Pov BrianAku melajukan kendaraan roda dua dengan kecepatan tinggi. Perasaan tak enak begitu menyelimuti hati. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. Aku berhenti saat traffic light berwarna merah. Bayang Yasmin kembali menghampiri seakan memintaku memacu kendaraan lebih cepat. Dari pertama mengenal Yasmin hingga sekarang belum pernah aku merasakan kekhawatiran sebesar ini. Apa aku benar-benar mencintai wanita perusak rumah tangga orang tuaku? Bodoh, satu kata yang tepat jika benar perasaanku nyata untuknya. Awal mula ingin membuat Yasmin terluka tapi kenapa justru aku yang bermain hati terlalu dalam. Hingga melihatnya pulang diantar Farel pun aku tak sanggup. Lampu traffic light berubah warna menjadi hijau. Dengan cepat ku putar tuas gas. Motor melaju dengan kencang menuju restoran. Malam disertai mendung menyelimuti langit kota Jakarta malam ini. Angin semilir pertanda hujan akan segera turun. Aku berhenti tepat di sebuah restoran yang sudah tertutup rapat. Lampu dalam pun sudah
Pov Brian"Sayang, kamu ada di mana?" Aku berjalan menuju teras restoran yang gelap, tak ada pencahayaan di sini. Lampu mati atau sengaja dimatikan. "To...." Lagi terdengar samar suara Nabila meminta tolong. Namun seketika suara itu berhenti. Kini hanya suara rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. "Sayang!""Nabila sayang!"Aku mencoba memanggil Nabila tapi tak juga ada jawaban. Aku semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres di sini. Jangan-jangan Nabila.... Segera kktepis prasangka buruk yang tiba-tiba hadir dan mendominasi hati dan pikiran. Aku harus cepat mencari keberadaan Nabila. Aku mencoba membuka pintu depan restoran. Namun sayang terkunci dari dalam. Lalu harus lewat mana? Sedang aku tak tahu seluk beluk restoran ini. Ke sini hanya sebatas di halaman. Tak pernah sekali pun aku masuk ke dalam. Tanganku merogoh benda pipih yang ada dalam saku celana, dengan cepat ku nyalakan senter dari ponsel. Lumayan menerangi gelapnya restoran ini. "Nabila!" "Kamu di mana, sayang?"
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur harap skip!! "Rian!" Teriakku saat Rian jatuh pingsan. Segera aku peluk tubuhnya. Ya Tuhan, lelaki yang aku harapkan justru jatuh tak berdaya. Lalu pada siapa aku meminta tolong? Kalau Engkau Maha Segalanya, tolong aku dan Rian keluar dari sini. Aku tak ingin lagi menyerahkan tubuhku pada lelaki mata keranjang. Apa lagi dia bukan lelaki yang kucintai. "Rian bangun!" Aku goncangkan tubuhnya. Namun tetap saja Rian tak bergerak. Aku harus bagaimana? Ingin berteriak tapi di luar hujan deras. Suaraku tak akan mampu menembus derasnya air hujan. "Kemarilah sayang! Kita mulai permainan yang sempat tertunda." Riki menarik tubuhku. Aku berusaha melawan tapi lagi-lagi tenaga ini kalah jauh darinya. Tangan kekar Riki menarikku, terseok-seok kaki ini melangkah. Ingin berontak tapi tenagaku terlalu lemah. Tamparan dan pukulan Riki membuat tubuhku remuk. Bahkan untuk berjalan terlalu berat. Kini aku hanya bisa pasrah, menunggu sebuah keajaiban yang
Dadaku kian terasa sesak saat menahan tubuh Riki. Aku seperti tertimpa mayat bukan tertimpa lelaki yang ingin menuntaskan hasrat. "Ayo! Tunggu apa lagi!" Suara itu, bukan suara Riki. Itu suara Rian. Apa benar itu Rian? Bukankah tadi dia pingsan dan tak sadarkan diri? "Kamu menikmatinya, Bil?"Segera kubuka mata, sudut bibirku tertarik ke atas saat melihat Rian sudah berdiri sambil membawa tongkat baseball di tangan kanannya. Ya, tongkat itu yang digunakan Riki untuk memukul Rian. Dan kini tongkat itu pula yang membuat atasanku tersungkur tak berdaya di atas tubuhku. "Ayo!"Rian mendorong Riki hingga berpindah dari atas tubuhku. Dengan perlahan Rian membantuku berdiri. Tubuhnya Rian masih sempoyongan tapi dia berusaha kuat menolongku. Tanpa aba-aba kupeluk tubuhnya dengan erat. Aku tak bisa membayangkan jika dia tidak datang tepat waktu. Mungkin nasibku akan sama seperti saat Gilang melecehkanku di Bali. Rian mengendurkan pelukanku. Tubuhnya membungkuk lalu mengambil kemeja milikn
