Caine berjalan keluar dari kamar Elian, membawa nampan berisi puding mangga yang diberikan Elian untuknya. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang mengikat kakinya. Di luar, Bintang bertebaran menghias langit malam, tetapi pikirannya jauh lebih kelam. Meskipun Elian terlihat tenang, Caine tahu bahwa situasi ini jauh dari kata selesai. Ada sesuatu yang tak beres, dan dia harus bersikap baik di depan Azrael, menunjukkan bahwa ia masih loyal, meskipun hatinya kini mulai goyah.
Namun, saat langkahnya semakin menjauh dari kamar Elian, Caine teringat kembali masa-masa sulit yang membawanya ke titik ini. Keluarganya terjerat hutang, dan kehidupan mereka hampir hancur karena kegagalan bisnis yang tak terhindarkan. Ayahnya, berusaha keras untuk melunasi hutang-hutang tersebut, tetapi semuanya sia-sia. Dalam keputusasaannya, Azrael datang menawarkan jalan keluar, tapi dengan harga yang sangat mahal. "Jika kau ingin keluargamu selamat, kau harus bekerja untukCahaya matahari pagi menembus tirai jendela besar di kamar Elian, memantulkan rona keemasan di lantai marmer yang dingin. Udara terasa segar, namun suasana di dalam kamar terasa sunyi dan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Ethan dengan hati-hati mengganti perban di punggung Elian, tangannya bergerak terampil meski ada semburat kekhawatiran di matanya. "Apakah masih terasa sakit, Tuan Muda?" tanya Ethan dengan suara lembutnya. Elian, yang duduk membelakangi Ethan, menggeleng pelan. Rambut hitamnya yang jatuh sedikit menutupi wajah pucatnya. "Aku baik-baik saja, Ethan." jawabnya singkat, meskipun ekspresinya jelas mencerminkan rasa sakit. Ethan menyelesaikan tugasnya dengan sigap, merapikan perban dan memastikan semuanya terpasang sempurna. Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua. Tok... tok... tok... "Masuk," ujar Elian tanpa menoleh. Pintu kamar t
Pintu kamar Elian tertutup pelan di belakang Azrael dan Caine. Langkah kaki mereka menggema pelan di sepanjang koridor panjang yang dingin. Azrael berjalan santai dengan tangan di belakang punggungnya, sementara Caine mengikuti setengah langkah di belakang, menjaga jarak yang sopan namun tidak terlalu dekat. Suasana di antara mereka terasa sunyi, namun ketegangan samar menggantung di udara. Setelah beberapa saat berjalan tanpa suara, Azrael akhirnya berbicara, memecah keheningan. "Bagaimana menurutmu Elian?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya lembut, hampir kasual, tetapi dengan nada yang menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Ia tidak menoleh, hanya terus memandang lurus ke depan. Caine melirik sekilas ke arah Azrael sebelum menjawab hati-hati, "Saya belum bisa memberi tanggapan, Tuan." Azrael meliriknya dengan sudut matanya, seulas senyum samar menghiasi wajahnya. "Hmm... Aku rasa dia sedikit berubah. Dia menjadi lebih... sulit dipahami." Cai
Ruangan kerja Lucien memancarkan kehangatan yang kontras dengan langit kelabu di luar jendela besar. Meja kayu besar di depannya dipenuhi dokumen dan beberapa buku yang tertata rapi. Dinding ruangan dihiasi lukisan keluarga Silvercrest, memberikan sentuhan elegan namun penuh kehangatan. Lucien duduk di balik meja kerjanya dengan postur yang santai, tetapi tatapan matanya tetap memancarkan wibawa seorang kepala keluarga. Ia tengah memeriksa dokumen penting ketika suara ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. Tok… Tok… Tok… “Masuk,” ucap Lucien, menutup dokumen di tangannya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Azrael yang melangkah masuk dengan tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menciptakan kesan ramah meski sorot matanya sulit diterjemahkan. Ia membawa aura misterius yang selalu menyertainya, sesuatu yang membuat orang lain merasa ingin tahu namun waspada. Mata Lucien mengamati adiknya sesaat lebih lam, mencari tanda-tanda di bal
