Share

Part 69

Penulis: Hanina Zhafira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-26 21:46:25

Sindiran Pedas Istri Kedua

"Nggak sarapan lagi?"

Obi menatap heran padaku.

"Nggak selera sama sekali, Bi."

"Dipaksain, dong, Sayang. Atau maunya apa? Menu yang lain?"

Aku menggeleng pelan. "Nggak ada yang enak di lidah aku."

"Gimana kalau ntar siang kita nyari tempat makan yang kira-kira kamu suka. Searching aja dulu, habis itu kabarin aku. Biar aku jemput siangnya."

"Nggak usah, Bi. Kamu lagi sibuk juga, kan? Kalau ntar sore kamu bisa nemenin aku nggak? Aku mau ke doker aja."

"Siang aja. Ntar aku kondisiin jadwalku."

"Sore aja. Siangnya aku juga rada repot."

"Yang, kamu lagi nggak fit kondisinya. Dikurangin dulu aktivitasnya. Kamu limpahin aja beberapa wewenang sama yang lain. Misalnya sama Nisa. Dia kan udah lama ikut sama kamu. Dia anaknya juga nggak macam-macam, bukan?"

"Iya," jawabku pendek sambil memainkan sendok pada segelas susu yang sama sekali tidak ingin kuminum.

"Jangan iya, iya aja! Dilakuin benaran." Lagi Obi mengulang anjuran. Sepertinya dia tidak puas deng
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (6)
goodnovel comment avatar
embun putria
Sudah benar disuru kurangin kegiatan oleh mertua malah ngambek..kualat kan
goodnovel comment avatar
Siti Rahayu
waduh kasihan sekali ..di kasih hamil lagi aja Thor kasihan
goodnovel comment avatar
Juna Hartini
lama lama gak suka sama tiara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 70

    Sindiran Pedas Istri Kedua Obi kembali mengusap-usap kepalaku tetapi tidak berkata apa-apa. Dia membiarkan aku untuk menumpahkan semua yang terasa menyesakkan dada. Berkali-kali Obi menyekakan air mata yang bagai tiada habisnya. Memang, di saat-saat tertentu, kita tidak membutuhkan kata-kata sebagai penghibur atau pun untuk menguatkan. Cukup diberi ruang untuk menumpahkan perasaan lewat tangisan juga bisa memberikan kelegaan. Mungkin itu sedang Obi lakukan padaku. Karena sejatinya pun dia juga butuh ruang dan waktu untuk menata hati agar bisa menerima kenyataan dengan ikhlas. Mengetahui kabar bahagia yang sangat dinanti-nantikan, dan di saat itu juga harus kehilangan tentunya adalah kenyataan yang sangat memilukan. Siapa pun pasti akan shock, termasuk Obi. Walaupun tidak pernah mengutarakan ingin segera memiliki buah hati, tetapi selayaknya orang normal, pasti dia sangat menginginkannya. Obi pasti sangat shock dengan kenyataan ini. Hanya saja karena sudah terlebih dahulu tahu, j

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 71

    Sindiran Pedas Istri Kedua Detik selanjutnya setelah pesan itu kubuka, nomor yang tak tersimpan tersebut melakukan panggilan masuk. Aku sedikit kaget dan deg-degan dibuatnya. Apalagi yang menjadi foto profilnya hanyalah berupa gedung pencakar langit. Entah siapa pemilik nomor tersebut. Semoga saja bukan nama yang telah menjadi tersangka di otakku. Aku menyerahkan ponselnya pada Obi. Meskipun Obi tidak akan keberatan kalau aku menerima telepon itu, tetapi aku tidak ingin terlalu jauh mengusik privasinya. Sesaat Obi mengamati deretan nomor tersebut hingga akhirnya dia pun menempelkan ponsel ke telinga. "Oh, Mas Arga. Maaf-maaf, Mas, nomornya lupa disave. Jadi, gimana, Mas?" "Kembali saya mohon maaf yang teramat sangat, Mas. Siang ini saya nggak bisa. Saya lagi dampingin istri saya di rumah sakit ni, Mas." "Baik, Mas. Terima kasih atas pengertiannya. Nanti saya yang hubungi Mas Arga." Setelah mengakhiri percakapannya, Obi kembali mengarahkan pandangan padaku. "Mau nelepon dulu ap

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 72

    Sindiran Pedas Istri Kedua Aku melemparkan dengan kasar tas serta map berisi beberapa dokumen ke dalam mobil. Setelah duduk di depan setir, aku menutup pintu juga tak kalah kerasnya. Setelah mesin dinyalakan, langsung aku menginjak gas. Di saat yang bersamaan, air mataku pun jatuh bercucuran. Sepanjang perjalanan aku ditemani oleh derai air mata yang semakin lama makin deras. Hatiku benar-benar seperti di remuk-remuk. Kecewa, kesal, marah, sakit, perih, pedih, semuanya berbaur. Untungnya jarak yang kutempuh tidak terlalu jauh. Berkali-kali aku gagal memfokuskan perhatian pada jalan. Untung saja tidak sampai terjadi apa-apa. Beberapa meter menuju kantor, aku minggir dulu ke tepi jalan. Kulihat pantulan wajah lewat spion depan. Aku sangat kacau. Mataku memerah dan bengkak. Aku rasa setebal apa pun riasan takkan bisa menyamarkan suasana hati yang tergambar lewat wajahku. Puluhan lembar tisu telah kuhabiskan untuk menyeka air mata. Namun, lagi dan lagi ia masih keluar. Seolah berlite

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 73

    Sindiran Pedas Istri Kedua Ketika aku memasuki halaman, Obi sudah duduk di teras dengan jari-jari sedang aktif di layar HP. Aku menarik napas panjang setelah menutup pintu mobil. Kemudian berjalan sebiasa mungkin melewati Obi. Tatapan Obi sudah beralih padaku. Namun, aku tetap memasang ekspresi datar. Aku sedang tidak bisa untuk membaik-baikan sikap. Kalau biasanya akan ada peluk, cium, serta binar bahagia jika kami berjumpa walaupun pisahnya hanya hitungan satu sampai dua jam saja. Tapi untuk saat ini, jangankan tersenyum, melirik saja aku tidak tergugah. Aku pun berlalu begitu saja di hadapan Obi. Obi langsung bangkit dan mengekori aku. "Sayang, kamu dari mana?" Terdengar tanya Obi dengan suara mendesak begitu kami memasuki ruang tamu. Obi menahan lenganku sehingga aku terpaksa berhenti. Dengan rasa enggan, aku melirik sekilas pada Obi. Merasa pegangan Obi di lenganku sudah melonggar, aku menarik tangan lalu meneruskan langkah. Aku menuju tangga, bermaksud ingin ke kamar atas.

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 74

    Sindiran Pedas Istri Kedua Balai Diklat Pendidikan dan Pelatihan Provinsi, di sinilah aku berada. Menjadi salah satu peserta diklat dari puluhan peserta se-provinsi. Datang dengan hati yang tidak lapang membuat apa pun yang dilakukan tidak ada yang menyenangkan. Begitu susah untukku memusatkan perhatian. Ajang ini semula kuharap akan menjadi sarana untuk healing karena fokusku akan teralihkan dengan kegiatan yang padat serta bertemu dengan beberapa teman lama dan tentunya juga akan berbaur dengan wajah-wajah baru. Namun itu hanya dalam perandaian saja. Nyatanya, seringkali jiwa dan ragaku tak ada di tempat yang sama. Dari pada ikut larut dalam cengkrama, aku lebih memilih menyepi dalam sunyi. Beberapa kali juga Hakim mencari kesempatan untuk berbincang berdua denganku. Namun, selalu hindari pertemuan dengannya. Sejak hari pertama berjumpa dengannya di tempat registrasi, aku selalu membentang jarak. Walaupun pernah sekali kami duduk berdampingan, tetapi tidaklah sempat berbicara

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 75

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak turun?" Obi mengubah posisi duduknya sehingga menghadap padaku. Sudah beberapa menit semenjak mobil terparkir sempurna. Namun, aku masih juga betah duduk bersandar. Tak terusik sama sekali dengan hingar bingar di sekitar. Mataku tertuju pada gulungan ombak yang berlomba dengan angin lalu menghempas dengan riuh ke bibir pantai. Pantainya tidak terlalu landai. Bahkan hanya beberapa puluh meter dari jalan raya. Pantai ini tidak jauh dari gedung diklat. Hanya karena akses jalan sehingga memperpanjang waktu tempuh. Dari kampus kami dahulu juga tidak terlalu jauh. Bisa dikatakan ini adalah tempat nongkrong favorit mahasiswa. Jajanan serta makanannya selain murah meriah juga enak-enak. Setelah selesai dengan kegiatan organisasi yang kadang sangat menyita waktu dan tenaga, kawasan sepanjang garis pantai inilah yang menjadi tempat melepas lelah. Sekadar berlari atau berjalan di sepanjang hamparan pasir. Membiarkan kaki disapu sisa-sisa hempasan ombak atau

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-05
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 76

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak mau, Mbak Nana!" Terdengar suara Rara di luar. Aku yang beberapa saat sama-sama terhipnotis di depan cermin bersama Obi, buru-buru melepas kerudung. Setelah itu, segera keluar untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Rara. Di ruang keluarga di lantai dua, Rara tengah tidur telungkup di sofa. Dia memyembunyikan wajahnya ke bantal. Tak hanya itu, dia pun menutup kepala dengan guling. Sementara di sampingnya ada Ibu yang tengah mencoba membujuk. Tak ketinggalan Mbak Nana yang tengah memegang sendok dan botol obat. "Kenapa, Na?" "Ini, Bu, antibiotiknya. Dari pagi belum diminum sama Rara." Nana memperlihatkan padaku. "Ra," "Rara nggak suka rasanya, Ma. Lidah Rara jadi kayak tebal kalau habis minum itu." Seperti biasa, Rara akan punya banyak stok alasan untuk menolak apa yang tidak diinginkannya. "Ra, Pak dokter kemarin bilang, kalau penyakit yang disebabkan oleh bakteri, harus minum antibiotik biar cepat sembuh. Rara mau ikut kompetisi, kan?" "Rara

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-12
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 77

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Salma, aku cuma mau ngasih tahu satu hal sama kamu." Salma buru-buru menoleh, sepertinya dia terkejut atas kehadiranku. Namun, terlihat mencoba untuk abai. "Sebaiknya kamu nggak perlu repot-repot setiap saat ke sini." Salma meletakkan mangkuk yang baru saja diambilnya dari lemari piring ke atas meja. Dia memposisikan diri berhadapan denganku. Bibirnya melengkungkan senyum mengejek. "Kenapa? Hmm, kamu merasa tersaingi?" balas Salma dengan tatapan menyebalkan. Walaupun tanggapan Salma sangat memprovokasi, aku mencoba untuk tetap tenang tanpa harus menghilangkan ketegasan terhadap dia. Aku tak ingin hal seperti ini berlarut-larut. Terlepas apa pun niat Salma dengan perhatian yang luar biasa terhadap Bu Mai, tetap saja aku tidak bisa membiarkan dia terlalu leluasa keluar masuk rumah Bu Mai. Apalagi pada posisi ada Obi di rumah ini. Mungkin aku terkesan berlebihan, paranoid, atau apalah itu. Namun, lagi-lagi pengalaman harus kujadikan pelajaran berharga.

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-18

Bab terbaru

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 100

    Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 99

    Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 98

    Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 97

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 96

    Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 95

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 94

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 93

    Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 92

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,

DMCA.com Protection Status