Pagi itu, udara sejuk menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma embun dan kesejukan khas pagi hari. Sinar matahari yang lembut menyusup melalui tirai tipis, memantulkan cahaya samar di dinding kamar luas yang dipenuhi keheningan. Namun, di balik keheningan itu, terdengar napas lemah Elian yang masih terbaring tengkurap di ranjangnya. Tubuhnya terlihat pucat, wajahnya sedikit berkeringat, dan luka di tubuhnya masih memancarkan rasa sakit yang mendalam.
Adrian, dokter keluarga yang berpengalaman, tengah duduk di tepi ranjang, menatap tubuh lemah Elian dengan sorot mata penuh keprihatinan. Kedua tangannya perlahan terangkat, cahaya lembut berwarna kebiruan memancar dari telapak tangannya, melingkupi luka-luka yang membekas di tubuh Elian. Ritual penyembuhan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya Adrian menurunkan tangannya, menghembuskan napas panjang. Wajahnya tampak lelah, namun masih berusaha memancarkan ketenangan. "Seperti yang kuRuangan itu dipenuhi oleh aroma dupa yang menyengat, asapnya berkelok-kelok di udara sebelum lenyap di antara cahaya redup dari lampu gantung berwarna emas. Tirai beludru hitam menutupi jendela besar di salah satu sisi ruangan, menciptakan kesan suram dan rahasia. Di tengah ruangan, duduklah Azrael di sebuah kursi megah berukir naga yang tampak menelan tubuhnya dalam bayangan gelap. Kesan angkuh dan tidak terjamah terpatri pada setiap gerakan tubuhnya, seolah dia adalah kekuatan yang tak dapat diganggu gugat. Di hadapannya berdiri Caine, punggungnya tegap, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun, tatapannya kosong. Namun, kedua tangannya mengepal di balik punggungnya, menyembunyikan pergolakan yang berkecamuk di dalam hatinya. Caine merasa setiap detik di bawah tatapan Azrael yang tajam seolah membebani tubuhnya, membuatnya ingin melepaskan diri dari cengkraman ini, namun dia tahu itu mustahil. Azrael adalah pria yang memiliki banyak cara untuk membuat orang terjerat da
Damien berjalan cepat menuju halaman belakang kediaman, mencari Ethan yang sedang menata perlengkapan. Suara langkahnya yang terburu-buru menarik perhatian Ethan, yang langsung menegakkan tubuhnya dan menyambut Damien dengan senyuman ringan. Tanpa menunggu lama, Ethan mendekat dan bertanya dengan khawatir. "Tuan Damien, bagaimana keadaan Tuan Muda Elian?" tanya Ethan, suaranya penuh rasa peduli. Damien menoleh, ekspresinya serius namun tidak kehilangan kelembutan. "Kondisinya masih lemah, Ethan. Lukannya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih. Saat ini, dia memerlukan banyak istirahat." Ethan mengangguk, sedikit merasa lega mendengar kabar itu. "Syukurlah. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Damien?" Damien menghela napas pelan sebelum menyampaikan pesan Elian. "Oh… Elian memintaku untuk menyampaikan sesuatu padamu. Dia bilang dia ingin makan kue bunga yang bisa dia makan. Apakah kau bisa mendapatkannya?" Ethan terkejut sejena
Sesampainya di depan pintu ruangan kerja Lucien, Ethan memberi isyarat agar mereka menunggu sejenak. Ia mengetuk pintu dengan lembut, dan setelah mendengar suara persetujuan dari dalam, ia membukanya dan mempersilakan mereka masuk. "Masuk," terdengar suara berat namun tenang dari dalam ruangan. Di dalam, Lucien Silvercrest duduk di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan surat-surat penting. Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar di sampingnya, memantulkan siluet wajah tegas dan tatapan bijaksana dari pria yang merupakan kepala keluarga Silvercrest itu. Begitu melihat mereka masuk, Lucien segera berdiri dan menyambut mereka dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Ny. Mirabel, Tn. Alistair," sapa Lucien dengan suara tegas namun penuh kehangatan. "Selamat pagi, Tuan Lucien," jawab Ny. Mirabel dan Tn. Alistair serempak, masing-masing membungkuk hormat. Ethan memberi sedikit ruang, memberikan kesempatan pada Ny.
Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan semburat oranye di langit sore yang terlihat dari balik jendela kamar Elian. Udara di ruangan terasa sunyi, hanya diisi oleh suara napas pelan pemuda itu. Tubuhnya masih terasa lemah dan nyeri setiap kali ia mencoba bergerak. Luka di punggungnya belum sepenuhnya tertutup, meninggalkan rasa perih yang menusuk setiap kali ada gerakan kecil. Elian perlahan membuka mata. Pandangannya sempat buram sebelum akhirnya terbiasa dengan cahaya temaram di dalam kamar. Ia berbaring tengkurap di atas tempat tidur, dengan bantal kecil menyangga dadanya agar lebih nyaman. Tubuhnya tidak dibalut pakaian, hanya perban putih yang melintang menutupi luka di punggungnya. Setiap gerakan kecil terasa menyiksa, tetapi setidaknya rasa sakitnya mulai mereda sedikit dibandingkan sebelumnya. Pintu kamar berderit pelan, membuatnya menoleh dengan lemah ke arah sumber suara. Sosok Ethan muncul di ambang pintu, membawa nampan berisi semangkuk sup hanga
Cahaya lembut dari lilin di meja kecil menerangi kamar Elian dengan temaram yang menenangkan. Udara malam yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membawa aroma tanah basah setelah hujan reda. Elian berbaring dengan tenang di tempat tidurnya, meskipun rasa nyeri masih menyelimuti tubuhnya. Setidaknya, malam ini ia bisa merasakan sedikit kenyamanan di antaraa luka-lukanya. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Ethan muncul dengan nampan berisi secangkir cokelat panas di tangannya. Wajahnya terlihat cerah meskipun ada lingkaran gelap samar di bawah matanya akibat kurang tidur. "Tuan Muda, cokelat panas pesanan Anda sudah datang," ujar Ethan dengan nada menggoda sambil mengangkat cangkir cokelat itu seakan sedang memamerkan harta karun. Elian memutar bola matanya, tetapi senyum kecil muncul di wajahnya. "Kau membuatnya terlihat seperti harta karun langka, Ethan." Ethan tertawa pelan sambil berjalan mendekat. "Bagaimana tidak? Ini adalah permintaa
Suasana pagi yang lembut menyelimuti kediaman Silvercrest, membawa ketenangan yang seakan menjauhkan semua kekhawatiran. Cahaya matahari pagi yang menembus jendela kamar Elian memantulkan kilauan samar di lantai marmer yang dingin, memberikan suasana hangat yang menyentuh hati. Aroma bunga yang menguar dari taman yang terletak di belakang kediaman menyatu dengan angin pagi yang sejuk. Elian duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela, berpikir tentang segala hal yang telah terjadi. Rasa letih yang menggelayuti tubuhnya tidak dapat disembunyikan meskipun usahanya untuk tampak baik-baik saja. Sejak kebangkitannya, semuanya terasa berbeda. Ada rasa tidak pasti yang menyelimuti hatinya, dan beban yang berat dari masa lalu yang tak bisa begitu saja dilupakan. Suara ketukan pintu yang lembut mengalihkan perhatian Elian dari lamunannya. Ethan, pelayannya yang setia, berdiri di ambang pintu. Wajahnya yang selalu cerah kini terlihat sedikit cemas, meskipun ia be
Hari itu, kediaman Silvercrest terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan berlarian dari satu sisi ke sisi lain, membawa hidangan dan menyiapkan segala sesuatu untuk kedatangan tamu penting yang akan segera tiba. Aroma rempah-rempah memenuhi udara, bercampur dengan wewangian bunga segar yang diletakkan di setiap sudut ruangan. Elian masih duduk di tepi ranjangnya, menatap ke luar jendela dengan pikiran yang melayang jauh. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, ada kegelisahan yang terus menggerogoti hatinya. Sore itu, langit di atas kediaman Silvercrest terlihat sedikit muram, dengan warna oranye keemasan yang mulai meredup menjelang malam. Angin yang berhembus pelan seolah membawa firasat buruk. Elian memandang jendela kamarnya, menatap luar dengan pandangan yang kosong. Sebuah perasaan tidak enak menggelayuti hatinya. Sesuatu yang tak terduga akan segera datang. Ethan masuk dengan langkah hati-hati, membawa setelan pakaian formal berwarna hitam dengan s
Suasana di ruang makan Silvercrest masih dipenuhi ketegangan samar. Percakapan di antara keluarga berjalan dengan hati-hati, seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis. Azrael, dengan senyum yang nyaris tidak pernah pudar dari wajahnya, mengetuk pelan gelas anggurnya, menarik perhatian semua orang. "Sebelum kita melanjutkan lebih jauh, aku ingin memperkenalkan seseorang kepada kalian," ucap Azrael dengan nada tenang namun mengandung wibawa yang tak terbantahkan. "Caine, masuklah." Pintu besar ruang makan terbuka perlahan, dan seorang pria bertudung melangkah masuk. Langkahnya tenang, namun ada aura gelap yang mengikutinya, membuat suasana ruangan mendadak lebih berat. Caine mengenakan jubah gelap yang memanjang hingga menyentuh lantai, dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya. Ia berhenti di ujung meja, di sisi Azrael, dan dengan gerakan perlahan, ia melepas tudungnya. Wajahnya akhirnya terlihat di bawah cahaya lilin yang berkelap-kelip.
Elian merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya, membenamkan wajahnya ke bantal yang empuk. Rasa lelah menguasainya sepenuhnya, seolah seluruh energi telah terkuras dari tubuhnya. Pandangannya kosong, tatapannya kemudian beralih ke jendela besar di sisi kamar. Cahaya matahari yang terik menandakan bahwa waktu sudah beranjak siang. Ia mendesah berat, membiarkan pikirannya berkelana dalam hening. "Bagaimana aku harus membuat Caine melaporkan kegiatanku pada Azrael?" gumamnya lirih ke ruangan kosong di sekitarnya. Nada suaranya terdengar putus asa. "Aku sangat lelah," tambahnya pelan. Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Ethan, pelayan setianya, masuk dengan langkah tenang sambil membawa baskom berisi air hangat dan kain bersih. Tatapannya penuh perhatian saat ia mendekati Elian. "Tuan Muda, Anda terlihat sangat lelah. Izinkan saya membantu Anda membersihkan diri," ujar Ethan sambil menaruh baskom di meja kecil di samping ranjang. Elian h
Hari semakin siang, dan sinar matahari yang terik menambah intensitas suasana di arena latihan keluarga Silvercrest. Suara dentingan logam dan langkah kaki prajurit yang sebelumnya berlatih mulai mereda. Semua perhatian kini tertuju pada dua sosok yang berdiri berhadapan di tengah arena: Ronan dan Caine. Ketegangan terasa seperti udara panas yang menguar, membuat suasana semakin mendidih. Ronan, dengan tubuhnya yang kokoh dan mata yang penuh percaya diri, berdiri di tengah arena. Ia memutar pedang kayu di tangannya, memandang Caine dengan senyum menantang. “Caine, kau selalu punya mulut yang tajam. Sekarang buktikan dengan pedangmu,” ujarnya. Caine, yang lebih tenang dan penuh perhitungan, mengangkat pedangnya sambil tersenyum jahil. “Tentu, Tuan Ronan. Saya akan berusaha sebaik mungkin agar tidak membuat Anda kecewa.” “Kita lihat saja siapa yang lebih baik,” balas Ronan sambil mengambil posisi bertarung. Elian mencoba menyela, suaranya terden
Pagi menyapa kediaman keluarga Silvercrest dengan sinar matahari yang hangat dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga dari taman keluarga. Elian membuka matanya perlahan, mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Ia menarik napas panjang, merasakan energi pagi yang segar mengalir ke tubuhnya. Hari ini, ia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Elian turun dari tempat tidur, melangkah ke arah lemari, dan memilih pakaian yang lebih sederhana – sebuah kemeja putih bersih dengan celana panjang cokelat muda yang nyaman. Tidak ada mantel atau ornamen mewah seperti biasanya. Ia menginginkan kebebasan, sesuatu yang jarang ia rasakan sebagai anggota keluarga Silvercrest. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin, ia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana hari ini akan berbeda. Saat ia selesai berpakaian, pintu kamarnya diketuk. Ethan masuk dengan senyum khasnya, membawa nampan berisi sarapan ringan. “Tuan Muda, saya membawakan teh
Cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela perpustakaan, memantulkan bayangan samar pada rak-rak buku yang menjulai tinggi. Aroma buku tua bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Elian duduk terbungkus selimut, tubuhnya sedikit gemetar, meski napasnya perlahan mulai teratur. Caine, yang setia di sisinya, memandang tuan mudanya dengan tatapan penuh perhatian. “Tuan Muda, apakah Anda merasa lebih baik?” tanya Caine dengan lembut, suaranya seperti angin yang membawa ketenangan. Elian mengangguk lemah, mencoba menguasai dirinya. “Aku hanya butuh waktu,” jawab Elian pelan, hampir seperti bisikan. Namun, matanya yang biasanya tenang masih menyiratkan bayangan ketakutan. Caine mengangguk memahami. Dengan hati-hati, ia menuntun Elian untuk kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya. “Duduklah di sini, Tuan Muda. Saya akan menyalakan sedikit cahaya agar ruangan ini tidak terlalu gelap.” Elian tidak berkata apa-apa, hanya memperhatikan
Cahaya keemasan matahari sore menembus jendela besar di perpustakaan keluarga Silvercrest. Debu-debu halus melayang-layang di udara, seperti menari dalam diam. Elian duduk di kursi berlapis kain beludru biru tua di dekat jendela, tangannya memegang sebuah buku tua dengan sampul berwarna cokelat pudar. Angin sore yang lembut menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Langit di luar perlahan berubah warna, dari jingga keungu-unguan, menandakan senja yang hampir berakhir. Caine berdiri tegap di luar pintu perpustakaan, setia menjaga. Ethan, yang biasanya menemani Elian, sedang sibuk dengan urusan lain, meninggalkan suasana hening di ruangan yang penuh rak-rak tinggi berisi buku-buku berharga. Elian menghela napas panjang, matanya melayang ke langit yang mulai menggelap. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesunyian ini, meskipun hatinya terasa berat. Buku yang ada di tangannya tidak lagi menarik perhatiannya. Se
Hari itu, awan kelabu menggantung rendah di langit, menyelimuti kediaman Silvercrest dengan bayangan samar. Hembusan angin dingin membawa aroma tanah basah, menambah kesan tenang. Di halaman utama yang luas, sebuah kereta kuda hitam berornamen perak berhenti dengan anggun. Keberadaan kereta itu menandai akhir dari kunjungan seseorang yang telah membawa kehadiran penuh teka-teki ke dalam keluarga Silvercrest. Azrael, dengan jubah gelap khasnya, berdiri di dekat kereta. Tubuhnya tegak, matanya tajam, namun wajahnya menampilkan senyuman yang sulit diartikan. Di sekitarnya, keluarga Silvercrest berkumpul untuk melepasnya dengan kehangatan yang tulus. Suasana ini terasa seperti momen kekeluargaan yang biasa, namun di balik senyuman dan sapaan sopan, tersembunyi lapisan emosi dan motif yang lebih dalam. Lucien maju selangkah, menatap adiknya dengan senyum kecil yang tulus. “Azrael, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk berkunjung kesini. Aku harap kau tidak merasa b
Ruangan kerja Lucien memancarkan kehangatan yang kontras dengan langit kelabu di luar jendela besar. Meja kayu besar di depannya dipenuhi dokumen dan beberapa buku yang tertata rapi. Dinding ruangan dihiasi lukisan keluarga Silvercrest, memberikan sentuhan elegan namun penuh kehangatan. Lucien duduk di balik meja kerjanya dengan postur yang santai, tetapi tatapan matanya tetap memancarkan wibawa seorang kepala keluarga. Ia tengah memeriksa dokumen penting ketika suara ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. Tok… Tok… Tok… “Masuk,” ucap Lucien, menutup dokumen di tangannya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Azrael yang melangkah masuk dengan tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menciptakan kesan ramah meski sorot matanya sulit diterjemahkan. Ia membawa aura misterius yang selalu menyertainya, sesuatu yang membuat orang lain merasa ingin tahu namun waspada. Mata Lucien mengamati adiknya sesaat lebih lam, mencari tanda-tanda di bal
Pintu kamar Elian tertutup pelan di belakang Azrael dan Caine. Langkah kaki mereka menggema pelan di sepanjang koridor panjang yang dingin. Azrael berjalan santai dengan tangan di belakang punggungnya, sementara Caine mengikuti setengah langkah di belakang, menjaga jarak yang sopan namun tidak terlalu dekat. Suasana di antara mereka terasa sunyi, namun ketegangan samar menggantung di udara. Setelah beberapa saat berjalan tanpa suara, Azrael akhirnya berbicara, memecah keheningan. "Bagaimana menurutmu Elian?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya lembut, hampir kasual, tetapi dengan nada yang menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Ia tidak menoleh, hanya terus memandang lurus ke depan. Caine melirik sekilas ke arah Azrael sebelum menjawab hati-hati, "Saya belum bisa memberi tanggapan, Tuan." Azrael meliriknya dengan sudut matanya, seulas senyum samar menghiasi wajahnya. "Hmm... Aku rasa dia sedikit berubah. Dia menjadi lebih... sulit dipahami." Cai
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela besar di kamar Elian, memantulkan rona keemasan di lantai marmer yang dingin. Udara terasa segar, namun suasana di dalam kamar terasa sunyi dan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Ethan dengan hati-hati mengganti perban di punggung Elian, tangannya bergerak terampil meski ada semburat kekhawatiran di matanya. "Apakah masih terasa sakit, Tuan Muda?" tanya Ethan dengan suara lembutnya. Elian, yang duduk membelakangi Ethan, menggeleng pelan. Rambut hitamnya yang jatuh sedikit menutupi wajah pucatnya. "Aku baik-baik saja, Ethan." jawabnya singkat, meskipun ekspresinya jelas mencerminkan rasa sakit. Ethan menyelesaikan tugasnya dengan sigap, merapikan perban dan memastikan semuanya terpasang sempurna. Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua. Tok... tok... tok... "Masuk," ujar Elian tanpa menoleh. Pintu kamar t