Kamar Elian dipenuhi cahaya temaram dari lilin-lilin kecil yang berjejer di meja dekat jendela. Tirai berwarna kelabu tua bergoyang lembut, membiarkan angin malam yang dingin menyelinap masuk. Aroma kayu manis samar-samar tercium di udara, menambah kesan hangat namun penuh ketegasan di ruangan itu.
Pintu kamar berderit pelan, membuka jalan bagi sosok bertudung hitam yang melangkah tanpa suara. Caine berdiri di ambang pintu, menatap tajam menangkap bayangan Elian yang tengah duduk di tepi tempat tidurnya. Cahaya lilin memantulkan kilauan merah di mata Elian, memberikan kesan seperti bara api yang bersembunyi di balik ketenangan. "Kau datang," ucap Elian dengan suara lembut, namun penuh kepastian. Caine melepas tudungnya, memperlihatkan wajah yang tegas dengan luka samar di pipinya. Matanya yang kelam memancarkan kehati-hatian. "Aku tidak pernah berjanji untuk datang," jawab Caine, suaranya dalam dan sedikit serak. Namun, langkahnya maju mendekaCaine berjalan keluar dari kamar Elian, membawa nampan berisi puding mangga yang diberikan Elian untuknya. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang mengikat kakinya. Di luar, Bintang bertebaran menghias langit malam, tetapi pikirannya jauh lebih kelam. Meskipun Elian terlihat tenang, Caine tahu bahwa situasi ini jauh dari kata selesai. Ada sesuatu yang tak beres, dan dia harus bersikap baik di depan Azrael, menunjukkan bahwa ia masih loyal, meskipun hatinya kini mulai goyah. Namun, saat langkahnya semakin menjauh dari kamar Elian, Caine teringat kembali masa-masa sulit yang membawanya ke titik ini. Keluarganya terjerat hutang, dan kehidupan mereka hampir hancur karena kegagalan bisnis yang tak terhindarkan. Ayahnya, berusaha keras untuk melunasi hutang-hutang tersebut, tetapi semuanya sia-sia. Dalam keputusasaannya, Azrael datang menawarkan jalan keluar, tapi dengan harga yang sangat mahal. "Jika kau ingin keluargamu selamat, kau harus bekerja untuk
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela besar di kamar Elian, memantulkan rona keemasan di lantai marmer yang dingin. Udara terasa segar, namun suasana di dalam kamar terasa sunyi dan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Ethan dengan hati-hati mengganti perban di punggung Elian, tangannya bergerak terampil meski ada semburat kekhawatiran di matanya. "Apakah masih terasa sakit, Tuan Muda?" tanya Ethan dengan suara lembutnya. Elian, yang duduk membelakangi Ethan, menggeleng pelan. Rambut hitamnya yang jatuh sedikit menutupi wajah pucatnya. "Aku baik-baik saja, Ethan." jawabnya singkat, meskipun ekspresinya jelas mencerminkan rasa sakit. Ethan menyelesaikan tugasnya dengan sigap, merapikan perban dan memastikan semuanya terpasang sempurna. Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua. Tok... tok... tok... "Masuk," ujar Elian tanpa menoleh. Pintu kamar t
Pintu kamar Elian tertutup pelan di belakang Azrael dan Caine. Langkah kaki mereka menggema pelan di sepanjang koridor panjang yang dingin. Azrael berjalan santai dengan tangan di belakang punggungnya, sementara Caine mengikuti setengah langkah di belakang, menjaga jarak yang sopan namun tidak terlalu dekat. Suasana di antara mereka terasa sunyi, namun ketegangan samar menggantung di udara. Setelah beberapa saat berjalan tanpa suara, Azrael akhirnya berbicara, memecah keheningan. "Bagaimana menurutmu Elian?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya lembut, hampir kasual, tetapi dengan nada yang menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Ia tidak menoleh, hanya terus memandang lurus ke depan. Caine melirik sekilas ke arah Azrael sebelum menjawab hati-hati, "Saya belum bisa memberi tanggapan, Tuan." Azrael meliriknya dengan sudut matanya, seulas senyum samar menghiasi wajahnya. "Hmm... Aku rasa dia sedikit berubah. Dia menjadi lebih... sulit dipahami." Cai
Ruangan kerja Lucien memancarkan kehangatan yang kontras dengan langit kelabu di luar jendela besar. Meja kayu besar di depannya dipenuhi dokumen dan beberapa buku yang tertata rapi. Dinding ruangan dihiasi lukisan keluarga Silvercrest, memberikan sentuhan elegan namun penuh kehangatan. Lucien duduk di balik meja kerjanya dengan postur yang santai, tetapi tatapan matanya tetap memancarkan wibawa seorang kepala keluarga. Ia tengah memeriksa dokumen penting ketika suara ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. Tok… Tok… Tok… “Masuk,” ucap Lucien, menutup dokumen di tangannya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Azrael yang melangkah masuk dengan tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menciptakan kesan ramah meski sorot matanya sulit diterjemahkan. Ia membawa aura misterius yang selalu menyertainya, sesuatu yang membuat orang lain merasa ingin tahu namun waspada. Mata Lucien mengamati adiknya sesaat lebih lam, mencari tanda-tanda di bal
