Yasmin sudah bersiap dengan celana jeans biru muda dan kemeja berwarna putih. Hari ini dia akan berkerja di sebuah restoran cepat saji. Restoran milik teman Cindy. "Akhirnya kerja juga," ucap Yasmin seraya mengikat rambutnya ke belakang. Yasmin tersenyum melihat pantulan diri di cermin. Tak ada hijab yang menempel di kepalanya. Tempat kerja Yasmin tak mewajibkan karyawannya mengenakan hijab. Itu yang membuat Yasmin semakin bahagia. Hijab adalah sesuatu yang menjadi beban baginya. Karena gaya hidup dan penampilan yang bertolak belakang dengan pakaian muslimah itu. Dia tak ingin dikatakan munafik karena memakai hijab sedang kelakuannya masih tak sejalan. Tiin... Tiin.... Suara klakson motor terdengar nyaring di telinga. "Siapa sih yang berisik? Gendang telinga aku bisa pecah. Astaga!" Yasmin menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Suara klakson motor merusak hari bahagianya. Dua pemilik motor yang berhenti di depan rumah Cindy terus membunyikan klakson. Suara dari k
"Stop!" Farel dan Brian melepas tangan Yasmin serempak. Mereka berdua dia tak berani menatap manik bening Yasmin. "Suwit, yang menang antar aku ke tempat kerja." Brian dan Farel mengangguk lalu melakukan perintah Yasmin. Tangan kanan mereka bersembunyi di balik punggung. Dalam hitungan ketiga mereka memperlihatkan tangan kanan masing-masing. Farel membentuk batu sedang Brian membentuk seperti kertas. Dan Brianlah pemenang dalam suwit kali ini. "Aku sama Brian, Rel." "Oke," Farel menatap Brian lekat. "lo, tolong jaga calon istri gue." Brian mencebikkan bibir mendengar ucapan Farel. Farel menyalakan mesin motor vespa kesayangannya. Tak berapa lama lelaki penuh kharisma itu meninggalkan Yasmin dan Brian. "Ayo naik, bisa telat nanti!" ucap Brian seraya menggerakkan kepala mengisyaratkan Yasmin untuk segera naik ke atas motornya. Kendaraan roda dua milik Brian melaju dengan kecepatan sedang. Kali ini mereka tak lagi melewati jalan tikus karena Yasmin sudah mengenakan helm.
Sudah hampir satu bulan Yasmin bekerja di restoran Riki. Rasa khawatir dah curiga saat pertama kali bertemu atasannya telah hilang. Semenjak Yasmin bekerja, Riki tak pernah mendekat, dia hanya memantau Yasmin dari jauh. Namun niat buruk masih ada di pikirannya. Lelaki berkulit sawo matang itu hanya menunggu waktu yang tepat untuk melakukan rencananya.Sayang Yasmin tak menyadari akan hal itu. Derrrtt... Derrttt.... Yasmin berjalan ke toilet untuk mengangkat panggilan telepon. Untung saja restoran sebentar lagi tutup jadi dia bisa mengangkat telepon tanpa terganggu kedatangan pelanggan. "Bila sayang, aku gak bisa jemput. Kamu gak papa kan pulang sendiri?" tanya Brian dari seberang sana. Yasmin mencebikkan bibir mendengar kata sayang yang keluar dari mulut Brian. Sudah berulang kali dia meminta Brian tak memanggil sebutan itu tapi tetap saja Brian kekeh memanggil Yasmin dengan sebutan sayang. Pada aakhirnya Yasmin memilih mengalah. "Entar juga dijemput Farel kok," ucap Yasmin seraya
Di saat situasi terjepit Yasmin kembali teringat pesan Farel. Dia berdoa meminta Illahi Robbi menolongnya dari lelaki serigala seperti Riki. Tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipi putihnya. Seketika rasa menyesal tubuh dalam hatinya. "Kalau Tuhan membantuku, aku janji akan bertobat. Aku janji tak berbuat zina lagi. Aku janji menjadi wanita baik-baik," doa Yasmin dalam hati. Riki berjalan sambil terus memeluk Yasmin. Yasmin mulai pasrah, tubuhnya melemah. Dia diam, tak ada lagi perlawanan darinya. "Akhirnya kamu menyerah, aku tahu kamu juga menginginkan ini, sayang," batin Riki seraya mengendurkan pelukannya. Perlahan Yasmin di dudukan di sofa yang berada di ruangannya. Riki melepas ci*mannya. Melihat Riki sedikit lengah dengan cepat Yasmin mengayunkan kaki ke arah Riki. Satu gerakan tepat mengenai pusaka milik atasannya. Riki meringis kesakitan. Tak membuang kesempatan Yasmin segera berlari keluar. Namun sayang dengan cepat Riki menarik tangan Yasmin hingga dia terjungkal dan
