Hening menyelimuti kamar Elian, hanya suara napas Damien yang terdengar saat ia berusaha menenangkan dirinya. Cahaya redup dari lilin di sudut ruangan bergetar pelan, memantulkan bayangan temaram di dinding batu yang dingin. Damien duduk di sisi ranjang, kedua tangannya terkepal erat dipangkuannya. Napasnya terdengar berat setiap kali memandang wajah pucat adiknya yang terbaring lemah dengan tubuh penuh luka.
Meskipun dokter telah memberikan perawatan terbaik, ketakutan masih menghantui benaknya. Damien, sebagai seorang kakak, merasa gagal melindungi adiknya dari nasib buruk ini. Kepalanya tertunduk, tetapi pandangannya tetap terpaku pada tubuh adiknya yang tak berdaya. Setiap helaan napas Elian yang tersendat membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain, Ethan baru saja kembali dari hutan. Pakaian yang ia kenakan kotor, berlumuran debu dan bercak darah kering yang mengeras di ujung lengan bajunya. Pedangnya masih tergenggam erat, terasa berat seperti beban yang meMalam itu, dalam keheningan kamar yang dipenuhi hanya dengan suara napas Elian yang terengah-engah, sesuatu yang jauh lebih mengerikan terjadi. Saat Damien hampir terlelap di samping ranjang, tubuh Elian yang terbaring di atas bantal menegang, seolah berjuang melawan bayangan-bayangan yang menyeretnya ke dalam kegelapan. Di dalam mimpinya, Elian berada di sebuah hutan yang gelap, dipenuhi pohon-pohon besar yang cabang-cabangnya menyentuh langit. Udara dingin menusuk kulitnya, dan suara-suara aneh bergema dari setiap sudut yang tak terlihat. Langkahnya tergesa-gesa, namun setiap kali ia bergerak, tanah yang diinjak terasa lengket, seolah ada sesuatu yang mengikutinya. Di kejauhan, Elian mendengar suara langkah berat yang semakin mendekat, suara seperti langkah kaki makhluk besar yang menghentak tanah. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, sosok besar muncul. Seekor serigala hitam dengan mata merah menyala muncul dari bayang-bayang, tubuhnya yang kekar dan otot-ototnya
Pagi itu, udara sejuk menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma embun dan kesejukan khas pagi hari. Sinar matahari yang lembut menyusup melalui tirai tipis, memantulkan cahaya samar di dinding kamar luas yang dipenuhi keheningan. Namun, di balik keheningan itu, terdengar napas lemah Elian yang masih terbaring tengkurap di ranjangnya. Tubuhnya terlihat pucat, wajahnya sedikit berkeringat, dan luka di tubuhnya masih memancarkan rasa sakit yang mendalam. Adrian, dokter keluarga yang berpengalaman, tengah duduk di tepi ranjang, menatap tubuh lemah Elian dengan sorot mata penuh keprihatinan. Kedua tangannya perlahan terangkat, cahaya lembut berwarna kebiruan memancar dari telapak tangannya, melingkupi luka-luka yang membekas di tubuh Elian. Ritual penyembuhan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya Adrian menurunkan tangannya, menghembuskan napas panjang. Wajahnya tampak lelah, namun masih berusaha memancarkan ketenangan. "Seperti yang ku
Ruangan itu dipenuhi oleh aroma dupa yang menyengat, asapnya berkelok-kelok di udara sebelum lenyap di antara cahaya redup dari lampu gantung berwarna emas. Tirai beludru hitam menutupi jendela besar di salah satu sisi ruangan, menciptakan kesan suram dan rahasia. Di tengah ruangan, duduklah Azrael di sebuah kursi megah berukir naga yang tampak menelan tubuhnya dalam bayangan gelap. Kesan angkuh dan tidak terjamah terpatri pada setiap gerakan tubuhnya, seolah dia adalah kekuatan yang tak dapat diganggu gugat. Di hadapannya berdiri Caine, punggungnya tegap, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun, tatapannya kosong. Namun, kedua tangannya mengepal di balik punggungnya, menyembunyikan pergolakan yang berkecamuk di dalam hatinya. Caine merasa setiap detik di bawah tatapan Azrael yang tajam seolah membebani tubuhnya, membuatnya ingin melepaskan diri dari cengkraman ini, namun dia tahu itu mustahil. Azrael adalah pria yang memiliki banyak cara untuk membuat orang terjerat da
