Sindiran Pedas Istri Kedua Ketika aku memasuki halaman, Obi sudah duduk di teras dengan jari-jari sedang aktif di layar HP. Aku menarik napas panjang setelah menutup pintu mobil. Kemudian berjalan sebiasa mungkin melewati Obi. Tatapan Obi sudah beralih padaku. Namun, aku tetap memasang ekspresi datar. Aku sedang tidak bisa untuk membaik-baikan sikap. Kalau biasanya akan ada peluk, cium, serta binar bahagia jika kami berjumpa walaupun pisahnya hanya hitungan satu sampai dua jam saja. Tapi untuk saat ini, jangankan tersenyum, melirik saja aku tidak tergugah. Aku pun berlalu begitu saja di hadapan Obi. Obi langsung bangkit dan mengekori aku. "Sayang, kamu dari mana?" Terdengar tanya Obi dengan suara mendesak begitu kami memasuki ruang tamu. Obi menahan lenganku sehingga aku terpaksa berhenti. Dengan rasa enggan, aku melirik sekilas pada Obi. Merasa pegangan Obi di lenganku sudah melonggar, aku menarik tangan lalu meneruskan langkah. Aku menuju tangga, bermaksud ingin ke kamar atas.
Sindiran Pedas Istri Kedua Balai Diklat Pendidikan dan Pelatihan Provinsi, di sinilah aku berada. Menjadi salah satu peserta diklat dari puluhan peserta se-provinsi. Datang dengan hati yang tidak lapang membuat apa pun yang dilakukan tidak ada yang menyenangkan. Begitu susah untukku memusatkan perhatian. Ajang ini semula kuharap akan menjadi sarana untuk healing karena fokusku akan teralihkan dengan kegiatan yang padat serta bertemu dengan beberapa teman lama dan tentunya juga akan berbaur dengan wajah-wajah baru. Namun itu hanya dalam perandaian saja. Nyatanya, seringkali jiwa dan ragaku tak ada di tempat yang sama. Dari pada ikut larut dalam cengkrama, aku lebih memilih menyepi dalam sunyi. Beberapa kali juga Hakim mencari kesempatan untuk berbincang berdua denganku. Namun, selalu hindari pertemuan dengannya. Sejak hari pertama berjumpa dengannya di tempat registrasi, aku selalu membentang jarak. Walaupun pernah sekali kami duduk berdampingan, tetapi tidaklah sempat berbicara
Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak turun?" Obi mengubah posisi duduknya sehingga menghadap padaku. Sudah beberapa menit semenjak mobil terparkir sempurna. Namun, aku masih juga betah duduk bersandar. Tak terusik sama sekali dengan hingar bingar di sekitar. Mataku tertuju pada gulungan ombak yang berlomba dengan angin lalu menghempas dengan riuh ke bibir pantai. Pantainya tidak terlalu landai. Bahkan hanya beberapa puluh meter dari jalan raya. Pantai ini tidak jauh dari gedung diklat. Hanya karena akses jalan sehingga memperpanjang waktu tempuh. Dari kampus kami dahulu juga tidak terlalu jauh. Bisa dikatakan ini adalah tempat nongkrong favorit mahasiswa. Jajanan serta makanannya selain murah meriah juga enak-enak. Setelah selesai dengan kegiatan organisasi yang kadang sangat menyita waktu dan tenaga, kawasan sepanjang garis pantai inilah yang menjadi tempat melepas lelah. Sekadar berlari atau berjalan di sepanjang hamparan pasir. Membiarkan kaki disapu sisa-sisa hempasan ombak atau
Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak mau, Mbak Nana!" Terdengar suara Rara di luar. Aku yang beberapa saat sama-sama terhipnotis di depan cermin bersama Obi, buru-buru melepas kerudung. Setelah itu, segera keluar untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Rara. Di ruang keluarga di lantai dua, Rara tengah tidur telungkup di sofa. Dia memyembunyikan wajahnya ke bantal. Tak hanya itu, dia pun menutup kepala dengan guling. Sementara di sampingnya ada Ibu yang tengah mencoba membujuk. Tak ketinggalan Mbak Nana yang tengah memegang sendok dan botol obat. "Kenapa, Na?" "Ini, Bu, antibiotiknya. Dari pagi belum diminum sama Rara." Nana memperlihatkan padaku. "Ra," "Rara nggak suka rasanya, Ma. Lidah Rara jadi kayak tebal kalau habis minum itu." Seperti biasa, Rara akan punya banyak stok alasan untuk menolak apa yang tidak diinginkannya. "Ra, Pak dokter kemarin bilang, kalau penyakit yang disebabkan oleh bakteri, harus minum antibiotik biar cepat sembuh. Rara mau ikut kompetisi, kan?" "Rara
Sindiran Pedas Istri Kedua "Salma, aku cuma mau ngasih tahu satu hal sama kamu." Salma buru-buru menoleh, sepertinya dia terkejut atas kehadiranku. Namun, terlihat mencoba untuk abai. "Sebaiknya kamu nggak perlu repot-repot setiap saat ke sini." Salma meletakkan mangkuk yang baru saja diambilnya dari lemari piring ke atas meja. Dia memposisikan diri berhadapan denganku. Bibirnya melengkungkan senyum mengejek. "Kenapa? Hmm, kamu merasa tersaingi?" balas Salma dengan tatapan menyebalkan. Walaupun tanggapan Salma sangat memprovokasi, aku mencoba untuk tetap tenang tanpa harus menghilangkan ketegasan terhadap dia. Aku tak ingin hal seperti ini berlarut-larut. Terlepas apa pun niat Salma dengan perhatian yang luar biasa terhadap Bu Mai, tetap saja aku tidak bisa membiarkan dia terlalu leluasa keluar masuk rumah Bu Mai. Apalagi pada posisi ada Obi di rumah ini. Mungkin aku terkesan berlebihan, paranoid, atau apalah itu. Namun, lagi-lagi pengalaman harus kujadikan pelajaran berharga.
Sindiran Pedas Istri kedua "Aku mencoba realistis aja, Bi. Jika terlalu sulit untuk saling memahami dan menjaga, kenapa harus dilanjutkan?" "Nggak, nggak, jangan ngawur! Lupakan semua yang kamu ucapkan barusan. Okey? Sekarang, mau kamu bagaimana?" "Kamu masih nanya mau aku, Bi." Aku mengembuskan napas kesal. Jujur, kali ini aku benar-benar geregetan sama Obi. Kenapa dia bisa nggak ada peka-pekanya sama sekali sekarang ini. Sangat bertolak belakang dengan sifat dia yang dulu. "Sekarang aku balik nanya, kalau menurut kamu harus seperti apa?" "Aku nggak suka kamu memutar-mutar kata seperti ini." "Ya, sudah, kamu pikir aja dulu. Nggak usah temui aku Kalau kamu masih belum tahu harus bagaimana." Aku pun keluar tanpa menunggu tanggapan dari Obi. Sesaat setelah aku berada di luar ibu pun menyusul. Ketika sampai di depan pagar, bertepatan dengan Hendi dan Nena juga berhenti di sana. "Ada Kak Tiara sama ibu. Udah mau pulang aja, Kak," sapa Nena sambil turun dari motor. Sepertinya dia b
Sindiran Pedas Istri Kedua "Mama lagi nggak baikkan, ya, sama Om?" tanya Khalif setelah kami hanya tinggal berdua di teras samping. Aku menatap penuh tanya pada anak lelaki semata wayangku itu. "Kenapa Kakak tanya begitu?" "Kakak ngerasa atmosfer di rumah agak beda aja." Meskipun laki-laki sepertinya Khalif memiliki sensor rasa yang cukup sensitif. Belum genap dua hari dia berada di rumah dia sudah bisa membaca kondisi. Mungkin juga karena dia sudah pernah mengalami ketidakharmonisan orang tua sehingga cepat peka dengan keadaan. "Namanya juga dua orang yang berbeda, Kak. Pasti bakal ada masanya tidak sama-sama sepakat terhadap satu hal." "Mama marah sama Om?" Terlihat kali ini ekspresi Khalif lebih serius dari sebelumnya. Aku melengkungkan senyum ke arah remaja sholeh itu. Aku sengaja mengulur waktu sembari memikirkan kata-kata yang tepat memberi penjelasan padanya. Waktu mengunjunginya minggu lalu, Khalif memang menyiratkan keheranan atas ketiadaan Obi. Tentu sangat aneh bagi
Sindiran Pedas Istri Kedua POV Obi Terlalu cinta, cinta mati, ataupun dinamakan dengan bucin oleh generasi sekarang untuk mengistilahkan rasa sayang dan cinta yang teramat sangat berlebih pada seseorang, bahkan sampai jauh meninggalkan logika. Rasa semacam itulah yang sedang berkuasa terhadap hari-hariku. Walaupun usia muda bukan lagi sepenuhnya milikku. Namun positifnya kebucinan itu menghampiriku di waktu yang tak perlu disalahkan. Tertuju sepenuhnya pada wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupku. Bisa menyebut namanya dalam lafaz kabul merupakan buah dari perjalanan panjang yang penuh liku dan diliputi ketar-ketir. Bagaimana tidak, dari yang tak pernah terpikir akan ada bibit rasa. Lalu, perlahan hadir rasa iba dan tidak tega. Bertunas menjadi simpati dan peduli. Tak butuh waktu lama, tumbuhlah kasih dan cinta yang tak terkendali. Mekar menyubur seiring melajunya waktu. Mencoba menampik, tetapi semakin menyiksa hati. Diungkapkan tetapi tak serta merta mendapat sambutan.