"Hati-hati, jangan ngebut!" ucap Rian tepat di telinga kiriku. Lagi, ada desiran hangat kala kepala Rian disandarkan di pundak sebelah kiri. Aku kembali fokus mengendari motor. Sejenak kutepis perasaan yang tiba-tiba hadir di dalam sanubari. "Masih pusing?" tanyaku seraya melirik Rian dari kaca spion. Sengaja aku bertanya kepadanya. Aku ingin menetralisir jantung yang kian berdetak kencang. Dan semoga Rian tak mendengar debaran di dada ini. Malu jika sampai ia tahu. "Sedikit," jawabnya lirih bagai hembusan angin malam. Dari ekspresi wajahnya bisa terlihat jelas jika rasa sakitnya tidaklah sedikit. Dia hanya pura-pura kuat di depanku. Ah, dasar laki-laki masih saja sok kuat di depan wanita. Apa lagi wanita itu yang ia cinta."Mau diantar ke mana, Ri?" Rian diam, dia seperti tak mendengar ucapanku. Pasti Rian tengah menahan rasa sakit. Duh, kasihan. Motor masih melaju meski aku tak tahu ke mana akan berhenti. Ingin mengantarkan Rian pulang tapi aku tidak tahu alamatnya. Selama ber
Rian mulai menceritakan runtutan peristiwa saat ia berada di hotel hingga akhirnya menemukan aku di restoran. Aku hanya mendengar tanpa menanggapi ucapan mereka. Pikiranku justru melayang awal mula bertemu dengan Cindy setelah sekian lama tak bertemu.Tuhan mempertemukan aku dan Cindy saat aku ingin mengakhiri hidup. Dari situlah aku menumpang hidup di kontrakannya. Karena Cindy pula aku bisa mengenal Om Bagaskara hingga akhirnya hidupku seperti ini. Selama aku menjadi wanita simpanan, Cindy selalu meminta uang atau barang yang ia inginkan padaku. Aku sudah seperti mesin ATM berjalan baginya. Namun setelah aku tak memiliki apa pun, dia tega menjual aku pada Riki.Sahabat macam apa dia? Tak ingatkah dia saat kita tertawa bersama? Apa kenangan itu lenyap begitu saja? Cindy sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Namun dia justru membuang aku seperti sampah yang tak berguna. “Jangan menangis,Bil! Ada aku di sini.” Rian menghapus air mata menggunakan telapak tangannya.Sesaat kami saling
Kriingg... Kriingg.... Aku terperanjat mendengar notifikasi panggilan masuk. Kepalaku sampai berdenyut karena bangun mendadak. Siapa yang meneleponku pagi-pagi begini? Aku bahkan masing enak-enak bermimpi. Aku ambil benda pipih yang ada di atas nakas. Dengan setengah sadar ku geser gambar telepon berwarna hijau ke atas. Lalu ku tempelkan ponsel di telinga kanan. "Ganggu orang tidur! Tau gak sih!" ucapku ketus. Kembali kurebahkan tubuh di atas kasur. Mata ini terasa berat. Rasa kantuk tak jua hilang. Maklum saja, aku baru memejamkan mata pukul dua dini hari. Masih terbayang lelahnya. Dan kini sudah dibangunkan oleh panggilan telepon entah dari siapa? "Aku sudah di luar, sayang. Buka pintunya!" Suara Rian terdengar dari sambungan telepon. Aku menghembuskan nafas kasar. Pagi-pagi anak itu sudah ada di depan kamar. Apa dia tidak capek? Jangan-jangan justru ia tak tidur, atau mungkin menginap di sini? Kejadian semalam saja sudah menguras tenaga. Butuh tidur lebih lama agar energi te
Aku duduk di kursi yang ada di teras. Dengan cepat tanganku membuka koper dan tas. Kuperiksa semua barang yang ada di dalamnya. Pakaian, dokumen penting seperti ijazah dan lainnya. Semua ada, tak ada satu barang yang terlewat. "Ada yang kurang?" tanya Farel yang sudah berdiri di sampingku. Aku menggelengkan kepala saat mata kami saling bertemu. "Kok dia tahu kalau kita mau mengambil barang-barang kamu, Bil?" tanya Rian seraya menjatuhkan bobot di kursi sebelahku. Lagi dan lagi aku hanya menggelengkan kepala. Sesaat kami saling diam. Aku mulai menerka-nerka runtutan peristiwa dari mulai aku menumpang tinggal di sini sampai kejadian mengerikan itu terjadi. Semua sudah direncanakan dengan baik. Aku bahkan tak sadar jika Cindy merencanakan hal buruk padaku. "Jangan-jangan dia kabur? Riki pasti sudah memberi kabar kepada Cindy.""Kamu benar, Ri. Cindy takut Yasmin melaporkan dia ke kantor polisi. Dan sebelum itu terjadi, Cindy sudah kabur duluan."Rian dan Farel menebak-nebak di balik
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk