Sindiran Pedas Istri Kedua Seolah paham dengan apa yang berkecamuk di hatiku, Obi mengeratkan genggaman tangannya. Gerakan tangannya seolah memberi isyarat supaya aku tidak boleh dikalahkan oleh masa lalu. Aku harus buktikan bahwa aku sangat baik-baik saja. Aku harus menegakkan kepala dan menempatkan diri dengan elegan. Harus kutunjukkan pada wanita yang telah memporak-porandakan hidupku di masa lalu, bahwa aku tidak hancur karena dia. Aku memantapkan keyakinan dalam hati, aku sanggup untuk berada sedekat ini dengan mereka. Akan kutunjukkan bahwa dengan melepas masa lalu aku menjadi jauh lebih baik. Aku takkan menghindari pertemuan ini. Obi mengarahkan langkah ke bagian kiri ruangan. Suami Nena menyongsong kami dengan senyum semringah. Terlebih dahulu dia mengulurkan tangan menyalami Obi sebagai tanda hormat kepada kakak iparnya. Lalu dibumbui dengan pertanyaan basa-basi tentang kabar. "Bang, dari tadi?" tanya Obi pada Hendi tanpa berniat untuk mendekat ke arahnya. Bisa dibilang h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Jadinya kita ke mana?" tanya Obi begitu kami semua sudah berada di dalam mobil. "Nanti Syira kasih tahu, Om. Kita jalan aja dulu," jawab Syira yang masih saja berahasia. "Baiklah, Bos. Kita jalan sekarang," ujar Obi dengan tatapan gemas pada Syira. Syira meminta untuk makan di luar. Harusnya Sabtu kemarin. Obi telah menjanjikan pada anak-anak. Namun di luar perkiraan, ternyata pekerjaan Obi sedang padat dan harus segera dirampungkan sehingga mau tidak mau kami tidak bisa ke mana-mana. Dan itu membuat Syira merajuk sepanjang hari. Obi membujuk untuk menggantinya di hari yang lain. Dan tadi, entah apa yang membuatnya badmood lagi sehingga berujung pada permintaan untuk jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Bisa kupastikan, keinginan untuk makan di salah satu restoran di mall ini bukanlah satu-satunya tujuan anak bungsuku itu. Akan ada hal lain yang mengikuti nantinya. Memanfaatkan kelemahan Obi yang tidak tegaan untuk menolak permintaan anak-anak. "Di sini
Sindiran Pedas Istri Kedua Bapak tengah bersandar di sofa ruang tengah. Saat aku baru saja duduk, ibu datang dari dapur membawa segelas air putih hangat dan diberikan kepada Bapak. "Anak-anakmu mana?" tanya Bapak sedikit terbata. "Ada di luar sama papanya." "Sore sekali kamu ke sini, Nak? Tadi bilangnya sebelum Zuhur." "Rencananya memang begitu, Pak. Tadi selesai dari sekolah Tiara mau langsung ke sini. Cuma, Obi pengen ditungguin. Dia mau menyelesaikan pekerjaan yang buat besok, biar dia juga nggak ngantor besoknya. Biar enak fokus sama keluarga seharian," terangku pada Bapak. Bapak mengangguk dengan menyunggingkan sedikit senyum."Sekarang ke mana Obi? Di luar juga sama Hendi?" "Lagi jemput Khalif. Tadi habis nurunin kami, dia langsung jalan lagi," jawabku sambil memijit lengan Bapak."Tumben Hendi ke sini. Ada apa, Pak?" Akhirnya rasa penasaran mengalahkan aku. "Tadi waktu Bapak lagi di luar, Hendi lewat. Disuruh mampir sama Bapak," sela Ibu. "Bapak hanya ingin saja ngobro
Sindiran Pedas Istri Kedua Obi menatapku dengan wajah tegang lalu menggeleng pelan. Aku menggeleng tidak percaya. Aku yakin Obi salah. Aku kembali mendekat dan meraih tangan bapak. Terasa dingin. Aku kembali menatap Obi. Berharap sebuah penguatan darinya, bahwa semua ini salah. Namun, Obi tetap setia dalam geming. Tak sekadar diam, wajah Obi pun diliputi sendu. Persendianku terasa lunglai. Tak terasa air mata pun luruh begitu saja. "Nggak, nggak mungkin ... nggak mungkin," lirihku. "Sayang, kamu tenang dulu. Tunggu di sini, aku akan segera kembali." Obi bergegas keluar kamar. Di pintu kamar, Obi berpapasan dengan ibu dan Khalif yang hendak masuk ke kamar. "Kak, ajak dulu adik-adik salat," ujar Obi karena di saat bersamaan terdengar azan berkumandang. "Kakek kenapa?" Khalif segera mendekat diikuti Ibu. Kami hanya mampu saling berpandangan setelah mereka meraba tangan serta wajah Bapak. Ibu terduduk lemas di sisi tempat tidur. Pelan, ibu mengusap wajah bapak dari dahi hingga dagu
Sindiran Pedas Istri Kedua Rumah berangsur sepi. Sanak saudara yang tak seberapa jumlahnya satu per satu pamit kembali ke daerah asalnya. Aroma duka dan kehilangan masih sangat kental terasa. Rumah yang sudah puluhan tahun menjadi tempat tinggal kami seperti kehilangan rohnya. Tempat-tempat yang biasa menjadi favorit bapak takkan pernah lagi kutemui bapak di sana. Tidak akan lagi yang betah berlama-lama duduk di teras samping memperhatikan anak-anak ayam memperebutkan butiran beras yang dihamburkan. Kegiatan yang selalu dilakukan bapak setiap pagi dan sore. Semalam diadakan tahlilan dan pengajian, begitu juga dengan malam ini dan besok. Hanya itu bakti terakhir yang bisa kami persembahkan untuk bapak. Tiada lagi selain doa, doa, dan doa. Entah itu langsung dari hati dan mulut kami ataupun melalui lantunan orang lain, serta kebaikan-kebaikan yang niatkan atas nama bapak. Semoga akan membantu bapak di kehidupannya di alam sana. Kehidupan yang juga akan aku dan semua orang datangi. Ha
Sindiran Pedas Istri Kedua "Seingat ibu, orang tua Obi berpisah waktu Obi berumur lima atau enam tahun. Setelah itu, ayahnya tidak pernah ke sini-sini lagi," ungkap ibu menjawab pertanyaanku yang selama ini memang tidak banyak tahu mengenai kisah ayah dan ibunya Obi. Bisa dibilang tidak pernah ada pembahasan tentang cerita lalu orang tua Obi selama kami bersama. Pun begitu dengan bapak dan ibu, tidak pernah sekali pun mengungkit-ungkit cerita tentang ayah Obi meskipun mereka mengenalnya. Mungkin juga sangat mengenal di waktu itu. Terlebih tadi kudengar ketakjuban yang terlontar dari ayah Obi terkait pernikahan kami. "Tak disangka sama sekali ternyata saya dan Hasim benar-benar berbesanan." Kalau menurutku, bisa diartikan bahwa dulu mungkin saja ada candaan ataupun perandaian antara bapak dan ayah Obi jika kelak anak-anak mereka telah dewasa. "Iya, ternyata mereka berjodoh. Mereka menikah tahun lalu," jelas ibu lebih lanjut. Sementara aku lebih banyak menjadi pendengar karena bi
Sindiran Pedas Istri Kedua "Alhmaadulillah, kamu akhirnya mau datang juga, Bi." Pak Hardi langsung berdiri menyambut begitu kami masuk. Dia tersenyum lebar pada kami. Namun, tidak disambut dengan hal yang sama oleh Obi. Dia hanya tersenyum tipis. Itu pun sesaat. Hanya aku yang menyalami Pak Hardi. Sementara Obi fokusnya lebih tertuju pada Hakim walaupun ekspresinya datar-datar saja. "Hakim, ini Obi dan istrinya." Pak Hardi mengenalkan kami pada Hakim. Aku pun menyapa Hakim dengan sedikit senyum. Begitupun yang dilakukan Hakim. Tidak ada reaksi yang berlebihan yang menunjukkan bahwa kami adalah tiga orang yang pernah sangat dekat satu sama lainnya. Malah Obi tidak menyapa sama sekali. Walaupun Pak Hardi dan Hakim nampaknya dapat memaklumi sikap Obi, tetap saja aku merasa tidak enak hati. Tentu saja yang membuat aku kurang suka adalah sikap ramah yang selama ini dimiliki Obi menghilang begitu saja. Tanpa meninggalkan sisa sedikit pun. "Sambil menunggu menu, kita ngobrol dulu aja,
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, tolong ke depan sebentar dong! Itu yang datang orang dari kantor kayaknya," teriak Obi dari dalam kamar. "Iya." Aku segera menuju pintu depan. Ternyata yang datang bukanlah orang dari kantor Obi, melainkan dua orang yang tidak aku sangka akan mengunjungi kami. Entah Obi akan senang dengan kedatangan mereka atau tidak. Aku mempersilakan kedua tamu yang tidak disangka-sangka kehadirannya itu untuk masuk. "Yang ... ada di mana? Dokumennya ditaruh di mana?" Terdengar suara Obi yang baru saja keluar kamar dan mencariku ke ruang tamu. Obi memperlambat langkah begitu menyadari kalau aku tidak sendiri di ruang tamu. Dia berdiri tidak jauh dari posisi aku duduk. Matanya tertuju pada dua orang tengah duduk bersamaku yang tak lain adalah Hakim dan juga mamanya. Obi hanya mengenakan celana pendek tanpa memakai baju dengan handuk dikalungkan di leher. Rambutnya masih basah. Mungkin sadar akan penampilannya, Obi langsung mundur dan kembali ke kamar. Aku pun
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,