Sindiran Pedas Istri Kedua Rumah berangsur sepi. Sanak saudara yang tak seberapa jumlahnya satu per satu pamit kembali ke daerah asalnya. Aroma duka dan kehilangan masih sangat kental terasa. Rumah yang sudah puluhan tahun menjadi tempat tinggal kami seperti kehilangan rohnya. Tempat-tempat yang biasa menjadi favorit bapak takkan pernah lagi kutemui bapak di sana. Tidak akan lagi yang betah berlama-lama duduk di teras samping memperhatikan anak-anak ayam memperebutkan butiran beras yang dihamburkan. Kegiatan yang selalu dilakukan bapak setiap pagi dan sore. Semalam diadakan tahlilan dan pengajian, begitu juga dengan malam ini dan besok. Hanya itu bakti terakhir yang bisa kami persembahkan untuk bapak. Tiada lagi selain doa, doa, dan doa. Entah itu langsung dari hati dan mulut kami ataupun melalui lantunan orang lain, serta kebaikan-kebaikan yang niatkan atas nama bapak. Semoga akan membantu bapak di kehidupannya di alam sana. Kehidupan yang juga akan aku dan semua orang datangi. Ha
Sindiran Pedas Istri Kedua "Seingat ibu, orang tua Obi berpisah waktu Obi berumur lima atau enam tahun. Setelah itu, ayahnya tidak pernah ke sini-sini lagi," ungkap ibu menjawab pertanyaanku yang selama ini memang tidak banyak tahu mengenai kisah ayah dan ibunya Obi. Bisa dibilang tidak pernah ada pembahasan tentang cerita lalu orang tua Obi selama kami bersama. Pun begitu dengan bapak dan ibu, tidak pernah sekali pun mengungkit-ungkit cerita tentang ayah Obi meskipun mereka mengenalnya. Mungkin juga sangat mengenal di waktu itu. Terlebih tadi kudengar ketakjuban yang terlontar dari ayah Obi terkait pernikahan kami. "Tak disangka sama sekali ternyata saya dan Hasim benar-benar berbesanan." Kalau menurutku, bisa diartikan bahwa dulu mungkin saja ada candaan ataupun perandaian antara bapak dan ayah Obi jika kelak anak-anak mereka telah dewasa. "Iya, ternyata mereka berjodoh. Mereka menikah tahun lalu," jelas ibu lebih lanjut. Sementara aku lebih banyak menjadi pendengar karena bi
Sindiran Pedas Istri Kedua "Alhmaadulillah, kamu akhirnya mau datang juga, Bi." Pak Hardi langsung berdiri menyambut begitu kami masuk. Dia tersenyum lebar pada kami. Namun, tidak disambut dengan hal yang sama oleh Obi. Dia hanya tersenyum tipis. Itu pun sesaat. Hanya aku yang menyalami Pak Hardi. Sementara Obi fokusnya lebih tertuju pada Hakim walaupun ekspresinya datar-datar saja. "Hakim, ini Obi dan istrinya." Pak Hardi mengenalkan kami pada Hakim. Aku pun menyapa Hakim dengan sedikit senyum. Begitupun yang dilakukan Hakim. Tidak ada reaksi yang berlebihan yang menunjukkan bahwa kami adalah tiga orang yang pernah sangat dekat satu sama lainnya. Malah Obi tidak menyapa sama sekali. Walaupun Pak Hardi dan Hakim nampaknya dapat memaklumi sikap Obi, tetap saja aku merasa tidak enak hati. Tentu saja yang membuat aku kurang suka adalah sikap ramah yang selama ini dimiliki Obi menghilang begitu saja. Tanpa meninggalkan sisa sedikit pun. "Sambil menunggu menu, kita ngobrol dulu aja,
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, tolong ke depan sebentar dong! Itu yang datang orang dari kantor kayaknya," teriak Obi dari dalam kamar. "Iya." Aku segera menuju pintu depan. Ternyata yang datang bukanlah orang dari kantor Obi, melainkan dua orang yang tidak aku sangka akan mengunjungi kami. Entah Obi akan senang dengan kedatangan mereka atau tidak. Aku mempersilakan kedua tamu yang tidak disangka-sangka kehadirannya itu untuk masuk. "Yang ... ada di mana? Dokumennya ditaruh di mana?" Terdengar suara Obi yang baru saja keluar kamar dan mencariku ke ruang tamu. Obi memperlambat langkah begitu menyadari kalau aku tidak sendiri di ruang tamu. Dia berdiri tidak jauh dari posisi aku duduk. Matanya tertuju pada dua orang tengah duduk bersamaku yang tak lain adalah Hakim dan juga mamanya. Obi hanya mengenakan celana pendek tanpa memakai baju dengan handuk dikalungkan di leher. Rambutnya masih basah. Mungkin sadar akan penampilannya, Obi langsung mundur dan kembali ke kamar. Aku pun
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak