Lana duduk di depan meja kerjanya, matanya memandangi dokumen-dokumen yang tersusun rapi. Rasa pusing yang tak kunjung hilang membuatnya memijat pelipisnya dengan lembut. Malam panas bersama Raka masih menghantui pikirannya, meninggalkan kekacauan emosional yang sulit diatasi.Dokumen-dokumen yang tersebar di meja tersebut hanyalah bayangan dari kekacauan yang melanda hatinya. Ia berusaha untuk menyibukkan diri dan mengalihkan pikirannya dari konflik yang semakin meruncing. Setelah malam itu, Lana merasa kehilangan ketenangan dalam hidupnya, dan kebingungan merajalela setiap kali ia mencoba merapikan pikirannya.Setelah beberapa saat, Lana mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja dan melirik ke luar jendela. Pemandangan laut yang indah dan pantai berpasir putih tampak mengundang, tetapi pikirannya terus melayang ke arah yang rumit.Setelah malam panas yang penuh gairah bersama Raka, Lana memutuskan untuk menghindari pria itu. Ratusan pesan dan panggilan diabaikannya, dan p
Setelah pulang dari pertemuan dengan Raka di Bali, Lana merasa hampir tidak dapat menghadapi kembali hidupnya di Jakarta. Rumah yang seharusnya nyaman dan aman, kini terasa seperti medan perang emosional. Lana segera bergegas ke kamar mandi, berusaha membersihkan diri dari beban pikiran yang semakin menggunung.Setelah mandi, Lana mengganti pakaian dan menghela nafas panjang. Kehidupannya yang rumit tampaknya tak berkesudahan. Tidak lama setelahnya, suara langkah Rudi terdengar di koridor. Lana menatap cermin dengan pandangan kosong, mencoba menyembunyikan kegelisahan di dalam dirinya.Pintu terbuka, dan Rudi masuk dengan senyuman di wajahnya. Ia mendekati Lana dan mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. Namun, Lana hanya diam, tidak merespon ciuman itu. Ia bergeser untuk duduk di kursi di depan meja rias, sambil membiarkan rambutnya dikeringkan.Rudi mengamatinya dari tempatnya berdiri. Dia melangkah mendekati Lana dengan senyum yang menggambarkan kerinduannya. Rudi meletakkan k
Langit Jakarta terasa hangat ketika Lana melangkah keluar dari ruang rapat direksi Widjaja Group. Ruang rapat itu menjadi saksi bisu atas momen bersejarah dalam hidupnya. Hari itu, Lana secara resmi menjabat sebagai Direktur Utama, menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang oleh Haris, ayahnya sendiri.Seiring dengan langkah-langkahnya yang tegas, Haris melangkah di belakangnya. Pria itu menepuk lembut pundak Lana, sorot mata penuh kebanggaan memancar dari matanya yang mengenakan kacamata elegan. "Selamat, Nak. Papa sangat bangga padamu. Kamu membuat keputusan yang tepat."Lana menatap ayahnya tanpa ekspresi, mata mereka bertemu, tetapi tak ada kehangatan di sana. Hubungan mereka sudah lama retak sejak tragedi keluarga yang menghancurkan kepercayaan Lana pada ayahnya. Saat itu, Haris menikahi selingkuhannya dan membuat ibu kandung Lana pergi meninggalkannya ketika usianya menginjak sepuluh tahun.Sejak ayahnya menikah lagi Lana merasa terasing dan kecewa pada Haris. Perasaan kehilan
Lana merasakan remuk hatinya saat melangkah masuk ke dalam restoran yang begitu penuh kenangan buruk untuknya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dengan enggan ia mengikuti langkah suaminya. Sementara Rudi, yang selalu tanggap terhadap perasaan Lana, merasa ketegangan itu dan menggenggam lengan istrinya dengan lembut.Mereka diterima dengan senyuman hangat oleh Haris dan Mariska. Ayahnya terlihat gembira, seakan berusaha mengobati luka yang begitu dalam. Mariska, ibu tirinya yang tidak pernah ia sukai, menyambutnya dengan keceriaan dan kehangatan. Sedangkan Luna, adik tirinya hanya melihat Lana dengan tatapan acuh tak acuh, menyiratkan ketidakpeduliannya.Rudi menarik kursi untuk Lana, mencoba membantu meredakan ketidaknyamanan yang melingkupi mereka. Setelah Lana duduk, barulah pelayan datang untuk mencatat pesanan. Lana memandang menu tanpa minat, sementara Rudi mencoba menyulut percakapan dengan keluarga Lana.Mariska tersenyum dan bertanya dengan penuh perhatian, “Bagaimana kabarmu, L
Lana melangkah dengan cepat menuju lift, hatinya masih berdegup kencang akibat kebingungan dan kekecewaan. Namun, tangan Raka yang menahan lengannya membuat langkahnya terhenti. Lana memutar tubuhnya, menatap tajam pria di hadapannya."Raka, lepaskan tangan saya," ucap Lana dengan nada yang tegas.Raka tidak segera melepaskan, dia mendekatkan wajahnya ke telinga Lana, "Lana, percayalah, ini bukan seperti yang kamu pikirkan."Lana memandang Raka dingin, memutuskan untuk tidak mempercayai kata-katanya. Dengan gerakan tegas, dia menghentakkan lengannya, membebaskan diri dari cengkeraman Raka. Tanpa banyak bicara, dia masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai bawah.Raka tak mau kalah begitu saja. Dia mengikuti Lana ke dalam lift dan segera menahan tubuhnya di sudut. Dengan tatapan tajam, Raka mencoba menjelaskan dirinya lagi. “Kamu hanya salah paham, Lana.”Wajah Lana tampak marah, dan dia berkata, "Apa pun yang kamu katakan, tidak akan mengubah fakta kalau saya membuat kesalahan de
Raka dan Lana berada di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tepi pantai. Hening malam hanya terpotong oleh suara deburan ombak yang menghantarkan aroma laut yang segar. Tangan mereka saling bertaut, merasakan detak jantung masing-masing tanpa perlu berkata-kata.Lana memejamkan matanya, mencoba meresapi momen ini, namun kesadaran akan keberadaan Raka di sampingnya membuatnya tidak bisa sepenuhnya hanyut. Sejak tadi, Raka terus memperhatikannya, membuatnya merasa tidak nyaman dengan intensitas tatapan pria itu.Setelah beberapa saat, Lana membuka mata dan memutuskan untuk mengakhiri keheningan. "Raka, berhentilah memperhatikan saya seperti itu."Raka hanya tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya pada Lana. Tanpa berkata apa-apa lagi, Raka membungkuk dan mengecup bibir Lana dengan penuh gairah. Awalnya, ciuman itu lembut, tetapi seiring berjalannya waktu, Raka semakin intens, mengulum dan menghisap bibir Lana yang terbuka.Lana meresapi setiap sentuhan bibir Arshaka yang memabuk
“Hanya ada satu kamar yang tersisa,” jelas Raka pada Lana yang berdiri di belakangnya.Lana hanya terdiam, sejujurnya ia sudah sangat mengantuk karena sejak tadi mereka belum berhasil menemukan tempat penginapan. Entah mengapa beberapa penginapan dekat pantai yang mereka datangi sudah penuh. Lana sempat berpikir jika mungkin ini rencana Raka, namun ia segera menepis pikiran itu.“Mau cari penginapan lain saja?” tanya Lana, berusaha setenang mungkin.“Gunakanlah kamar itu, kamu pasti capek. Aku akan mencari tempat lain.” “Tapi, ini sudah larut malam. Lebih baik kamu tetap di sini,” sergah Lana sebelum Raka berbalik.“Kamu yakin? Aku nggak mau kamu merasa nggak nyaman.”“Biasanya juga kamu tidak peduli,” ujar Lana lalu melangkah ke tempat resepsionis dan memesan kamar. Raka menghampirinya dan segera membayar biaya pemesanan. Namun, Lana melarangnya.“Biar saya yang membayarnya,” kata Lana sambil menyodorkan kartu kreditnya.“Aku yang bawa kamu ke sini. Jadi, aku yang akan membayar. La
Raka membawa Lana untuk sarapan di luar, mencoba memberikan nuansa yang lebih santai pada hubungan mereka. Mobil Raka berhenti di depan salah satu toko bubur ayam di pinggir jalan. Mata Lana melebar dengan heran, tidak menyangka Raka akan membawanya ke sana.Raka tersenyum melihat ekspresi bingung Lana dan menoleh ke arahnya. "Kenapa? Kamu nggak mau turun?" tanya Raka sambil tersenyum lembut.Lana terdiam sejenak, lalu bertanya, "Kamu yakin mau sarapan di sini?""Kenapa nggak? Sarapan di sini juga enak, kok. Kamu nggak suka?"Lana masih tampak canggung, dan Raka kembali bertanya, "Belum pernah makan di pinggir jalan, ya?"Lana menggelengkan kepala dengan canggung. Sejak kecil, Lana selalu hidup dalam lingkungan yang berkecukupan, dan ibunya selalu melarangnya makan sembarangan. Tempat makan yang selalu dikunjungi Lana selalu tempat-tempat eksklusif dan mewah karena jabatan ayahnya sebagai direktur utama. "Kamu sudah pernah makan di sini sebelumnya?"Raka dengan santainya menggelengka