Suasana kamar hotel terasa sejuk, lampu kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya yang lembut. Lana duduk santai di sofa empuk sambil menonton acara TV yang berlangsung begitu monoton. Dia mencoba menekan perasaan kesepian yang menghantuinya. Sementara itu, Rudi, suaminya, tenggelam dalam dunianya sendiri, sibuk memperhatikan panggilan bisnis yang tampaknya tak pernah berakhir.
Lana merasa tidak puas. Dia ingin perhatian Rudi, ingin merasakan sentuhan dan kehangatan suaminya. Setelah memutuskan bahwa cukup sudah berdiam diri, dia mengambil langkah nekat. Dengan gerakan lincah, dia mendekati Rudi, menggugurkan kain tipis yang melilit tubuhnya dengan penuh ketegasan.
Lana memandang Rudi dengan mata berkilauan, mencoba untuk memancing perhatian suaminya yang tampak sangat sibuk dengan ponselnya. Lana merebut ponsel Rudi dengan tiba-tiba, membuat pria itu menoleh dengan kening berkerut.
"Kapan kamu bangun, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut.
Rudi mencoba meraih ponselnya yang direbut Lana, tetapi wanita itu sudah melingkarkan lengannya di pinggangnya, membuatnya kesulitan.
Lana menariknya lebih dekat. "Aku bosan cuma berdiam diri di sini, Rud," kata Lana dengan nada yang mengejutkan, merangkul pria itu dengan erat.
Rudi menangkup wajah Lana dengan satu tangannya, mencoba untuk meredakan kemarahannya. "Maaf, sayang. Aku masih harus menyelesaikan beberapa panggilan bisnis."
Lana merasa kekecewaan yang semakin mendalam. Dia telah berharap bahwa kedatangan Rudi akan mengubah suasana hatinya, tetapi pria itu masih sepenuhnya terkubur dalam pekerjaannya.
Mengabaikan penjelasan Rudi, Lana mengatakan, "Aku lapar."
Rudi mengangguk, berencana untuk memesan makanan untuk Lana, tetapi Lana merasa kesal karena Rudi tampaknya tidak memahami kode-kode yang dia berikan.
Tanpa banyak bicara, Lana mulai menyentuh Rudi dengan kelembutan dan gairah. Dengan cermat, dia mengarahkan bibirnya ke bibir Rudi dan melingkarkan tangannya di sekitar leher pria itu. Ciuman itu mendalam dan penuh gairah, seolah-olah Lana berusaha mengkomunikasikan keinginannya yang terpendam.
Namun, Rudi hanya meresponsnya dengan tatapan kosong dan gerakan yang tidak antusias. Setelah beberapa saat yang seharusnya penuh gairah berubah menjadi kekecewaan, Lana mengakhiri ciuman dengan nada yang penuh kekecewaan.
"Apa karena aku belum mandi? Apa aku udah nggak menarik lagi?" tanya Lana dengan tatapan kecewa.
Rudi menggelengkan kepala dengan cepat, mencoba menjelaskan, "Bukan, sayang, bukan itu masalahnya. Aku masih lelah karena perjalanan panjang kemarin."
Lana menghela napas dalam-dalam, merasa semakin frustrasi. Dia merasa marah karena Rudi tampaknya lebih antusias ketika membahas pekerjaannya daripada meresponsnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Lana hendak meninggalkan Rudi dan kembali ke kamar. Namun, pria itu segera menahan tangannya dengan lembut.
Rudi menoleh dengan tatapan lembut, mencoba meredakan kemarahannya. "Sayang, maafin aku. Aku janji, malam ini kita akan menghabiskan waktu bersama dan aku akan memberikan perhatian yang kamu butuhkan."
Lana menatap Rudi dengan pandangan ragu, tetapi akhirnya ia menyerah dan tersenyum kecil. "Oke, Rud. Aku akan menunggu."
Rudi mengangguk dengan senyum dan mencium bibir Lana sekali lagi sebelum dia pergi untuk memesan makan. Lana duduk di sana dengan perasaan yang rumit. Dia berharap bahwa Rudi akan memenuhi janjinya dan bahwa malam ini akan menjadi titik balik bagi hubungan mereka yang terasa semakin jauh.
***
Raka memasuki ruangan mewah di salah satu sudut hotel bergengsi di Paris. Kehadirannya seketika mencuri perhatian, bukan hanya karena penampilannya yang menawan, tetapi juga karena pesona alamiah yang selalu mengikuti pria itu. Tampaknya Raka tahu bahwa ia adalah tipe pria yang selalu bisa memikat perhatian siapa pun di sekitarnya.
Max, kakak laki-laki Raka, memandang kehadiran adiknya dengan tatapan tajam yang seakan menembus hati Raka. Selama ini, Max selalu tampil sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam keluarga mereka. Tujuh tahun lebih tua daripada Raka, Max sudah lama menjalani peran sebagai pengurus perusahaan keluarga, MJ Group. Sementara Raka lebih suka berfoya-foya dan menjalani hidupnya sesuka hati.
Raka dan Max berdiri di salah satu sudut ruang perjamuan hotel mewah di Paris. Raka tidak suka peran yang selalu melekat pada dirinya sebagai pewaris perusahaan. Bisnis dan urusan perusahaan selalu terasa membosankan baginya. Raka selalu ingin hidup bebas tanpa harus terkekang oleh tanggung jawab besar itu. Dia adalah sosok yang suka bersenang-senang dan menikmati hidupnya tanpa beban.