Hari itu, awan kelabu menggantung rendah di langit, menyelimuti kediaman Silvercrest dengan bayangan samar. Hembusan angin dingin membawa aroma tanah basah, menambah kesan tenang. Di halaman utama yang luas, sebuah kereta kuda hitam berornamen perak berhenti dengan anggun. Keberadaan kereta itu menandai akhir dari kunjungan seseorang yang telah membawa kehadiran penuh teka-teki ke dalam keluarga Silvercrest. Azrael, dengan jubah gelap khasnya, berdiri di dekat kereta. Tubuhnya tegak, matanya tajam, namun wajahnya menampilkan senyuman yang sulit diartikan. Di sekitarnya, keluarga Silvercrest berkumpul untuk melepasnya dengan kehangatan yang tulus. Suasana ini terasa seperti momen kekeluargaan yang biasa, namun di balik senyuman dan sapaan sopan, tersembunyi lapisan emosi dan motif yang lebih dalam. Lucien maju selangkah, menatap adiknya dengan senyum kecil yang tulus. “Azrael, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk berkunjung kesini. Aku harap kau tidak merasa b
Cahaya keemasan matahari sore menembus jendela besar di perpustakaan keluarga Silvercrest. Debu-debu halus melayang-layang di udara, seperti menari dalam diam. Elian duduk di kursi berlapis kain beludru biru tua di dekat jendela, tangannya memegang sebuah buku tua dengan sampul berwarna cokelat pudar. Angin sore yang lembut menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Langit di luar perlahan berubah warna, dari jingga keungu-unguan, menandakan senja yang hampir berakhir. Caine berdiri tegap di luar pintu perpustakaan, setia menjaga. Ethan, yang biasanya menemani Elian, sedang sibuk dengan urusan lain, meninggalkan suasana hening di ruangan yang penuh rak-rak tinggi berisi buku-buku berharga. Elian menghela napas panjang, matanya melayang ke langit yang mulai menggelap. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesunyian ini, meskipun hatinya terasa berat. Buku yang ada di tangannya tidak lagi menarik perhatiannya. Se
Cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela perpustakaan, memantulkan bayangan samar pada rak-rak buku yang menjulai tinggi. Aroma buku tua bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Elian duduk terbungkus selimut, tubuhnya sedikit gemetar, meski napasnya perlahan mulai teratur. Caine, yang setia di sisinya, memandang tuan mudanya dengan tatapan penuh perhatian. “Tuan Muda, apakah Anda merasa lebih baik?” tanya Caine dengan lembut, suaranya seperti angin yang membawa ketenangan. Elian mengangguk lemah, mencoba menguasai dirinya. “Aku hanya butuh waktu,” jawab Elian pelan, hampir seperti bisikan. Namun, matanya yang biasanya tenang masih menyiratkan bayangan ketakutan. Caine mengangguk memahami. Dengan hati-hati, ia menuntun Elian untuk kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya. “Duduklah di sini, Tuan Muda. Saya akan menyalakan sedikit cahaya agar ruangan ini tidak terlalu gelap.” Elian tidak berkata apa-apa, hanya memperhatikan
Pagi menyapa kediaman keluarga Silvercrest dengan sinar matahari yang hangat dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga dari taman keluarga. Elian membuka matanya perlahan, mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Ia menarik napas panjang, merasakan energi pagi yang segar mengalir ke tubuhnya. Hari ini, ia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Elian turun dari tempat tidur, melangkah ke arah lemari, dan memilih pakaian yang lebih sederhana – sebuah kemeja putih bersih dengan celana panjang cokelat muda yang nyaman. Tidak ada mantel atau ornamen mewah seperti biasanya. Ia menginginkan kebebasan, sesuatu yang jarang ia rasakan sebagai anggota keluarga Silvercrest. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin, ia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana hari ini akan berbeda. Saat ia selesai berpakaian, pintu kamarnya diketuk. Ethan masuk dengan senyum khasnya, membawa nampan berisi sarapan ringan. “Tuan Muda, saya membawakan teh
