Sindiran Pedas Istri Kedua "Sayang, Rara nyariin. Pertandingannya sebentar lagi dimulai." Aku dan Hendi sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. Obi sudah berdiri di belakang kami tepat di antara aku dan Hendi. Tak menjeda waktu terlalu lama, aku meraih tas yang berada di samping. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku bangkit dan melangkah menuju Obi. Kulihat Hendi tidak bereaksi apa-apa. Malah dia abai terhadap kehadiran Obi. Pun begitu dengan Obi. Keberadaan Hendi seperti kasat mata baginya. Pada jarak yang sangat tipis, Obi meraih tanganku dan digenggam selama kami berjalan menuju area perlombaan. Setelah menemui Rara dan memberikan semangat padanya, kami segera ke tempat duduk penonton. Tak lama Hendi pun menyusul. Di tribun penonton kami duduk di jejeran yang sama. Secara berurutan ke samping, aku, Obi, Khalif, dan Hendi. Hasil pertandingan memang tidak terlalu menggembirakan bagi Rara. Dia finish di urutan kedua. Meskipun begitu, dia berhasil memperbaiki rekornya pada
Sindiran Pedas Istri Kedua Malam bertambah larut. Hening sudah menjadi penguasa. Harusnya tidur lelap menjadi hadiah bagi raga yang telah lelah. Namun, mata sepertinya sedang tidak mau untuk menjalin kerja sama. Aku melirik ke samping. Mata Obi telah merapat. Dadanya kembang-kempis beraturan. Sepertinya dia sudah terbuai di alam mimpi yang indah. Aku merubah posisi tidur, miring ke kiri memunggungi Obi. "Masih belum tidur?" Seketika aku menoleh ke belakang. "Kirain udah tidur." "Kenapa belum tidur? Masih ada yang dipikirin?" Obi merapatkan jarak denganku. "Nggak tahu, tiba-tiba ngantuknya hilang." Aku meluruskan posisi dan menarik selimut yang sudah berantakan. "Yang, aku mau nanya." "Ya." "Kamu cinta beneran nggak, sih, sama aku?" Aku menautkan alis lalu melirik heran pada Obi yang mendekatkan kepala ke bahuku. "Kok nanya begitu? Emangnya ada indikasi yang menunjukkan aku nggak cinta sama kamu?" "Jawab dulu, jangan nanya balik!" "Kamu duluan yang jawab!" Sesaat Obi dia
Sindiran Pedas Istri Kedua Sudah pukul dua siang lebih sedikit. Aku yang baru saja turun ke lantai satu, kembali lagi menaiki tangga dan menuju kamar Rara. "Ra, udah jadi disiapin semua bukunya? Setengah jam lagi Om jemput," sahutku dari depan pintu kamar Rara. "Iya, ini lagi nyiapin," Rara balas menyahut dari dalam kamar. Aku membuka pintu perlahan. Benar saja, Rara sedang menghadap ke meja belajarnya dengan tangan sibuk memilah buku. "Ya, udah. Mama jalan dulu, ya. Habis ini langsung mandi! Ingat, jangan minta syarat macam-macam sama Om!" "Iya, Mama,"jawab Rara sedikit cemberut. "Ra?" "Iya, janji!" Walaupun sudah hampir genap sepuluh tahun, tetapi belakangan ini Rara sedang berada pada fase pergolakan emosi yang sangat labil. Dia gampang sekali merajuk. Kadang susah sekali untuk mencapai kesepakatan dengannya dan susah untuk dibujuk. Ujung-ujungnya dia mogok untuk ikut les yang dulunya dia sendiri yang menginginkan. Kalau sudah sampai pada titik seperti itu, supaya kegiata
Sindiran Pedas Istri Kedua Seolah paham dengan apa yang berkecamuk di hatiku, Obi mengeratkan genggaman tangannya. Gerakan tangannya seolah memberi isyarat supaya aku tidak boleh dikalahkan oleh masa lalu. Aku harus buktikan bahwa aku sangat baik-baik saja. Aku harus menegakkan kepala dan menempatkan diri dengan elegan. Harus kutunjukkan pada wanita yang telah memporak-porandakan hidupku di masa lalu, bahwa aku tidak hancur karena dia. Aku memantapkan keyakinan dalam hati, aku sanggup untuk berada sedekat ini dengan mereka. Akan kutunjukkan bahwa dengan melepas masa lalu aku menjadi jauh lebih baik. Aku takkan menghindari pertemuan ini. Obi mengarahkan langkah ke bagian kiri ruangan. Suami Nena menyongsong kami dengan senyum semringah. Terlebih dahulu dia mengulurkan tangan menyalami Obi sebagai tanda hormat kepada kakak iparnya. Lalu dibumbui dengan pertanyaan basa-basi tentang kabar. "Bang, dari tadi?" tanya Obi pada Hendi tanpa berniat untuk mendekat ke arahnya. Bisa dibilang h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Jadinya kita ke mana?" tanya Obi begitu kami semua sudah berada di dalam mobil. "Nanti Syira kasih tahu, Om. Kita jalan aja dulu," jawab Syira yang masih saja berahasia. "Baiklah, Bos. Kita jalan sekarang," ujar Obi dengan tatapan gemas pada Syira. Syira meminta untuk makan di luar. Harusnya Sabtu kemarin. Obi telah menjanjikan pada anak-anak. Namun di luar perkiraan, ternyata pekerjaan Obi sedang padat dan harus segera dirampungkan sehingga mau tidak mau kami tidak bisa ke mana-mana. Dan itu membuat Syira merajuk sepanjang hari. Obi membujuk untuk menggantinya di hari yang lain. Dan tadi, entah apa yang membuatnya badmood lagi sehingga berujung pada permintaan untuk jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Bisa kupastikan, keinginan untuk makan di salah satu restoran di mall ini bukanlah satu-satunya tujuan anak bungsuku itu. Akan ada hal lain yang mengikuti nantinya. Memanfaatkan kelemahan Obi yang tidak tegaan untuk menolak permintaan anak-anak. "Di sini
Sindiran Pedas Istri Kedua Bapak tengah bersandar di sofa ruang tengah. Saat aku baru saja duduk, ibu datang dari dapur membawa segelas air putih hangat dan diberikan kepada Bapak. "Anak-anakmu mana?" tanya Bapak sedikit terbata. "Ada di luar sama papanya." "Sore sekali kamu ke sini, Nak? Tadi bilangnya sebelum Zuhur." "Rencananya memang begitu, Pak. Tadi selesai dari sekolah Tiara mau langsung ke sini. Cuma, Obi pengen ditungguin. Dia mau menyelesaikan pekerjaan yang buat besok, biar dia juga nggak ngantor besoknya. Biar enak fokus sama keluarga seharian," terangku pada Bapak. Bapak mengangguk dengan menyunggingkan sedikit senyum."Sekarang ke mana Obi? Di luar juga sama Hendi?" "Lagi jemput Khalif. Tadi habis nurunin kami, dia langsung jalan lagi," jawabku sambil memijit lengan Bapak."Tumben Hendi ke sini. Ada apa, Pak?" Akhirnya rasa penasaran mengalahkan aku. "Tadi waktu Bapak lagi di luar, Hendi lewat. Disuruh mampir sama Bapak," sela Ibu. "Bapak hanya ingin saja ngobro
Sindiran Pedas Istri Kedua Obi menatapku dengan wajah tegang lalu menggeleng pelan. Aku menggeleng tidak percaya. Aku yakin Obi salah. Aku kembali mendekat dan meraih tangan bapak. Terasa dingin. Aku kembali menatap Obi. Berharap sebuah penguatan darinya, bahwa semua ini salah. Namun, Obi tetap setia dalam geming. Tak sekadar diam, wajah Obi pun diliputi sendu. Persendianku terasa lunglai. Tak terasa air mata pun luruh begitu saja. "Nggak, nggak mungkin ... nggak mungkin," lirihku. "Sayang, kamu tenang dulu. Tunggu di sini, aku akan segera kembali." Obi bergegas keluar kamar. Di pintu kamar, Obi berpapasan dengan ibu dan Khalif yang hendak masuk ke kamar. "Kak, ajak dulu adik-adik salat," ujar Obi karena di saat bersamaan terdengar azan berkumandang. "Kakek kenapa?" Khalif segera mendekat diikuti Ibu. Kami hanya mampu saling berpandangan setelah mereka meraba tangan serta wajah Bapak. Ibu terduduk lemas di sisi tempat tidur. Pelan, ibu mengusap wajah bapak dari dahi hingga dagu
Sindiran Pedas Istri Kedua Rumah berangsur sepi. Sanak saudara yang tak seberapa jumlahnya satu per satu pamit kembali ke daerah asalnya. Aroma duka dan kehilangan masih sangat kental terasa. Rumah yang sudah puluhan tahun menjadi tempat tinggal kami seperti kehilangan rohnya. Tempat-tempat yang biasa menjadi favorit bapak takkan pernah lagi kutemui bapak di sana. Tidak akan lagi yang betah berlama-lama duduk di teras samping memperhatikan anak-anak ayam memperebutkan butiran beras yang dihamburkan. Kegiatan yang selalu dilakukan bapak setiap pagi dan sore. Semalam diadakan tahlilan dan pengajian, begitu juga dengan malam ini dan besok. Hanya itu bakti terakhir yang bisa kami persembahkan untuk bapak. Tiada lagi selain doa, doa, dan doa. Entah itu langsung dari hati dan mulut kami ataupun melalui lantunan orang lain, serta kebaikan-kebaikan yang niatkan atas nama bapak. Semoga akan membantu bapak di kehidupannya di alam sana. Kehidupan yang juga akan aku dan semua orang datangi. Ha