Hari itu, awan kelabu menggantung rendah di langit, menyelimuti kediaman Silvercrest dengan bayangan samar. Hembusan angin dingin membawa aroma tanah basah, menambah kesan tenang. Di halaman utama yang luas, sebuah kereta kuda hitam berornamen perak berhenti dengan anggun. Keberadaan kereta itu menandai akhir dari kunjungan seseorang yang telah membawa kehadiran penuh teka-teki ke dalam keluarga Silvercrest. Azrael, dengan jubah gelap khasnya, berdiri di dekat kereta. Tubuhnya tegak, matanya tajam, namun wajahnya menampilkan senyuman yang sulit diartikan. Di sekitarnya, keluarga Silvercrest berkumpul untuk melepasnya dengan kehangatan yang tulus. Suasana ini terasa seperti momen kekeluargaan yang biasa, namun di balik senyuman dan sapaan sopan, tersembunyi lapisan emosi dan motif yang lebih dalam. Lucien maju selangkah, menatap adiknya dengan senyum kecil yang tulus. “Azrael, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk berkunjung kesini. Aku harap kau tidak merasa b
Cahaya keemasan matahari sore menembus jendela besar di perpustakaan keluarga Silvercrest. Debu-debu halus melayang-layang di udara, seperti menari dalam diam. Elian duduk di kursi berlapis kain beludru biru tua di dekat jendela, tangannya memegang sebuah buku tua dengan sampul berwarna cokelat pudar. Angin sore yang lembut menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Langit di luar perlahan berubah warna, dari jingga keungu-unguan, menandakan senja yang hampir berakhir. Caine berdiri tegap di luar pintu perpustakaan, setia menjaga. Ethan, yang biasanya menemani Elian, sedang sibuk dengan urusan lain, meninggalkan suasana hening di ruangan yang penuh rak-rak tinggi berisi buku-buku berharga. Elian menghela napas panjang, matanya melayang ke langit yang mulai menggelap. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesunyian ini, meskipun hatinya terasa berat. Buku yang ada di tangannya tidak lagi menarik perhatiannya. Se
Cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela perpustakaan, memantulkan bayangan samar pada rak-rak buku yang menjulai tinggi. Aroma buku tua bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Elian duduk terbungkus selimut, tubuhnya sedikit gemetar, meski napasnya perlahan mulai teratur. Caine, yang setia di sisinya, memandang tuan mudanya dengan tatapan penuh perhatian. “Tuan Muda, apakah Anda merasa lebih baik?” tanya Caine dengan lembut, suaranya seperti angin yang membawa ketenangan. Elian mengangguk lemah, mencoba menguasai dirinya. “Aku hanya butuh waktu,” jawab Elian pelan, hampir seperti bisikan. Namun, matanya yang biasanya tenang masih menyiratkan bayangan ketakutan. Caine mengangguk memahami. Dengan hati-hati, ia menuntun Elian untuk kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya. “Duduklah di sini, Tuan Muda. Saya akan menyalakan sedikit cahaya agar ruangan ini tidak terlalu gelap.” Elian tidak berkata apa-apa, hanya memperhatikan
Pagi menyapa kediaman keluarga Silvercrest dengan sinar matahari yang hangat dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga dari taman keluarga. Elian membuka matanya perlahan, mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Ia menarik napas panjang, merasakan energi pagi yang segar mengalir ke tubuhnya. Hari ini, ia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Elian turun dari tempat tidur, melangkah ke arah lemari, dan memilih pakaian yang lebih sederhana – sebuah kemeja putih bersih dengan celana panjang cokelat muda yang nyaman. Tidak ada mantel atau ornamen mewah seperti biasanya. Ia menginginkan kebebasan, sesuatu yang jarang ia rasakan sebagai anggota keluarga Silvercrest. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin, ia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana hari ini akan berbeda. Saat ia selesai berpakaian, pintu kamarnya diketuk. Ethan masuk dengan senyum khasnya, membawa nampan berisi sarapan ringan. “Tuan Muda, saya membawakan teh
Hari semakin siang, dan sinar matahari yang terik menambah intensitas suasana di arena latihan keluarga Silvercrest. Suara dentingan logam dan langkah kaki prajurit yang sebelumnya berlatih mulai mereda. Semua perhatian kini tertuju pada dua sosok yang berdiri berhadapan di tengah arena: Ronan dan Caine. Ketegangan terasa seperti udara panas yang menguar, membuat suasana semakin mendidih. Ronan, dengan tubuhnya yang kokoh dan mata yang penuh percaya diri, berdiri di tengah arena. Ia memutar pedang kayu di tangannya, memandang Caine dengan senyum menantang. “Caine, kau selalu punya mulut yang tajam. Sekarang buktikan dengan pedangmu,” ujarnya. Caine, yang lebih tenang dan penuh perhitungan, mengangkat pedangnya sambil tersenyum jahil. “Tentu, Tuan Ronan. Saya akan berusaha sebaik mungkin agar tidak membuat Anda kecewa.” “Kita lihat saja siapa yang lebih baik,” balas Ronan sambil mengambil posisi bertarung. Elian mencoba menyela, suaranya terden
Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D
Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam
Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj
Darah mengering di pahanya, meninggalkan bekas lengket dan dingin. Elian menggeliat pelan, mencoba duduk dengan menyandarkan tubuh pada dinding batu yang kasar. Udara di ruangan itu begitu lembap dan pengap, membuat paru-parunya terasa sempit setiap kali ia menarik napas. Rasa nyeri di dada kadang datang dan pergi seperti tamu tak diundang. Tapi untuk saat ini, ia masih bisa menahannya. Rasa sakit di pahanyalah yang justru lebih menyiksa. Luka yang menganga itu belum tertutup, dan setiap kali ia bergerak sedikit saja, denyutnya seperti ribuan jarum menusuk bersamaan. Terbatuk. Napasnya pendek dan terputus. Ada rasa logam yang menempel di lidahnya, darah. Ia tahu tubuhnya sedang melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Tapi satu-satunya keberuntungannya, racun itu bekerja perlahan. Masih ada waktu… meski ia tak tahu seberapa lama. "Bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini…" pikirnya sambil mengamati sekeliling. Tak ada jendela, hanya pintu be
Rasa sakit itu seperti api yang menjalar. Dimulai dari luka di paha kirinya lalu menyebar cepat, membakar syaraf, merambat naik ke perut, punggung, dan menjalari tulang belakang. Rasanya seperti daging yang mengelupas pelan setiap kali ia bernapas. Elian menggigit bibirnya sampai berdarah. Tangannya yang kini telah bebas setelah berjam-jam menggerogoti tali dengan luka yang menganga terkulai lemah di lantai. Ia tidak lagi bisa duduk, tidak bisa merangkak. Ia hanya merebahkan tubuhnya di lantai kotor, tubuhnya bergetar hebat, seperti seseorang yang sedang meregang nyawa dalam diam. Nafasnya putus-putus. Setiap tarikan udara bagai bara yang menyambar paru-paru. Kegelapan menyelimutinya begitu pekat, seolah matanya tak lagi berfungsi. Bau darah kering, tanah lembap, dan sesuatu yang busuk menggantung di udara. Tidak ada suara selain detak jantungnya sendiri dan sesekali, tetesan air dari langit-langit yang jatuh ke genangan tak kasatmata di lantai. Langit-langit pen