Pov BrianAku melajukan kendaraan roda dua dengan kecepatan tinggi. Perasaan tak enak begitu menyelimuti hati. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. Aku berhenti saat traffic light berwarna merah. Bayang Yasmin kembali menghampiri seakan memintaku memacu kendaraan lebih cepat. Dari pertama mengenal Yasmin hingga sekarang belum pernah aku merasakan kekhawatiran sebesar ini. Apa aku benar-benar mencintai wanita perusak rumah tangga orang tuaku? Bodoh, satu kata yang tepat jika benar perasaanku nyata untuknya. Awal mula ingin membuat Yasmin terluka tapi kenapa justru aku yang bermain hati terlalu dalam. Hingga melihatnya pulang diantar Farel pun aku tak sanggup. Lampu traffic light berubah warna menjadi hijau. Dengan cepat ku putar tuas gas. Motor melaju dengan kencang menuju restoran. Malam disertai mendung menyelimuti langit kota Jakarta malam ini. Angin semilir pertanda hujan akan segera turun. Aku berhenti tepat di sebuah restoran yang sudah tertutup rapat. Lampu dalam pun sudah
Pov Brian"Sayang, kamu ada di mana?" Aku berjalan menuju teras restoran yang gelap, tak ada pencahayaan di sini. Lampu mati atau sengaja dimatikan. "To...." Lagi terdengar samar suara Nabila meminta tolong. Namun seketika suara itu berhenti. Kini hanya suara rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. "Sayang!""Nabila sayang!"Aku mencoba memanggil Nabila tapi tak juga ada jawaban. Aku semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres di sini. Jangan-jangan Nabila.... Segera kktepis prasangka buruk yang tiba-tiba hadir dan mendominasi hati dan pikiran. Aku harus cepat mencari keberadaan Nabila. Aku mencoba membuka pintu depan restoran. Namun sayang terkunci dari dalam. Lalu harus lewat mana? Sedang aku tak tahu seluk beluk restoran ini. Ke sini hanya sebatas di halaman. Tak pernah sekali pun aku masuk ke dalam. Tanganku merogoh benda pipih yang ada dalam saku celana, dengan cepat ku nyalakan senter dari ponsel. Lumayan menerangi gelapnya restoran ini. "Nabila!" "Kamu di mana, sayang?"
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur harap skip!! "Rian!" Teriakku saat Rian jatuh pingsan. Segera aku peluk tubuhnya. Ya Tuhan, lelaki yang aku harapkan justru jatuh tak berdaya. Lalu pada siapa aku meminta tolong? Kalau Engkau Maha Segalanya, tolong aku dan Rian keluar dari sini. Aku tak ingin lagi menyerahkan tubuhku pada lelaki mata keranjang. Apa lagi dia bukan lelaki yang kucintai. "Rian bangun!" Aku goncangkan tubuhnya. Namun tetap saja Rian tak bergerak. Aku harus bagaimana? Ingin berteriak tapi di luar hujan deras. Suaraku tak akan mampu menembus derasnya air hujan. "Kemarilah sayang! Kita mulai permainan yang sempat tertunda." Riki menarik tubuhku. Aku berusaha melawan tapi lagi-lagi tenaga ini kalah jauh darinya. Tangan kekar Riki menarikku, terseok-seok kaki ini melangkah. Ingin berontak tapi tenagaku terlalu lemah. Tamparan dan pukulan Riki membuat tubuhku remuk. Bahkan untuk berjalan terlalu berat. Kini aku hanya bisa pasrah, menunggu sebuah keajaiban yang
Dadaku kian terasa sesak saat menahan tubuh Riki. Aku seperti tertimpa mayat bukan tertimpa lelaki yang ingin menuntaskan hasrat. "Ayo! Tunggu apa lagi!" Suara itu, bukan suara Riki. Itu suara Rian. Apa benar itu Rian? Bukankah tadi dia pingsan dan tak sadarkan diri? "Kamu menikmatinya, Bil?"Segera kubuka mata, sudut bibirku tertarik ke atas saat melihat Rian sudah berdiri sambil membawa tongkat baseball di tangan kanannya. Ya, tongkat itu yang digunakan Riki untuk memukul Rian. Dan kini tongkat itu pula yang membuat atasanku tersungkur tak berdaya di atas tubuhku. "Ayo!"Rian mendorong Riki hingga berpindah dari atas tubuhku. Dengan perlahan Rian membantuku berdiri. Tubuhnya Rian masih sempoyongan tapi dia berusaha kuat menolongku. Tanpa aba-aba kupeluk tubuhnya dengan erat. Aku tak bisa membayangkan jika dia tidak datang tepat waktu. Mungkin nasibku akan sama seperti saat Gilang melecehkanku di Bali. Rian mengendurkan pelukanku. Tubuhnya membungkuk lalu mengambil kemeja milikn
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk