Lana merasa tubuhnya lelah setelah seharian menghabiskan waktu dengan Raka. Setelah sampai di kamar hotelnya, dia segera bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan diri dan berganti pakaian. Air hangat yang mengalir di pancuran terasa begitu menyenangkan, hampir seperti pelukan lembut yang meredakan tegangnya.
Namun, meskipun tubuhnya merasa lelah, pikirannya tetap aktif. Perkataan-perkataan Raka masih berputar-putar dalam benaknya seperti lagu yang terus berputar tanpa henti.
Dalam kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu tidurnya, Lana berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya dari Raka. Dia tahu bahwa dia harus melupakan pria itu dan fokus pada pernikahannya yang semakin hambar dengan Rudi.
Ketika Lana sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau, tiba-tiba terdengar suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Lana, yang begitu terkejut dengan suara itu, langsung berjalan ke arah pintu dengan hati yang berdebar kencang. Dia membuka pintu dengan perasaan yang bercampur aduk berpikir jika Raka yang menemuinya.
Saat pintu terbuka, dia merasa seperti napasnya tertahan sejenak. Di hadapannya, bukan Raka yang dia lihat, melainkan suaminya, Rudi. Pria itu memperhatikan Lana dengan seksama, seakan mencoba membaca pikiran wanita di hadapannya.
"Kamu nggak senang lihat aku?" tanya Rudi dengan suara lembut, meskipun ekspresinya tetap serius.
Lana menggelengkan kepala, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Nggak, Rud. Ayo masuk."
Rudi mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Sebelum mengikuti, Lana memandang ke luar sejenak, masih tidak bisa menghilangkan bayangan Raka yang terus berputar di pikirannya.
“Kamu nggak masuk? tanya Rudi yang membuat Lana tersadar dan segera masuk ke dalam kamar.
“Kenapa kamu nggak kasih kabar kalau kamu akan datang?” tanya Lana dengan tegas.
“Aku mau kasih kejutan untuk kamu, aku pikir kamu akan senang,” jawab Rudi sambil merebahkan duduknya di atas sofa.
Lana mengambilkan air dan memberikannya pada Rudi tanpa berbicara lagi.
“kamu masih marah?” tanya Rudi setelah meminum air yang diberikan Lana.
Lana menghela napas lalu duduk di samping Rudi. “Mau sampai kapan kita akan seperti ini, Rud?”
“Apa maksud kamu, Na?” tanya Rudi sambil menatap Lana dengan lembut.
“Sampai kapan kamu akan menghindari masalah kita dan mengabaikan aku?” tanya Lana dengan tangan terkepal, ia merasa sudah tidak dapat menahan perasaannya yang selama ini mengganjal.
“Masalah apa maksud kamu? Aku rasa hubungan kita baik-baik aja selama ini. Kamu jangan terlalu banyak berpikir, Na.”
“Aku capek, Rud. Aku lelah sama hubungan ini. Selama ini aku menganggap diam kamu itu untuk menghindari masalah, tapi sekarang aku sadar kalau diam kamu itu karena kamu memang nggak peduli sama aku,” ujar Lana dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
“Kamu ini kenapa sih, Na? Kemarin-kemarin kita baik-baik aja, kenapa sekarang kamu jadi begini?” tanya Rudi dengan kesal.“Selama ini kita baik-baik aja karena aku menahan semuanya, Rud. Aku menahan semua kekecewaan dan rasa sakit aku sendiri, sementara kamu selalu sibuk sama pekerjaan kamu itu,” teriak Lana dengan emosinya yang memuncak.
Rudi hanya diam sambil menatap Lana dengan dalam, dengan lembut ia menarik tangan Lana dan membawa wanita itu ke dalam dekapannya. “Maafin aku, Na. Maaf kalau selama ini aku nggak menyadari rasa sakit kamu. Maaf kalau aku belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu,” kata Rudi dengan lirih.
Lana menggeleng sambil menangis dalam dekapan Rudi. Sementara pria itu berusaha menenangkannya. Setelah sedikit tenang, Lana kembali menatap Rudi. “Apa kamu masih mencintai aku, Rud?”
“Dari dulu sampai sekarang dan bahkan nanti, aku akan tetap mencintai kamu, Na.”
“Terus sampai kapan kita akan seperti ini?” tanya Lana dengan lirih.
“Aku akan berusaha, Na. Kasih aku satu kesempatan lagi. Aku akan memperbaiki semuanya,” ujar Rudi dengan penuh keyakinan.
“Aku akan bicara sama keluarga aku. Maaf kalau selama ini aku diam, aku cuma nggak mau membalas mereka karena aku pikir itu nggak ada gunanya,” lanjut Rudi sambil menggenggam tangan Lana dengan erat.
“Aku harap kamu menepati kata-kata kamu, Rud,” gumam Lana lalu memeluk Rudi dengan erat.
“Kamu harus selalu ingat ini, Na. Apapun yang terjadi nanti rasa cinta aku nggak akan pernah berubah. Dengan anak atau tanpa anak kita akan terus bersama. Nggak ada yang bisa pisahin kita.” Rudi membalas pelukan Lana dengan sama eratnya.
***
Setelah pembicaraannya dengan Rudi berakhir dan malam semakin larut. Namun, perasaan Lana masih tidak bisa tenang, ia menatap wajah Rudi yang sudah tertidur pulas lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon kamarnya.
Lana merasa perasaannya seperti sedang dalam pusaran kekacauan. Dia berdiri di atas balkon hotelnya, menatap ke arah kegelapan malam yang memenuhi kota Paris. Hembusan angin sepoi-sepoi menyapu rambutnya dan memberinya sedikit keteduhan dalam hatinya.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang tenang di sebelahnya. Lana berbalik dan terkejut melihat Raka berdiri tak jauh dari sana.
“Kenapa kamu ada di sini? Dan sejak kapan kamu berdiri di sana?” tanya Lana dengan berbisik, mencoba untuk tidak membangunkan Rudi yang tidur pulas di dalam kamar.
Raka tersenyum lembut, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang dialami Lana. "Saya hanya menepati janji untuk datang.”
“Sekarang bukan saat yang tepat. Apalagi sekarang sudah sangat larut, kamu harus pergi," jelas Lana dengan pelan.
Raka tidak bergeming, ia berjalan ke arah wanita itu. Sementara, Lana mencoba menahan nafasnya saat Raka mendekat. Dia segera menutup pintu balkon dari luar, membuatnya dan Raka terperangkap di luar. Raka kemudian melepas mantel panjangnya dan dengan halus meletakkannya di atas bahu Lana, menutupi tubuhnya yang hanya memakai gaun tipis.
"Kamu nggak bisa keluar dengan pakaian setipis ini, kamu akan kedinginan" kata Raka dengan tenang, suaranya lembut di telinga Lana.
Lana terdiam, terkejut oleh tindakan Raka yang tak terduga. Dia tidak tahu bagaimana meresponsnya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya saat ini, dia hanya bisa memandang wajah Raka yang dekat sekali dengan wajahnya.
Beberapa saat kemudian, Lana mencoba untuk mengumpulkan cukup keberanian untuk berbicara lagi. "Kalau kamu sudah selesai sebaiknya kamu pergi dari sini," katanya pelan, mencoba untuk membuat pria itu sadar.
Raka tidak mempedulikannya dan malah melangkah mendekat, memeluk Lana dengan erat. Tubuh mereka bertemu, dan Lana merasakan detak jantung Raka yang tenang.
Raka menghirup aroma tubuh Lana dengan dalam, seolah-olah mencari ketenangan di pelukannya. Lana yang merasa canggung dan bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia membiarkan Raka memeluknya tanpa mendorong atau membalas pelukan tersebut.
“Saya harap waktu bisa berhenti sekarang,” bisik Raka dengan lembut.
Di tengah pelukan itu, tiba-tiba Lana mendengar dengan jelas suara langkah kaki dari dalam kamar yang mulai mendekat. Dengan panik, Lana berusaha menjauhkan tubuh Raka darinya. Namun, pelukan itu malah semakin kuat.
"Raka, saya mohon, pergi sekarang," bisik Lana dengan suara lemah.
“Saya malah berharap dia menemukan kita sekarang,” bisik Raka dengan suaranya yang tenang.
Suasana kamar hotel terasa sejuk, lampu kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya yang lembut. Lana duduk santai di sofa empuk sambil menonton acara TV yang berlangsung begitu monoton. Dia mencoba menekan perasaan kesepian yang menghantuinya. Sementara itu, Rudi, suaminya, tenggelam dalam dunianya sendiri, sibuk memperhatikan panggilan bisnis yang tampaknya tak pernah berakhir.Lana merasa tidak puas. Dia ingin perhatian Rudi, ingin merasakan sentuhan dan kehangatan suaminya. Setelah memutuskan bahwa cukup sudah berdiam diri, dia mengambil langkah nekat. Dengan gerakan lincah, dia mendekati Rudi, menggugurkan kain tipis yang melilit tubuhnya dengan penuh ketegasan.Lana memandang Rudi dengan mata berkilauan, mencoba untuk memancing perhatian suaminya yang tampak sangat sibuk dengan ponselnya. Lana merebut ponsel Rudi dengan tiba-tiba, membuat pria itu menoleh dengan kening berkerut. "Kapan kamu bangun, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut.Rudi mencoba meraih ponselnya yang direbut
Suasana di hotel itu gemerlap dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Gaun malam Lana yang elegan menyapu lantai dengan anggun setiap kali ia melangkah. Setiap mata memandanginya, tetapi Lana hanya fokus pada lengan Rudi yang ia genggam erat. Sebuah senyuman dipaksakan terpasang di wajahnya, tetapi matanya menyiratkan kekecewaan yang sulit disembunyikan.Seiring langkah mereka mendekati meja perjamuan bisnis yang penuh dengan orang-orang berjas dan wanita-wanita berdandan mewah, Lana merasakan kekecewaan membeku di dalam dirinya. Apa yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan berdua dengan suaminya berubah menjadi malam yang membosankan dan formal.Ketika Rudi berhenti sejenak untuk berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya, Lana melihat peluang untuk melepaskan diri. Dia mengelus pergelangan tangannya yang mulai terasa kaku karena genggaman Rudi yang terlalu kuat. "Maaf, aku harus ke kamar mandi sebentar," ucapnya, berusaha tersenyum lebar.Tanpa
Lana memasuki ruang rapat dengan langkah tegas, mengenakan setelan bisnis yang sempurna dan tatapan mata yang penuh otoritas. Sebagai wakil direktur utama dalam perusahaan besar ini, dia telah menghabiskan banyak waktunya di ruangan seperti ini. Semua karyawan tampak sangat menghormati Lana karena pembawaan wanita itu dengan kemampuan dan kecerdasannya yang membuatnya layak menjabat sebagai wakil direktur utama. Mata-mata para karyawan melirik saat Lana melintasi koridor menuju ruangannya, tetapi dia tidak memberikan perhatian lebih dan hanya memberikan senyuman ramah sebagai sambutan.Hari ini adalah hari pertama Lana kembali bekerja setelah liburan singkat yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Meskipun dia sempat merasa terganggu dengan perasaan bercampur aduk yang melibatkan Rudi dan Raka, Lana sekarang bertekad untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan lagi waktunya untuk memikirkan berbagai perasaan dan masalah pribadi yang menghampirinya. Lana ingin m
Lana telah menciptakan suasana yang sempurna untuk malam itu, memilih gaun yang memancarkan keanggunan dan kepribadian yang kuat. Setiap detailnya diperhatikan, rambutnya diatur dengan indah, riasan wajahnya menyempurnakan penampilannya. Dia ingin menampilkan diri terbaiknya dalam pertemuan ini.Ketika tiba saatnya, Lana melangkah keluar dari kamarnya dan melihat sebuah mobil mewah yang sudah menunggunya. Pengemudi dengan santainya membuka pintu untuknya."Selamat malam, Nyonya," kata pengemudi dengan ramah saat Lana masuk ke dalam mobil.Lana tersenyum dan membalas salam. Selama perjalanan ke restoran, Lana merenung tentang Rudi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria itu akan mengatur malam yang begitu istimewa baginya. Lana yang telah mengenal Rudi selama hampir lima belas tahun belum pernah melihat sisi romantisnya seperti ini sebelumnya.Angin sepoi-sepoi menyibak rambut halus Lana saat dia turun dari mobil mewah itu. Sentuhan dinginnya membuatnya merinding meskipun gaun malamn
Dalam gemuruh malam yang sunyi, Lana melangkah gontai menuju kamarnya, langkahnya tidak lagi seindah ketika dia tiba di restoran tadi. Rasa hangat dari alkohol yang merasuki tubuhnya mulai memudar, digantikan oleh kekosongan hatinya yang dalam. Begitu pintu kamar terbuka, sinar tipis lampu di ruangan itu menyilaukan matanya yang lelah. Rudi telah tidur, lengkap dengan tatanan rambut cokelatnya yang kusut dan wajahnya yang damai saat dia tertidur.Sayangnya, damai bukanlah kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan Lana saat ini. Dia merasa terjebak dalam labirin emosionalnya sendiri, dan malam ini alkohol telah menjadi penyelamat sementara dari kenyataan yang sulit dia terima. Lana melihat bingkai foto pernikahan mereka yang selalu berada di meja nakasnya. Tatapan mereka dalam foto itu terlihat bahagia, ceria, dan penuh cinta. Pandangannya terpaku pada foto itu ketika senyuman mereka yang dulu begitu riang kini terasa seperti kenangan yang jauh.Dalam ledakan emosi, Lana me
Lana melangkah dengan penuh percaya diri menuju kantornya. Setelah seminggu berlalu sejak malam yang penuh gairah dan kasih sayang, kehidupan pernikahan Lana dan Rudi semakin membaik. Suasana hatinya jauh lebih cerah daripada sebelumnya, dan dia merasa seperti hubungan mereka akhirnya bisa dipulihkan.Ketika Lana tiba di kantor, ia merasa seperti ada atmosfer yang berbeda. Sejumlah wajah baru tampak sibuk di sekitarnya, dan beberapa karyawan baru tampak bersemangat menyambutnya. Lana tersenyum dan membalas sapaan beberapa karyawan yang menyapanya, merasa senang dengan semangat dan antusiasme mereka. Ia merasa bahwa semuanya berjalan dengan baik, hingga pandangannya tertuju pada seorang pria di tengah kerumunan, yang tampaknya menjadi pusat perhatian.Pria itu adalah Raka. Ia berdiri di tengah kumpulan karyawan baru, tersenyum cerah, dan terlihat sangat percaya diri. Pria itu tersenyum hangat ketika melihat Lana memasuki ruangan. Lana terdiam, dan hatinya berdegup lebih cepat. Lana te
Raka membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya yang lelah. Beberapa hari terakhir, ia telah bekerja keras, mengerjakan tugas-tugas yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan ia lakukan. Ia telah mengorbankan segala energinya untuk membuktikan diri kepada Lana, wanita yang memenuhi pikiran dan hatinya dengan kerumitan yang tak terbayangkan sebelumnya. Perasaan tergila-gila pada sosok wanita yang lebih dewasa, tegas, dan independen seperti Lana adalah hal baru bagi Raka. Ia lebih terbiasa dengan para wanita yang mendekatinya terlebih dahulu, bukannya sebaliknya.Wajah cantik Lana muncul di depan matanya, bahkan dalam keadaan separuh sadar seperti ini. Aroma harum parfum dari tubuh wanita itu menyelinap ke hidungnya, membuatnya semakin terhanyut dalam pesona Lana. Tanpa sadar, bibirnya membisikkan nama wanita itu dengan lemah."Lana..."Suara lembut Lana memecah keheningan. "Di luar hujan," katanya dengan nada penuh perhatian. "Kamu harus segera pulang dan beristirahat, Raka."Raka
Untuk sesaat Lana membiarkan Raka memeluknya, merasakan dekapan erat yang membuat hatinya berdebar kencang. Tubuhnya bergetar saat Raka melepaskan pelukan itu. "Lana," desah Raka, matanya masih memandang penuh hasrat.Lana berbalik, menatapnya dengan pandangan yang penuh kebingungan dan keragu-raguan. Raka merengkuh Lana lagi, mencium bibirnya dengan penuh gairah, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk berkata apa-apa. Lana mencoba mendorongnya lagi, tetapi Raka terlalu kuat dan tak terkendali. Bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mendalam dan membara.Sesaat, Lana merasa terhanyut dalam pesona Raka yang tiba-tiba menguasai seluruh dirinya. Panas dan dingin bergulir di tubuhnya, menciptakan sensasi yang tak terlupakan. Ia merasa lemah, tetapi di saat yang bersamaan, gairah meletup di dalam dirinya.Ciuman Raka sangat membara, bahkan lebih bergairah daripada ciumannya saat mereka berada di Paris. Sekejap kenangannya melayang pada saat-saat indah yang pernah mereka habiskan bersama
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka