Sindiran Pedas Istri Kedua "Mama lagi nggak baikkan, ya, sama Om?" tanya Khalif setelah kami hanya tinggal berdua di teras samping. Aku menatap penuh tanya pada anak lelaki semata wayangku itu. "Kenapa Kakak tanya begitu?" "Kakak ngerasa atmosfer di rumah agak beda aja." Meskipun laki-laki sepertinya Khalif memiliki sensor rasa yang cukup sensitif. Belum genap dua hari dia berada di rumah dia sudah bisa membaca kondisi. Mungkin juga karena dia sudah pernah mengalami ketidakharmonisan orang tua sehingga cepat peka dengan keadaan. "Namanya juga dua orang yang berbeda, Kak. Pasti bakal ada masanya tidak sama-sama sepakat terhadap satu hal." "Mama marah sama Om?" Terlihat kali ini ekspresi Khalif lebih serius dari sebelumnya. Aku melengkungkan senyum ke arah remaja sholeh itu. Aku sengaja mengulur waktu sembari memikirkan kata-kata yang tepat memberi penjelasan padanya. Waktu mengunjunginya minggu lalu, Khalif memang menyiratkan keheranan atas ketiadaan Obi. Tentu sangat aneh bagi
Sindiran Pedas Istri Kedua POV Obi Terlalu cinta, cinta mati, ataupun dinamakan dengan bucin oleh generasi sekarang untuk mengistilahkan rasa sayang dan cinta yang teramat sangat berlebih pada seseorang, bahkan sampai jauh meninggalkan logika. Rasa semacam itulah yang sedang berkuasa terhadap hari-hariku. Walaupun usia muda bukan lagi sepenuhnya milikku. Namun positifnya kebucinan itu menghampiriku di waktu yang tak perlu disalahkan. Tertuju sepenuhnya pada wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupku. Bisa menyebut namanya dalam lafaz kabul merupakan buah dari perjalanan panjang yang penuh liku dan diliputi ketar-ketir. Bagaimana tidak, dari yang tak pernah terpikir akan ada bibit rasa. Lalu, perlahan hadir rasa iba dan tidak tega. Bertunas menjadi simpati dan peduli. Tak butuh waktu lama, tumbuhlah kasih dan cinta yang tak terkendali. Mekar menyubur seiring melajunya waktu. Mencoba menampik, tetapi semakin menyiksa hati. Diungkapkan tetapi tak serta merta mendapat sambutan.
Sindiran Pedas Istri Kedua "Sayang, Rara nyariin. Pertandingannya sebentar lagi dimulai." Aku dan Hendi sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. Obi sudah berdiri di belakang kami tepat di antara aku dan Hendi. Tak menjeda waktu terlalu lama, aku meraih tas yang berada di samping. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku bangkit dan melangkah menuju Obi. Kulihat Hendi tidak bereaksi apa-apa. Malah dia abai terhadap kehadiran Obi. Pun begitu dengan Obi. Keberadaan Hendi seperti kasat mata baginya. Pada jarak yang sangat tipis, Obi meraih tanganku dan digenggam selama kami berjalan menuju area perlombaan. Setelah menemui Rara dan memberikan semangat padanya, kami segera ke tempat duduk penonton. Tak lama Hendi pun menyusul. Di tribun penonton kami duduk di jejeran yang sama. Secara berurutan ke samping, aku, Obi, Khalif, dan Hendi. Hasil pertandingan memang tidak terlalu menggembirakan bagi Rara. Dia finish di urutan kedua. Meskipun begitu, dia berhasil memperbaiki rekornya pada
Sindiran Pedas Istri Kedua Malam bertambah larut. Hening sudah menjadi penguasa. Harusnya tidur lelap menjadi hadiah bagi raga yang telah lelah. Namun, mata sepertinya sedang tidak mau untuk menjalin kerja sama. Aku melirik ke samping. Mata Obi telah merapat. Dadanya kembang-kempis beraturan. Sepertinya dia sudah terbuai di alam mimpi yang indah. Aku merubah posisi tidur, miring ke kiri memunggungi Obi. "Masih belum tidur?" Seketika aku menoleh ke belakang. "Kirain udah tidur." "Kenapa belum tidur? Masih ada yang dipikirin?" Obi merapatkan jarak denganku. "Nggak tahu, tiba-tiba ngantuknya hilang." Aku meluruskan posisi dan menarik selimut yang sudah berantakan. "Yang, aku mau nanya." "Ya." "Kamu cinta beneran nggak, sih, sama aku?" Aku menautkan alis lalu melirik heran pada Obi yang mendekatkan kepala ke bahuku. "Kok nanya begitu? Emangnya ada indikasi yang menunjukkan aku nggak cinta sama kamu?" "Jawab dulu, jangan nanya balik!" "Kamu duluan yang jawab!" Sesaat Obi dia
Sindiran Pedas Istri Kedua Sudah pukul dua siang lebih sedikit. Aku yang baru saja turun ke lantai satu, kembali lagi menaiki tangga dan menuju kamar Rara. "Ra, udah jadi disiapin semua bukunya? Setengah jam lagi Om jemput," sahutku dari depan pintu kamar Rara. "Iya, ini lagi nyiapin," Rara balas menyahut dari dalam kamar. Aku membuka pintu perlahan. Benar saja, Rara sedang menghadap ke meja belajarnya dengan tangan sibuk memilah buku. "Ya, udah. Mama jalan dulu, ya. Habis ini langsung mandi! Ingat, jangan minta syarat macam-macam sama Om!" "Iya, Mama,"jawab Rara sedikit cemberut. "Ra?" "Iya, janji!" Walaupun sudah hampir genap sepuluh tahun, tetapi belakangan ini Rara sedang berada pada fase pergolakan emosi yang sangat labil. Dia gampang sekali merajuk. Kadang susah sekali untuk mencapai kesepakatan dengannya dan susah untuk dibujuk. Ujung-ujungnya dia mogok untuk ikut les yang dulunya dia sendiri yang menginginkan. Kalau sudah sampai pada titik seperti itu, supaya kegiata
Sindiran Pedas Istri Kedua Seolah paham dengan apa yang berkecamuk di hatiku, Obi mengeratkan genggaman tangannya. Gerakan tangannya seolah memberi isyarat supaya aku tidak boleh dikalahkan oleh masa lalu. Aku harus buktikan bahwa aku sangat baik-baik saja. Aku harus menegakkan kepala dan menempatkan diri dengan elegan. Harus kutunjukkan pada wanita yang telah memporak-porandakan hidupku di masa lalu, bahwa aku tidak hancur karena dia. Aku memantapkan keyakinan dalam hati, aku sanggup untuk berada sedekat ini dengan mereka. Akan kutunjukkan bahwa dengan melepas masa lalu aku menjadi jauh lebih baik. Aku takkan menghindari pertemuan ini. Obi mengarahkan langkah ke bagian kiri ruangan. Suami Nena menyongsong kami dengan senyum semringah. Terlebih dahulu dia mengulurkan tangan menyalami Obi sebagai tanda hormat kepada kakak iparnya. Lalu dibumbui dengan pertanyaan basa-basi tentang kabar. "Bang, dari tadi?" tanya Obi pada Hendi tanpa berniat untuk mendekat ke arahnya. Bisa dibilang h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Jadinya kita ke mana?" tanya Obi begitu kami semua sudah berada di dalam mobil. "Nanti Syira kasih tahu, Om. Kita jalan aja dulu," jawab Syira yang masih saja berahasia. "Baiklah, Bos. Kita jalan sekarang," ujar Obi dengan tatapan gemas pada Syira. Syira meminta untuk makan di luar. Harusnya Sabtu kemarin. Obi telah menjanjikan pada anak-anak. Namun di luar perkiraan, ternyata pekerjaan Obi sedang padat dan harus segera dirampungkan sehingga mau tidak mau kami tidak bisa ke mana-mana. Dan itu membuat Syira merajuk sepanjang hari. Obi membujuk untuk menggantinya di hari yang lain. Dan tadi, entah apa yang membuatnya badmood lagi sehingga berujung pada permintaan untuk jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Bisa kupastikan, keinginan untuk makan di salah satu restoran di mall ini bukanlah satu-satunya tujuan anak bungsuku itu. Akan ada hal lain yang mengikuti nantinya. Memanfaatkan kelemahan Obi yang tidak tegaan untuk menolak permintaan anak-anak. "Di sini
Sindiran Pedas Istri Kedua Bapak tengah bersandar di sofa ruang tengah. Saat aku baru saja duduk, ibu datang dari dapur membawa segelas air putih hangat dan diberikan kepada Bapak. "Anak-anakmu mana?" tanya Bapak sedikit terbata. "Ada di luar sama papanya." "Sore sekali kamu ke sini, Nak? Tadi bilangnya sebelum Zuhur." "Rencananya memang begitu, Pak. Tadi selesai dari sekolah Tiara mau langsung ke sini. Cuma, Obi pengen ditungguin. Dia mau menyelesaikan pekerjaan yang buat besok, biar dia juga nggak ngantor besoknya. Biar enak fokus sama keluarga seharian," terangku pada Bapak. Bapak mengangguk dengan menyunggingkan sedikit senyum."Sekarang ke mana Obi? Di luar juga sama Hendi?" "Lagi jemput Khalif. Tadi habis nurunin kami, dia langsung jalan lagi," jawabku sambil memijit lengan Bapak."Tumben Hendi ke sini. Ada apa, Pak?" Akhirnya rasa penasaran mengalahkan aku. "Tadi waktu Bapak lagi di luar, Hendi lewat. Disuruh mampir sama Bapak," sela Ibu. "Bapak hanya ingin saja ngobro
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,