Hening. Elian duduk di kegelapan yang begitu pekat hingga matanya tak lagi bisa membedakan apakah ia sedang terpejam atau tidak. Satu-satunya yang bisa ia dengar adalah suara napasnya sendiri, tersengal, terputus-putus, seakan tubuhnya menolak udara. Ia mencoba menenangkan dirinya, menarik napas perlahan melalui hidung, lalu menghembuskannya dengan lirih. Tapi setiap kali ia mencoba, rasa sakit dari dada dan pergelangan tangannya membuat napas itu terganggu. Tangannya masih terikat erat dan kasar. Sesekali ia merasakan cairan hangat merembes di pergelangan, mungkin darah. Tapi ia bahkan tak peduli. Entah sudah berapa lama sejak Azrael terakhir datang. Beberapa jam? Sehari? Elian tak tahu. Di tempat ini, waktu tidak berjalan seperti biasanya. Tidak ada siang, tidak ada malam. Hanya keabadian dalam kesakitan. Haruskah ia menghela napas lega karena Azrael belum kembali? Tidak. Justru sebaliknya. Ketidakhadiran Azrael adalah ta
Langkah kaki Ethan menggema cepat di lorong kediaman Silvercrest. Nafasnya pendek, tubuhnya tegang, dan matanya terus mencari satu sosok Caine. Elian menghilang. Ethan menolak mempercayai itu pada awalnya, tapi kenyataannya terlalu jelas. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada suara, tidak ada jejak kaki menuju keluar. Ini bukan pelarian. Ini penculikan yang rapi terencana. Ia sampai di depan kamar Caine dan mengetuk keras. “Caine! Cepat buka! Ini penting!” Butuh beberapa detik sebelum pintu dibuka. Caine muncul dengan mata sedikit sembab, rambut acak-acakan. “Ethan? Ada apa?” Suara Ethan gemetar. “Elian... dia menghilang.” Caine langsung membeku. Seolah tubuhnya tersambar petir. “Apa maksudmu menghilang?” “Kamarnya kosong. Jendela terbuka. Ada sihir, tapi sangat halus. Seseorang membawanya... dan dia tidak melawan. Sepertinya tidak sadarkan diri.” Tatapan Caine kosong, wajahnya seputih kertas. Lalu amara
Byurrr. Air dingin menghantam kepala Elian dan langsung menyusup ke seluruh tubuhnya. Aliran itu begitu tiba-tiba, menusuk kulit dan tulangnya seperti sembilu, membuat tubuhnya menggigil hebat. Elian terbatuk keras, nyaris tersedak oleh air yang mengucur deras ke wajah dan lehernya. Matanya terbuka dengan paksa, pandangannya buram oleh sisa air. Detik pertama, yang ia rasakan hanya pusing, tubuh yang berat, dan nyeri di setiap persendiannya. Pandangannya mulai fokus perlahan. Yang pertama ia lihat adalah… kegelapan. Dinding-dinding batu yang lembap mengelilinginya, retak-retak dan berlumut. Di atasnya, lampu kristal kecil menggantung redup, melemparkan cahaya kekuningan yang gemetar, seolah ragu untuk menyinari tempat ini. Udara di sekelilingnya dingin dan berbau apek perpaduan antara darah kering, logam, dan jamur tua. Ruangan ini… asing. Sunyi. Tak ada jendela, hanya tembok batu dan lantai yang dipenuhi goresan samar bekas lingkaran sihir yang telah m
Malam mulai merayap pelan, membawa serta udara dingin dan bayangan panjang di lorong-lorong kediaman Silvercrest. Lentera-lentera mulai dinyalakan, menyebarkan cahaya kekuningan yang temaram. Di antara pelayan yang lalu lalang, Ethan berjalan cepat, menyusuri koridor batu yang mulai sepi. Di tangannya ada nampan kecil berisi selembar catatan dari kepala keluarga Silvercrest. Hari ini Elian diharuskan hadir dalam makan malam keluarga. Dengan langkah ringan tapi hati-hati, Ethan sampai di depan pintu kamar tuannya. Ia mengetuk pelan, “Tuan muda, waktunya makan malam. Tuan Lucien ingin Anda hadir.” Ia sempat menunduk sebentar, mendengarkan. Biasanya, Elian menjawab walau hanya dengan dengusan pelan atau ucapan singkat dari balik pintu. Tapi kali ini… tidak ada. Dahi Ethan berkerut. Ia menempelkan telinga ke pintu, mencoba menangkap suara gerakan, desahan napas, apa pun. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan. Ia menunggu beberapa detik, lalu ke