Tiga hari telah berlalu, namun tak ada tanda-tanda Caelum menemui keluarga Silvercrest. Entah dia masih bingung atau ada halangan lain yang menghambatnya. Elian duduk di taman rumahnya, menyeruput teh hangat dengan tenang. Mata merahnya menatap kosong ke arah langit yang cerah, sementara angin sepoi-sepoi menerpa rambut hitamnya. "Caine, apakah ada pergerakan dari Azrael yang kau ketahui?" tanya Elian tanpa menoleh. Caine, yang berdiri tak jauh darinya, melangkah mendekat lalu mengecilkan suaranya, "Saat ini tidak ada, Tuan. Saya dengar dia selalu berada di ruang kerjanya, mengurus wilayahnya. Tidak ada kabar tentang tindakan mencurigakan yang dilakukannya." Elian meletakkan cangkirnya dengan anggun di atas meja kecil di sampingnya. "Benarkah? Apakah kau masih menemuinya?" Caine menegakkan badannya. "Tidak, saya hanya selalu mengirim surat untuk melaporkan tentang Anda." Elian tersenyum kecil, namun tak ada keceriaan dalam senyum itu
Caelum menghela napas frustrasi di dalam kamarnya. Tangannya mengepal di atas meja, jemarinya sedikit bergetar menahan emosi yang membuncah di dadanya. Rahangnya mengatup rapat, seakan menahan sesuatu yang ingin ia teriakkan. Matanya menatap tajam ke arah Gavier yang masih berdiri di dekat pintu, menjaga dirinya dengan penuh kewaspadaan. Sekalipun ruangan itu luas, ia merasa seolah terkurung dalam tekanan yang semakin menghimpit. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detak jam yang seakan mempermainkan pikirannya yang kalut. "Apa aku membuat kesalahan?" tanyanya akhirnya, suaranya bergetar tipis, seolah tak yakin pada dirinya sendiri. Rahangnya mengatup, dan dadanya naik turun dalam ritme napas yang berat. Ada kepanikan yang berusaha ia tekan, tetapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin jelas rasa frustrasi itu terasa. Gavier, yang sedari tadi memperhatikan sikap Caelum, menghela napas panjang sebelum akhirnya mengambil sikap yang lebih santai.
Setelah keributan yang terjadi di aula utama, Caelum mengajak mereka untuk berdiskusi di kamar pribadinya. Udara malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa serta keheningan yang mencekam setelah insiden yang baru saja terjadi. Sisa aroma darah samar masih terasa, bercampur dengan hawa lembap yang menyusup hingga ke tulang. Di luar, suara burung malam sesekali terdengar, tetapi di dalam ruangan ini, tidak ada yang berbicara lebih dulu. "Silakan duduk di mana pun kalian merasa nyaman," ujar Caelum santai. "Mari kita lupakan status kita sejenak." Tanpa ragu, ia merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di tengah ruangan. Gerakannya tampak santai, namun sorot matanya tajam, memperlihatkan bahwa pikirannya tengah bekerja. "Apa kau merekamnya, Gavier?" tanyanya, melirik ajudannya yang berdiri di dekat pintu. Gavier mengangguk, mendekat, dan menyerahkan sebuah bola perekam kepada Caelum. Sang pangeran menerimanya d
Rotherham menatap terkejut, matanya tertuju pada tangan Caelum yang tampak normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, keterkejutan itu segera tergantikan oleh seringai licik yang perlahan muncul di wajahnya. "Menarik," gumamnya, sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung membentuk seringai tipis, tetapi di baliknya ada jejak ketegangan halus seperti binatang yang sadar dirinya sedang diawasi oleh pemangsa lain. Rotherham melangkah mendekat, seolah ingin memastikan sesuatu, tetapi Caelum tidak bergerak mundur sedikit pun. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, ada ketegangan yang tak kasat mata, seperti dua binatang buas yang saling menilai lawan. Caelum menurunkan tangannya, ekspresinya tetap dingin, tetapi matanya berkilat tajam. Ia tidak suka permainan ini, tetapi jika Rotherham ingin bermain, maka ia akan memastikan permainan itu berakhir dengan kekalahan lawannya. "Mari kita lihat sampai kapan Anda bisa menyembunyikannya, P
Ruang pesta yang sebelumnya dipenuhi oleh kemewahan kini telah berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Permadani merah tua yang biasanya membentang dengan megah di lantai kini terkoyak, seperti luka menganga di tubuh yang tak bisa dijahit kembali. Noda anggur yang mengering menciptakan semburat gelap, bercampur dengan pecahan kaca dari gelas-gelas kristal yang terlempar dalam kekacauan. Bau alkohol menyengat, bercampur dengan aroma darah samar yang entah berasal dari siapa. Meja-meja besar yang seharusnya dipenuhi dengan hidangan lezat kini berserakan, beberapa terbalik dengan makanan yang berceceran, menciptakan aroma yang bercampur antara harum daging panggang dan bau anyir dari sesuatu yang tidak seharusnya ada di perjamuan kerajaan. Lilin-lilin yang seharusnya menerangi ruangan dengan cahaya temaram, kini bergoyang-goyang, beberapa di antaranya telah padam akibat hantaman atau angin yang masuk dari jendela yang pecah. Tirai sutra yang tergantung di pilar
Gavier melompat ke samping, menghindari cakar tajam monster itu yang menghantam lantai hingga retak. Serangan makhluk itu brutal dan tak terduga, setiap gerakannya dipenuhi dengan kekuatan liar yang mengerikan. Dengan kecepatan luar biasa, ia kembali menerjang, tetapi Gavier sudah lebih dulu bergerak, menghindar ke belakang sembari menebaskan pedangnya ke sisi tubuh makhluk itu. Namun, seperti sebelumnya, luka yang ia buat segera menutup. Monster itu hanya menggeram marah dan berbalik dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari yang seharusnya bisa dilakukan makhluk sebesar itu. "Tidak ada gunanya menyerang secara biasa!" seru Gavier sambil melompat mundur. Ronan mengangguk, tangannya menggenggam pedang erat-erat. Cahaya merah semakin terang di bilah pedangnya, energi sihir mengalir dengan intensitas yang terus meningkat. Api mulai merambat dari gagang ke ujung bilahnya, berkobar dengan ganas, seolah merespons niat membunuh yang mulai tumbuh dalam dirinya
Gavier dengan sigap meraih pedang Caelum yang terselip di sarungnya, lalu melemparkannya ke arah sang pangeran. Caelum menangkapnya dengan mudah, menggenggam gagang pedang dengan mantap, seolah sudah siap menghadapi apa pun yang akan datang. Di sisi lain, Ronan mengamati seorang prajurit yang tergeletak dengan luka di bahunya. Ia menunduk, meraih pedang prajurit itu, lalu berdiri tegak. Napasnya sedikit berat, tetapi sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. "Kau jangan jauh-jauh dariku," ujar Ronan kepada Elian. Suaranya tegas, tak terbantahkan. Elian hanya bisa mengangguk. Ia tahu betapa serius situasinya. Namun sebelum ada yang sempat bergerak lebih jauh, seorang pelayan tiba-tiba masuk ke ruangan dengan langkah tergesa. Tangannya gemetar saat mengacungkan belati di udara. Mata Elian membelalak. Itu pelayan yang ia lihat sebelumnya! Yang membawa belati di antara kerumunan. "Ma… maafkan saya…" suara pelayan itu terdengar bergetar, pe
Elian masih berada di dekat Caelum, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Perlahan, Gavier mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Caelum. Senyum menyeringai muncul di wajahnya, seolah menyimpan sesuatu yang hanya ia dan Gavier ketahui. Caelum mendekatkan wajahnya ke arah Elian, menatapnya dengan intens. Matanya yang tajam seolah menyelami pikirannya, mencoba membaca ekspresi Elian yang tetap tenang di permukaan. "Nampaknya pesta akan segera dimulai, Tuan Elian. Saya harap Anda berkenan tetap berada di sisi saya," ucapnya dengan senyum yang sulit diartikan. Nada suaranya terdengar santai, tetapi ada sesuatu yang ganjil di sana. Bukan sekadar undangan biasa, melainkan peringatan terselubung. Elian merasakan bulu kuduknya meremang. Elian menoleh, hendak bertanya maksud perkataan itu, tetapi ekspresi marah di wajah Caelum membuatnya terkejut. Sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan melihat Pangeran Kedua yang juga tengah menyeringai menata
Elian menukar gelas anggurnya dengan jus jeruk, mengangkatnya perlahan sebelum meneguknya. Rasa asam manis menyegarkan tenggorokannya, berbeda dengan rasa anggur yang sering kali membuat kepalanya sedikit pening. Ia melangkah menjauh dari Ronan dan Damien yang masih sibuk bercakap-cakap dengan para bangsawan lain. Pembicaraan mereka terdengar penuh pujian di permukaan, namun Elian tahu betul bahwa di balik senyuman itu, masing-masing dari mereka menyimpan pisau tajam yang siap ditusukkan ke punggung satu sama lain. Ia berjalan ke meja hidangan, mengambil sepotong kue dan menggigitnya perlahan. Matanya menyapu ruangan dengan penuh kehati-hatian, mengamati setiap orang yang hadir. Pesta ini adalah tempat yang tepat bagi para bangsawan untuk mempertontonkan kepalsuan mereka, mempererat aliansi sementara, dan menyusun strategi baru untuk menjatuhkan lawan. Elian mengganti gelas kosongnya dengan gelas jus jeruk yang baru sebelum melangkah ke arah balkon. Angin malam yang berhem