyarakat mudah terprovokasi, tanpa mengetahui kebenaran. Mereka menghukum seseorang hanya karena hasutan. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya mati karena tak bisa membela diri. "Berhenti! Berhenti!" Suara itu semakin dekat.Aku terus berlari, menyelip ke sana kemari. Beberapa kali aku hampir terhuyung lalu jatuh. Beruntung banyak orang di terminal hingga menyulitkan mereka untuk mengejarku. Berdiri di belakang tembok, kuatur napas yang tersengal. Seakan oksigen tak mampu masuk ke paru-paru. Kupindai sekeliling, aman. Aku lolos dari kejaran mereka. Semua karena wanita itu. Awas saja kalau sampai bertemu! Suara cacing meronta meminta haknya. Aku melangkah pelan mencari warung makan. Berkali-kali aku mengamati kea
Jarum jam seakan diam, waktu seolah tak bergerak. Aku duduk di lobi rumah sakit. Sesekali kutatap orang berlalu lalang, masuk dan pergi silih berganti. Menunggu, sesuatu yang sangat kubenci. Namun justru kulakukan setiap waktu. Ya, menunggu bertemu dengan Yasmin. Hanya itu menunggu yang tak membuat lelah. Tapi membuat rasa sakit kian menusuk sanubari. "Sudah lama, Rel?" Arman keluar lalu berdiri tepat di samping kiriku. Kedatangannya menghapus bayangan Yasmin yang sempat hadir. Sebegitu menyiksa kata rindu itu. "Lumayan bikin pinggang mau patah, Ar."Lelaki itu tertawa lalu membantuku berdiri. Rasa nyeri akibat tinju dan pukulan semakin terasa. Hingga melangkahkan kaki begitu sulit. "Pelan-pelan, Bro," ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu naik ke mobil dengan hati-hati. "Makan dulu atau langsung pulang?" tanyanya sambil melajukan mobil meninggalkan halaman rumah sakit. "Aku gak laper, Ar. Ingin segera merebahkan tubuh. Cepek.""Oke."Jalanan begitu ramai kendaraan berlalu lalang
"Ya ... Yasmin."Wanita itu terkejut melihat keberadaanku. Namun berusaha ia tutupi dengan seulas senyum yang ia paksakan. "Kamu mengenalnya, Rel?" tanya Arman sambil menatapku lalu menatap Yasmin bergantian. Ada yang berdenyut melihat tatapan lelaki itu. Matanya memancarkan perasaan yang begitu dalam. Cinta, dia merasakan hal yang sama, seperti aku. "Dia ....""Saya tidak mengenalnya, Tuan."JLEPAda yang menusuk sanubari, tapi bukan belati. Hanya luka yang tak kunjung pergi. Rasanya bagai mengakar dan semakin kokoh. Aku benci keadaan ini. "Dia Amara, Rel. Wanita sering kuceritakan padamu.""Farel." Aku mengulurkan tangan ke arahnya. Dengan sedikit ragu ia menerimanya. "Amara." Satu kata keluar dari mulutnya. Amara atau Yasmin? Bukankah dia orang yang sama? Tapi kenapa Amara, bukan Yasmin? Aku genggam tangan itu untuk beberapa saat. Genggaman ini masih sama. Bahkan senyum dan suaranya sama persis dengan Yasmin. Aku mengenalnya, tak mungkin aku salah orang. "Maaf, Mas." Dia me
"Kenapa kamu begitu, Amara?" tanyaku lagi. Amara menelan ludah dengan susah payah lalu mundur hingga menempel di wastafel. Wajahnya tegang, terlihat jelas ia sangat ketakutan. "Akan aku jelaskan, Rel." Amara menghela napas lalu melangkah dan duduk di kursi. Aku tatap wajah wanita yang kini duduk di hadapanku. Bibir tipis, alis tebal, hidung bangir dan rambut panjang, dia masih sama seperti dulu. Dia masih Yasminku. Namun kini namanya bukan Yasmin, melainkan Amara. Entah kenapa dia mengganti nama indah itu, aku sendiri tak tahu. Kini saatnya aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang beberapa hari menyiksa diri ini. "Kenapa?" tanyaku lagi. Yasmin menatap lurus ke depan. Tatapan mata penuh luka tergambar jelas di sana. Dia kembali menghela napas, seakan kata itu sulit untuk diucapkan. "Kamu tahu, Rel. Bayangan luka masa lalu selalu menghantuiku. Rasa bersalah terus berlari mengejarku. Setiap kali nama Yasmin disebut, luka itu selalu terbuka. Bahkan semakin membesar. Aku berlari
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk