Ruang kerja Lana terasa sunyi setelah Lia menutup pintu, meninggalkannya dengan bayang-bayang masalah yang menghantuinya. Sejak rapat pagi, ketidaknyamanan dan keragu-raguan merajai pikirannya. Lana merasa pusing dan lelah, berusaha keras untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin ia mencoba mengusir bayangan tentang Rudi dan Sandra, semakin kuat pula mereka mendera benaknya.Sudah berjam-jam Lana duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputernya. Pikirannya melayang ke peristiwa-peristiwa yang membuat hatinya gelisah. Ia merasa seperti terperangkap dalam suatu masalah yang tidak tahu bagaimana caranya keluar.Ketika pintu ruangannya terbuka dengan pelan, Lana segera menoleh. Lia memasuki ruangan dengan ekspresi cemas, mencoba memahami keadaan bosnya. "Maaf, Bu. Saya sudah memberitahunya untuk tidak mengganggu Ibu, tapi...," ucap Lia dengan suara pelan.Lana mengangkat tangannya untuk menghentikan Lia sejenak. "Tidak apa-apa, Lia. Biarkan Raka masuk," kata Lana dengan sua
Lana duduk di ruangannya, fokus pada dokumen-dokumen yang tersebar di atas meja. Ia sedang sibuk memeriksa dan menjawab beberapa email yang masuk. Suasana kantornya begitu tenang sampai pintu terbuka dan Lia, sekretarisnya, memasuki ruangan sambil membawa amplop besar berwarna cokelat.Lana mengangkat pandangannya dari dokumen yang tersebar di atas meja saat Lia mendekatinya. Ia menempatkan amplop itu di atas meja Lana dengan cermat."Ada apa, Lia?" tanya Lana, suaranya tenang meskipun rasa penasaran terlihat di matanya.Lia menghampiri Lana, menatapnya dengan penuh kehati-hatian. "Maaf mengganggu, Bu Lana. Ada kiriman paket untuk Ibu dari seseorang, saya tidak tahu siapa yang mengirimnya karena paket itu sudah ada di meja saya saat saya tiba," jelas Lia seraya memperlihatkan amplop cokelat itu.Lana mengangguk, rasa penasaran muncul di wajahnya. "Terima kasih, Lia. Kamu bisa pergi sekarang."Setelah Lia pergi, ia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di atasnya terdapat tulisan "Untuk
Raka tersenyum sinis, tatapannya menusuk tajam ke dalam mata Lana. "Mungkin, sebaiknya kamu menerima kenyataan, Lana. Rudi sudah berselingkuh."Lana menggelengkan kepalanya dengan keras, menolak untuk mempercayai kata-kata Raka. "Saya tidak percaya padamu. Ini pasti hanya trikmu untuk menghancurkan rumah tangga saya!"Raka tertawa, suara tawanya bergema di ruangan. "Lana, aku nggak perlu melakukan trik untuk menghancurkan sesuatu yang sudah hancur dengan sendirinya. Rudi tidak setia padamu, dan kamu harus tahu.""Raka, lepas!" teriak Lana dengan penuh kekesalan, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Raka.Namun, Raka tetap tak bergeming. Ia mencengkram pinggul Lana dengan kuat, membuatnya sulit untuk bergerak. "Kamu harus mendengarkan, Lana. Rudi sudah melanggar kepercayaanmu, dan kamu berhak tahu kebenaran."Lana menatap Raka dengan tatapan tajam. "Sialan, apa yang kamu tahu? Kamu hanya mencoba menghancurkan semuanya!"Tak lama kemudian, ponsel Raka berdering. Raka tersenyum sambi
Lana duduk di depan meja kerjanya, matanya memandangi dokumen-dokumen yang tersusun rapi. Rasa pusing yang tak kunjung hilang membuatnya memijat pelipisnya dengan lembut. Malam panas bersama Raka masih menghantui pikirannya, meninggalkan kekacauan emosional yang sulit diatasi.Dokumen-dokumen yang tersebar di meja tersebut hanyalah bayangan dari kekacauan yang melanda hatinya. Ia berusaha untuk menyibukkan diri dan mengalihkan pikirannya dari konflik yang semakin meruncing. Setelah malam itu, Lana merasa kehilangan ketenangan dalam hidupnya, dan kebingungan merajalela setiap kali ia mencoba merapikan pikirannya.Setelah beberapa saat, Lana mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja dan melirik ke luar jendela. Pemandangan laut yang indah dan pantai berpasir putih tampak mengundang, tetapi pikirannya terus melayang ke arah yang rumit.Setelah malam panas yang penuh gairah bersama Raka, Lana memutuskan untuk menghindari pria itu. Ratusan pesan dan panggilan diabaikannya, dan p
Setelah pulang dari pertemuan dengan Raka di Bali, Lana merasa hampir tidak dapat menghadapi kembali hidupnya di Jakarta. Rumah yang seharusnya nyaman dan aman, kini terasa seperti medan perang emosional. Lana segera bergegas ke kamar mandi, berusaha membersihkan diri dari beban pikiran yang semakin menggunung.Setelah mandi, Lana mengganti pakaian dan menghela nafas panjang. Kehidupannya yang rumit tampaknya tak berkesudahan. Tidak lama setelahnya, suara langkah Rudi terdengar di koridor. Lana menatap cermin dengan pandangan kosong, mencoba menyembunyikan kegelisahan di dalam dirinya.Pintu terbuka, dan Rudi masuk dengan senyuman di wajahnya. Ia mendekati Lana dan mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. Namun, Lana hanya diam, tidak merespon ciuman itu. Ia bergeser untuk duduk di kursi di depan meja rias, sambil membiarkan rambutnya dikeringkan.Rudi mengamatinya dari tempatnya berdiri. Dia melangkah mendekati Lana dengan senyum yang menggambarkan kerinduannya. Rudi meletakkan k
Langit Jakarta terasa hangat ketika Lana melangkah keluar dari ruang rapat direksi Widjaja Group. Ruang rapat itu menjadi saksi bisu atas momen bersejarah dalam hidupnya. Hari itu, Lana secara resmi menjabat sebagai Direktur Utama, menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang oleh Haris, ayahnya sendiri.Seiring dengan langkah-langkahnya yang tegas, Haris melangkah di belakangnya. Pria itu menepuk lembut pundak Lana, sorot mata penuh kebanggaan memancar dari matanya yang mengenakan kacamata elegan. "Selamat, Nak. Papa sangat bangga padamu. Kamu membuat keputusan yang tepat."Lana menatap ayahnya tanpa ekspresi, mata mereka bertemu, tetapi tak ada kehangatan di sana. Hubungan mereka sudah lama retak sejak tragedi keluarga yang menghancurkan kepercayaan Lana pada ayahnya. Saat itu, Haris menikahi selingkuhannya dan membuat ibu kandung Lana pergi meninggalkannya ketika usianya menginjak sepuluh tahun.Sejak ayahnya menikah lagi Lana merasa terasing dan kecewa pada Haris. Perasaan kehilan
Lana merasakan remuk hatinya saat melangkah masuk ke dalam restoran yang begitu penuh kenangan buruk untuknya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dengan enggan ia mengikuti langkah suaminya. Sementara Rudi, yang selalu tanggap terhadap perasaan Lana, merasa ketegangan itu dan menggenggam lengan istrinya dengan lembut.Mereka diterima dengan senyuman hangat oleh Haris dan Mariska. Ayahnya terlihat gembira, seakan berusaha mengobati luka yang begitu dalam. Mariska, ibu tirinya yang tidak pernah ia sukai, menyambutnya dengan keceriaan dan kehangatan. Sedangkan Luna, adik tirinya hanya melihat Lana dengan tatapan acuh tak acuh, menyiratkan ketidakpeduliannya.Rudi menarik kursi untuk Lana, mencoba membantu meredakan ketidaknyamanan yang melingkupi mereka. Setelah Lana duduk, barulah pelayan datang untuk mencatat pesanan. Lana memandang menu tanpa minat, sementara Rudi mencoba menyulut percakapan dengan keluarga Lana.Mariska tersenyum dan bertanya dengan penuh perhatian, “Bagaimana kabarmu, L
Lana melangkah dengan cepat menuju lift, hatinya masih berdegup kencang akibat kebingungan dan kekecewaan. Namun, tangan Raka yang menahan lengannya membuat langkahnya terhenti. Lana memutar tubuhnya, menatap tajam pria di hadapannya."Raka, lepaskan tangan saya," ucap Lana dengan nada yang tegas.Raka tidak segera melepaskan, dia mendekatkan wajahnya ke telinga Lana, "Lana, percayalah, ini bukan seperti yang kamu pikirkan."Lana memandang Raka dingin, memutuskan untuk tidak mempercayai kata-katanya. Dengan gerakan tegas, dia menghentakkan lengannya, membebaskan diri dari cengkeraman Raka. Tanpa banyak bicara, dia masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai bawah.Raka tak mau kalah begitu saja. Dia mengikuti Lana ke dalam lift dan segera menahan tubuhnya di sudut. Dengan tatapan tajam, Raka mencoba menjelaskan dirinya lagi. “Kamu hanya salah paham, Lana.”Wajah Lana tampak marah, dan dia berkata, "Apa pun yang kamu katakan, tidak akan mengubah fakta kalau saya membuat kesalahan de
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka