Sindiran Pedas Istri Kedua "Telah lama merasakan lega. Menjalani hari-hari hanya untuk mengejar mimpi serta memberi bahagia untuk orang-orang tercinta. Telah terlalu biasa dengan diri sendiri. Menentukan sendiri apa yang hendak dimiliki. Dunia terasa lepas, tak berbeban!Semua hening dalam tentram. Sekarang, beban-beban baru kembali bermunculan. Mengguncang hati yang telah lama tenang. Satu per satu cerita baru membentang, mengoyak renda yang telah disulam dengan penuh perjuangan.Hati kembali tak tenang, pikiran kembali dihimpit desakan-desakan yang mungkin takkan berkesudahan. Salahkah jalan yang sudah kupilih? Tunas sesal perlahan menyeruak, menyibak mencari udara untuk memberlangsungkan hidup. Kenapa dulu harus memajukan langkah jika jalan di tempat saja jauh lebih baik?Kutahu, pemikiran seperti itu tidak boleh ada. Akan tetapi, aku tak siap sama sekali jika harus kembali mengecap hari-hari yang sama. Hari-hari pernah menjadi kenyataan buruk dalam hidupku. Aku sudah terlanju
Sindiran Pedas Istri Kedua "Mau ke mana aja hari ini, Sayang?" tanya Obi begitu melewati meja makan. Dia menyempatkan untuk menjawil pipiku lalu dilanjutkan dengan mencubit gemas pipi Rara. Sementara Syira menyodorkan pipi gembulnya untuk dicium oleh Obi. "Lumayan padat hari ini. Dari sekolah ke gudang, ke kantor atau sebaliknya. Terus ada undangan juga dari Mbak Vania, mau ada launching varian baru untuk krim wajah. Tapi semuanya situasional aja, sih. Mana yang sempat aja." "Sayang, ingat, ya, jangan terlalu dipaksakan, jangan kecapekan! Aku ngebiarin kamu tetap melakukan semuanya ini tak lebih untuk menghargai hasil pencapaian kamu selama ini. Bukan untuk mengejar materi lagi. Semua kebutuhan harus tetap aku yang cover. Jadi, lakukan semuanya seenjoy mungkin. Sekiranya bakal menjadi beban pikiran, jangan dilanjut!" "Iya, ingat, kok," jawabku meyakinkan Obi. Kalimat semacam ini hampir tiap pagi diucapkan Obi selama seminggu ini. Terhitung sejak aku mulai beraktifitas normal lagi
Sindiran Pedas Istri Kedua "Kamu hanya ingin sekadar menghancurkan hubungan aku dan Hakim lalu kamu tertawa puas di atas kehancuran dan rasa malu yang kutanggung. Begitu?" Tatapan tajam kembali diberikan Sandra padaku. "Aku cuma mau ngasih tahu sesuatu. Terserah kamu mau percaya atau bahkan tidak mau tahu sama sekali juga nggak masalah. Yang penting sudah aku katakan." Sandra mengdengkus dan membuang pandangan mendengar retorikaku. "Aku sama sekali tidak pernah tahu apalagi terlibat dalam kehidupan kamu. Aku dan Hakim hampir tidak pernah membicarakan hal-hal privasi. Meskipun kami berteman dekat, tapi aku baru tahu kamu di hari pertunangan kalian dan aku tahu bahwa hubungan kalian berakhir itu dua bulan setelahnya. Itu pun aku tidak tahu langsung dari Hakim." "Wow, dongeng yang sangat indah." Sandra memberi reaksi dengan sinis. "Kenyataannya memang begitu. Kamu mau percaya atau tidak, aku juga nggak peduli. Tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap hidupku." "Aku nggak menyangka
Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak sarapan lagi?" Obi menatap heran padaku. "Nggak selera sama sekali, Bi." "Dipaksain, dong, Sayang. Atau maunya apa? Menu yang lain?" Aku menggeleng pelan. "Nggak ada yang enak di lidah aku." "Gimana kalau ntar siang kita nyari tempat makan yang kira-kira kamu suka. Searching aja dulu, habis itu kabarin aku. Biar aku jemput siangnya." "Nggak usah, Bi. Kamu lagi sibuk juga, kan? Kalau ntar sore kamu bisa nemenin aku nggak? Aku mau ke doker aja." "Siang aja. Ntar aku kondisiin jadwalku." "Sore aja. Siangnya aku juga rada repot." "Yang, kamu lagi nggak fit kondisinya. Dikurangin dulu aktivitasnya. Kamu limpahin aja beberapa wewenang sama yang lain. Misalnya sama Nisa. Dia kan udah lama ikut sama kamu. Dia anaknya juga nggak macam-macam, bukan?" "Iya," jawabku pendek sambil memainkan sendok pada segelas susu yang sama sekali tidak ingin kuminum. "Jangan iya, iya aja! Dilakuin benaran." Lagi Obi mengulang anjuran. Sepertinya dia tidak puas deng
Sindiran Pedas Istri Kedua Obi kembali mengusap-usap kepalaku tetapi tidak berkata apa-apa. Dia membiarkan aku untuk menumpahkan semua yang terasa menyesakkan dada. Berkali-kali Obi menyekakan air mata yang bagai tiada habisnya. Memang, di saat-saat tertentu, kita tidak membutuhkan kata-kata sebagai penghibur atau pun untuk menguatkan. Cukup diberi ruang untuk menumpahkan perasaan lewat tangisan juga bisa memberikan kelegaan. Mungkin itu sedang Obi lakukan padaku. Karena sejatinya pun dia juga butuh ruang dan waktu untuk menata hati agar bisa menerima kenyataan dengan ikhlas. Mengetahui kabar bahagia yang sangat dinanti-nantikan, dan di saat itu juga harus kehilangan tentunya adalah kenyataan yang sangat memilukan. Siapa pun pasti akan shock, termasuk Obi. Walaupun tidak pernah mengutarakan ingin segera memiliki buah hati, tetapi selayaknya orang normal, pasti dia sangat menginginkannya. Obi pasti sangat shock dengan kenyataan ini. Hanya saja karena sudah terlebih dahulu tahu, j
Sindiran Pedas Istri Kedua Detik selanjutnya setelah pesan itu kubuka, nomor yang tak tersimpan tersebut melakukan panggilan masuk. Aku sedikit kaget dan deg-degan dibuatnya. Apalagi yang menjadi foto profilnya hanyalah berupa gedung pencakar langit. Entah siapa pemilik nomor tersebut. Semoga saja bukan nama yang telah menjadi tersangka di otakku. Aku menyerahkan ponselnya pada Obi. Meskipun Obi tidak akan keberatan kalau aku menerima telepon itu, tetapi aku tidak ingin terlalu jauh mengusik privasinya. Sesaat Obi mengamati deretan nomor tersebut hingga akhirnya dia pun menempelkan ponsel ke telinga. "Oh, Mas Arga. Maaf-maaf, Mas, nomornya lupa disave. Jadi, gimana, Mas?" "Kembali saya mohon maaf yang teramat sangat, Mas. Siang ini saya nggak bisa. Saya lagi dampingin istri saya di rumah sakit ni, Mas." "Baik, Mas. Terima kasih atas pengertiannya. Nanti saya yang hubungi Mas Arga." Setelah mengakhiri percakapannya, Obi kembali mengarahkan pandangan padaku. "Mau nelepon dulu ap
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku melemparkan dengan kasar tas serta map berisi beberapa dokumen ke dalam mobil. Setelah duduk di depan setir, aku menutup pintu juga tak kalah kerasnya. Setelah mesin dinyalakan, langsung aku menginjak gas. Di saat yang bersamaan, air mataku pun jatuh bercucuran. Sepanjang perjalanan aku ditemani oleh derai air mata yang semakin lama makin deras. Hatiku benar-benar seperti di remuk-remuk. Kecewa, kesal, marah, sakit, perih, pedih, semuanya berbaur. Untungnya jarak yang kutempuh tidak terlalu jauh. Berkali-kali aku gagal memfokuskan perhatian pada jalan. Untung saja tidak sampai terjadi apa-apa. Beberapa meter menuju kantor, aku minggir dulu ke tepi jalan. Kulihat pantulan wajah lewat spion depan. Aku sangat kacau. Mataku memerah dan bengkak. Aku rasa setebal apa pun riasan takkan bisa menyamarkan suasana hati yang tergambar lewat wajahku. Puluhan lembar tisu telah kuhabiskan untuk menyeka air mata. Namun, lagi dan lagi ia masih keluar. Seolah berlite
Sindiran Pedas Istri Kedua Ketika aku memasuki halaman, Obi sudah duduk di teras dengan jari-jari sedang aktif di layar HP. Aku menarik napas panjang setelah menutup pintu mobil. Kemudian berjalan sebiasa mungkin melewati Obi. Tatapan Obi sudah beralih padaku. Namun, aku tetap memasang ekspresi datar. Aku sedang tidak bisa untuk membaik-baikan sikap. Kalau biasanya akan ada peluk, cium, serta binar bahagia jika kami berjumpa walaupun pisahnya hanya hitungan satu sampai dua jam saja. Tapi untuk saat ini, jangankan tersenyum, melirik saja aku tidak tergugah. Aku pun berlalu begitu saja di hadapan Obi. Obi langsung bangkit dan mengekori aku. "Sayang, kamu dari mana?" Terdengar tanya Obi dengan suara mendesak begitu kami memasuki ruang tamu. Obi menahan lenganku sehingga aku terpaksa berhenti. Dengan rasa enggan, aku melirik sekilas pada Obi. Merasa pegangan Obi di lenganku sudah melonggar, aku menarik tangan lalu meneruskan langkah. Aku menuju tangga, bermaksud ingin ke kamar atas.
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,