Damien berjalan cepat menuju halaman belakang kediaman, mencari Ethan yang sedang menata perlengkapan. Suara langkahnya yang terburu-buru menarik perhatian Ethan, yang langsung menegakkan tubuhnya dan menyambut Damien dengan senyuman ringan. Tanpa menunggu lama, Ethan mendekat dan bertanya dengan khawatir. "Tuan Damien, bagaimana keadaan Tuan Muda Elian?" tanya Ethan, suaranya penuh rasa peduli. Damien menoleh, ekspresinya serius namun tidak kehilangan kelembutan. "Kondisinya masih lemah, Ethan. Lukannya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih. Saat ini, dia memerlukan banyak istirahat." Ethan mengangguk, sedikit merasa lega mendengar kabar itu. "Syukurlah. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Damien?" Damien menghela napas pelan sebelum menyampaikan pesan Elian. "Oh… Elian memintaku untuk menyampaikan sesuatu padamu. Dia bilang dia ingin makan kue bunga yang bisa dia makan. Apakah kau bisa mendapatkannya?" Ethan terkejut sejena
Sesampainya di depan pintu ruangan kerja Lucien, Ethan memberi isyarat agar mereka menunggu sejenak. Ia mengetuk pintu dengan lembut, dan setelah mendengar suara persetujuan dari dalam, ia membukanya dan mempersilakan mereka masuk. "Masuk," terdengar suara berat namun tenang dari dalam ruangan. Di dalam, Lucien Silvercrest duduk di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan surat-surat penting. Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar di sampingnya, memantulkan siluet wajah tegas dan tatapan bijaksana dari pria yang merupakan kepala keluarga Silvercrest itu. Begitu melihat mereka masuk, Lucien segera berdiri dan menyambut mereka dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Ny. Mirabel, Tn. Alistair," sapa Lucien dengan suara tegas namun penuh kehangatan. "Selamat pagi, Tuan Lucien," jawab Ny. Mirabel dan Tn. Alistair serempak, masing-masing membungkuk hormat. Ethan memberi sedikit ruang, memberikan kesempatan pada Ny.
Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan semburat oranye di langit sore yang terlihat dari balik jendela kamar Elian. Udara di ruangan terasa sunyi, hanya diisi oleh suara napas pelan pemuda itu. Tubuhnya masih terasa lemah dan nyeri setiap kali ia mencoba bergerak. Luka di punggungnya belum sepenuhnya tertutup, meninggalkan rasa perih yang menusuk setiap kali ada gerakan kecil. Elian perlahan membuka mata. Pandangannya sempat buram sebelum akhirnya terbiasa dengan cahaya temaram di dalam kamar. Ia berbaring tengkurap di atas tempat tidur, dengan bantal kecil menyangga dadanya agar lebih nyaman. Tubuhnya tidak dibalut pakaian, hanya perban putih yang melintang menutupi luka di punggungnya. Setiap gerakan kecil terasa menyiksa, tetapi setidaknya rasa sakitnya mulai mereda sedikit dibandingkan sebelumnya. Pintu kamar berderit pelan, membuatnya menoleh dengan lemah ke arah sumber suara. Sosok Ethan muncul di ambang pintu, membawa nampan berisi semangkuk sup hanga
Cahaya lembut dari lilin di meja kecil menerangi kamar Elian dengan temaram yang menenangkan. Udara malam yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membawa aroma tanah basah setelah hujan reda. Elian berbaring dengan tenang di tempat tidurnya, meskipun rasa nyeri masih menyelimuti tubuhnya. Setidaknya, malam ini ia bisa merasakan sedikit kenyamanan di antaraa luka-lukanya. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Ethan muncul dengan nampan berisi secangkir cokelat panas di tangannya. Wajahnya terlihat cerah meskipun ada lingkaran gelap samar di bawah matanya akibat kurang tidur. "Tuan Muda, cokelat panas pesanan Anda sudah datang," ujar Ethan dengan nada menggoda sambil mengangkat cangkir cokelat itu seakan sedang memamerkan harta karun. Elian memutar bola matanya, tetapi senyum kecil muncul di wajahnya. "Kau membuatnya terlihat seperti harta karun langka, Ethan." Ethan tertawa pelan sambil berjalan mendekat. "Bagaimana tidak? Ini adalah permintaa
Suasana pagi yang lembut menyelimuti kediaman Silvercrest, membawa ketenangan yang seakan menjauhkan semua kekhawatiran. Cahaya matahari pagi yang menembus jendela kamar Elian memantulkan kilauan samar di lantai marmer yang dingin, memberikan suasana hangat yang menyentuh hati. Aroma bunga yang menguar dari taman yang terletak di belakang kediaman menyatu dengan angin pagi yang sejuk. Elian duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela, berpikir tentang segala hal yang telah terjadi. Rasa letih yang menggelayuti tubuhnya tidak dapat disembunyikan meskipun usahanya untuk tampak baik-baik saja. Sejak kebangkitannya, semuanya terasa berbeda. Ada rasa tidak pasti yang menyelimuti hatinya, dan beban yang berat dari masa lalu yang tak bisa begitu saja dilupakan. Suara ketukan pintu yang lembut mengalihkan perhatian Elian dari lamunannya. Ethan, pelayannya yang setia, berdiri di ambang pintu. Wajahnya yang selalu cerah kini terlihat sedikit cemas, meskipun ia be
Elian berbaring di ranjangnya, berusaha menutup mata. Rasa lelah masih menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tetap berputar, sulit untuk benar-benar terlelap. Nyeri masih terasa di beberapa bagian tubuhnya. Ia sudah terbiasa dengan rasa sakit, namun kali ini berbeda. Di sampingnya, Caine duduk di bangku kayu, tubuhnya bersandar santai, tetapi matanya terus memperhatikan Elian. Tatapannya kelam, penuh sesuatu yang nyaris menyerupai kemarahan atau mungkin rasa bersalah yang tidak terucapkan. Ada sorot frustasi di sana, seolah ia tengah bertarung dengan pikiran dan perasaan yang enggan ia akui. Suara api dari lilin yang menyala di sudut ruangan sesekali berderak pelan, menciptakan suasana hening yang semakin menekan. "Kau tahu, kau itu tuan yang bodoh, Elian." Suara Caine terdengar tenang, tetapi ada sedikit nada mencemooh di dalamnya. Elian membuka matanya perlahan, menoleh ke arah lelaki itu. Tatapan Caine bukan hanya sekadar lelah, tetapi juga menyimp
Malam semakin larut, bulan semakin tinggi, dan kediaman Silvercrest semakin sepi. Dalam kamar yang temaram hanya diterangi oleh cahaya lilin yang samar, Elian terbaring diam di ranjangnya. Sendirian, sunyi, dan menakutkan. Perlahan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Rasa sesak menghimpit dadanya, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Pandangannya kabur, dan kepalanya berdengung, mungkin karena terlalu lama tertidur. Ia mencoba menggerakkan jarinya, namun tubuhnya terasa mati rasa. Ia berusaha untuk duduk, tetapi tubuhnya terasa berat. Seakan ada sesuatu yang menahannya. Matanya menyusuri ruangan, mencoba memahami situasi. ‘Sudah malam,’ gumamnya dalam hati. ‘Apa yang terjadi?’ Sekelebat gambaran tentang Caine yang tengah sekarat muncul di pikirannya. Tubuh penuh luka, darah mengalir dari pelipisnya, napasnya tersengal di antara kepalan tangannya yang berlumuran merah. ‘Caine...’ bisiknya dengan bibir bergetar. Ketakutan mul
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari kristal sihir yang melayang di sudut, memancarkan cahaya kebiruan yang dingin. Dinding batu yang lembap menambah kesan suram, membuat udara di dalamnya terasa berat dan mencekam. Bau apek dan samar-samar aroma darah menguar di udara, seolah ruangan ini sudah sering menjadi saksi bisu penderitaan mereka yang dikurung di dalamnya. Lantai batu dingin terasa kasar dan licin, mungkin karena kelembapan atau sesuatu yang lebih mengerikan. Di tengah ruangan, seorang pria berjubah hitam berdiri tegak, wajahnya tersembunyi oleh bayangan tudung yang menutupi kepalanya. Ia menggenggam lengan seorang pelayan yang tampak gemetar, tubuhnya bergetar ketakutan saat ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat pria itu. Di depannya, sosok lain berdiri dengan aura yang lebih menakutkan. Azrael. Mata merahnya menyala seperti bara api di dalam kegelapan, mengamati pelayan yang dipaksa berlutut di hadapannya. Deng
"Aku ingin mengunjungi Elian," ucap Caine pelan, suaranya masih serak setelah berjam-jam beristirahat. Ethan, yang berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap, menatapnya tajam. "Makanlah dulu," katanya tegas. "Kau bahkan berdiri saja tidak punya tenaga sama sekali." Caine ingin membantah, tetapi kenyataan berbicara lain. Kakinya terasa lemas, seolah baru pertama kali digunakan setelah sekian lama. Tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri setelah kejadian itu. Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan sedikit saja bergerak terlalu cepat, dadanya terasa sesak. Ia akhirnya memilih menurut. Ethan membantunya duduk lebih tegak di atas ranjang, lalu meletakkan semangkuk bubur hangat di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Caine mulai makan. Suapan pertama terasa hambar, tapi ia tidak peduli. Ia tahu tubuhnya butuh energi agar bisa segera menemui Elian. Setelah beberapa menit, mangkuk di depannya sudah kosong. Caine menyandarkan kepalanya sebentar, merasa
Caelum masih duduk di tempatnya setelah percakapannya dengan Kaelian berakhir. Meski makan siang mereka telah selesai, pikirannya tetap berputar-putar, memproses setiap kata yang dikatakan oleh kakaknya. "Jika kau ingin mendapatkan tahta, carilah pendukung dari berbagai lapisan masyarakat." Sebelumnya, Caelum memang telah mempertimbangkan untuk memperkuat aliansinya dengan keluarga Silvercrest dan beberapa bangsawan kunci. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk meraih dukungan rakyat jelata. Di benaknya, mereka hanyalah bayangan yang bergerak di sela-sela kekuasaan, bukan sesuatu yang dapat mempengaruhi takdir seorang calon pewaris. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin masuk akal saran Kaelian. Jika ia berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat, maka para bangsawan yang ragu mungkin akan melihatnya sebagai ancaman yang nyata atau sebagai sekutu yang berharga. Kaelian sudah bangkit dari tempat duduknya, hendak meninggalkan paviliun, tetapi sebe
Caelum berjalan menyusuri koridor istana yang cukup ramai dengan para pelayan yang berlalu lalang. Beberapa dari mereka menundukkan kepala dengan hormat saat melewatinya, tetapi ia tak terlalu memperhatikannya. Langkahnya tetap stabil, meskipun pikirannya penuh dengan berbagai pertimbangan. Beberapa waktu lalu, Gavier telah mengirim pesan kepada Pangeran Pertama untuk menyampaikan permintaan pertemuan. Tak butuh waktu lama bagi Kaelian untuk memberikan jawaban, ia setuju untuk makan siang bersama. Oleh karena itu, kini Caelum berjalan menuju taman pribadi milik kakaknya, tempat yang mereka sepakati untuk bertemu. Ketika Caelum tiba, ia melihat sosok Kaelian duduk dengan tenang di bawah paviliun, menikmati secangkir teh hangat. Sikapnya tetap seperti biasa tenang, penuh wibawa, tetapi memiliki aura yang tidak bisa diremehkan. "Apakah Kakak sudah menunggu lama?" tanya Caelum sambil mendekat. Kaelian mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis sebel
Caine membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya sedikit menyipit. Napasnya masih terasa berat, tetapi tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk tubuhnya seperti sebelumnya. Saat pikirannya mulai jernih, ingatan tentang pertempuran di perbatasan langsung menghantamnya. Serangan mendadak, pasukan Azrael dan Pangeran Kedua, penyelidikan tentang praktik sihir terlarang di desa terpencil… dan— Matanya melebar. Elian. Jantungnya berdegup cepat. Seingatnya, dia seharusnya sudah mati. Tubuhnya hampir hancur karena serangan mereka, tetapi… “Elian…” gumamnya pelan. Pintu tiba-tiba terbuka. Caine refleks menoleh dan menemukan sosok yang tak asing berdiri di ambang pintu. Lucien Silvercrest. Tatapan pria itu tajam, seolah mampu menembus pikirannya. Tidak ada emosi berlebihan di wajahnya, tetapi auranya begitu kuat hingga ruangan terasa lebih sesak. Caine langsung berusaha bangkit,
Damien dengan hati-hati memindahkan tubuh Caine ke ranjang di sebelah Elian. Gerakannya perlahan, seolah takut melukai pemuda itu lebih jauh. Setelah memastikan posisi Caine nyaman, ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajah Caine yang sebelumnya pucat seperti mayat kini tampak lebih baik seperti seseorang yang sedang tertidur, bukan lagi raga tanpa nyawa. Napasnya mulai stabil, dada tipisnya naik turun dalam ritme yang tenang. Damien menghela napas lega. "Dia pasti akan segera sadar," ucapnya pelan, seakan lebih meyakinkan dirinya sendiri. Setelah memastikan kondisi Caine, ia beralih ke Elian. Tubuh pemuda itu masih dingin, napasnya nyaris tak terdengar. Luka-luka di tubuhnya telah ditangani, tetapi wajahnya tetap pucat. Damien duduk di tepi ranjang, menatapnya lama, seakan mencoba menemukan tanda-tanda kehidupan sekecil apa pun. "Kau terlalu keras kepala untuk menyerah, bukan?" gumamnya lirih. Namun, Elian tetap diam. Ethan yang sejak
Tidak. Tidak. Tidak. Suara Elian bergetar, memantul di ruangan yang hening. Tangannya mengguncang tubuh Caine yang semakin dingin, seolah berharap itu bisa membangunkannya. Tapi Caine tetap diam. Napasnya tak ada. Dadanya tak lagi naik-turun. “Ah… tidak… tolong… Caine…” Tangisnya pecah, menggema di seluruh ruangan. Tangan Elian berusaha mencari denyut nadi di leher Caine, namun ia tak merasakan apa pun. Kepanikan merayapi seluruh tubuhnya, membuatnya gemetar hebat. Ethan, yang berdiri di dekatnya, perlahan meraih pergelangan tangan Caine, mencari denyut nadinya. Wajahnya menegang saat ia menyadari kebenarannya, Caine sudah tidak bernyawa. “Ethan, panggil Damien! Dia… dia pasti bisa menyembuhkannya! Sekarang juga!” Namun, Ethan tidak bergerak. Ia hanya berdiri di tempatnya, tatapannya redup dan penuh kesedihan. “Kenapa kau diam saja? Hei, ETHAN!” Elian berteriak, matanya membelalak dengan emosi yang meled