Tanpa basa-basi, Raka menghampiri Max yang tampaknya sudah menunggu kedatangannya. Dengan tatapan serius, Raka langsung bertanya kepada Max dalam bahasa Inggris yang kental, "Jadi, Max, apa yang kau inginkan dariku?"
Max tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengeluarkan beberapa foto dari saku jasnya dan menunjukkannya kepada Raka. Foto-foto itu adalah potret Raka bersama wanita-wanita cantik yang tersebar di berbagai acara mewah. Raka menatap foto-foto tersebut, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Mata Raka memandang setiap foto dengan acuh tak acuh, lalu dengan gerakan ringan, dia melemparkannya ke tempat sampah dengan sikap nonchalant. "Apa ini? Mengapa kau menunjukkan foto-foto ini padaku?" ujarnya dengan nada dingin.
Max mempertahankan ekspresi seriusnya. "Aku melihat perilakumu belakangan ini, Raka. Kau harus sadar akan tanggung jawabmu sebagai pewaris perusahaan. Papa sangat memperhatikan tindakanmu. Ini bukan saatnya bersenang-senang dan menggoda wanita. Kau harus fokus pada bisnis keluarga kita."
Raka mendongak, tatapannya tajam menusuk. "Aku tidak peduli dengan bisnis keluarga itu, Max. Aku tidak akan pernah tunduk pada perintah papa, dan kau juga tahu itu. Jadi, hentikan usahamu menjadi anjing pemburunya, yang selalu mengawasi setiap langkahku."
Max tidak tergoyahkan oleh kata-kata tajam Raka. Dia mendekati Raka dan menempatkan tangannya di pundak pria itu dengan lembut. "Papa sangat menyayangimu, Raka. Dia ingin yang terbaik untukmu. Kau harus menghormati keinginannya dan berhenti melawan. Itu yang terbaik untuk kita semua."
Raka hanya mendengarkan dengan diam, meskipun dalam hatinya dia melawan kata-kata Max. Pandangannya tiba-tiba teralihkan ke arah pintu, di mana dia melihat seorang wanita masuk. Lana, mempesona dalam balutan gaun malam yang membuatnya terlihat seperti bidadari dari kisah dongeng. Mata Raka tidak bisa berhenti memandanginya, seolah-olah terpesona oleh kecantikan wanita itu.
Max menyadari arah pandangan Raka segera dan memberikan pria itu teguran yang keras. "Dengar, Raka. Aku tidak sedang bercanda. Kau harus mendengar dan mengikuti apa yang papa inginkan. Jangan membuatnya marah dan merugikan dirimu sendiri."
Raka mengangguk singkat, tetapi pandangannya masih tetap terpaku pada Lana, yang tampaknya tidak menyadari perhatian Raka padanya. Max melihat pandangan Raka yang kosong dan menggertakkan gigi. "Dengarkan apa yang kukatakan, Raka. Papa tidak akan mentolerir sikapmu yang seperti ini lebih lama lagi."
Raka hanya mengangguk sekali lagi, tetapi dalam benaknya, dia hanya memiliki satu pemikiran: Lana. Hati dan pikirannya terbelah antara kewajiban keluarga dan hasrat yang tak terkendali.
Suasana di hotel itu gemerlap dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Gaun malam Lana yang elegan menyapu lantai dengan anggun setiap kali ia melangkah. Setiap mata memandanginya, tetapi Lana hanya fokus pada lengan Rudi yang ia genggam erat. Sebuah senyuman dipaksakan terpasang di wajahnya, tetapi matanya menyiratkan kekecewaan yang sulit disembunyikan.Seiring langkah mereka mendekati meja perjamuan bisnis yang penuh dengan orang-orang berjas dan wanita-wanita berdandan mewah, Lana merasakan kekecewaan membeku di dalam dirinya. Apa yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan berdua dengan suaminya berubah menjadi malam yang membosankan dan formal.Ketika Rudi berhenti sejenak untuk berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya, Lana melihat peluang untuk melepaskan diri. Dia mengelus pergelangan tangannya yang mulai terasa kaku karena genggaman Rudi yang terlalu kuat. "Maaf, aku harus ke kamar mandi sebentar," ucapnya, berusaha tersenyum lebar.Tanpa
Lana memasuki ruang rapat dengan langkah tegas, mengenakan setelan bisnis yang sempurna dan tatapan mata yang penuh otoritas. Sebagai wakil direktur utama dalam perusahaan besar ini, dia telah menghabiskan banyak waktunya di ruangan seperti ini. Semua karyawan tampak sangat menghormati Lana karena pembawaan wanita itu dengan kemampuan dan kecerdasannya yang membuatnya layak menjabat sebagai wakil direktur utama. Mata-mata para karyawan melirik saat Lana melintasi koridor menuju ruangannya, tetapi dia tidak memberikan perhatian lebih dan hanya memberikan senyuman ramah sebagai sambutan.Hari ini adalah hari pertama Lana kembali bekerja setelah liburan singkat yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Meskipun dia sempat merasa terganggu dengan perasaan bercampur aduk yang melibatkan Rudi dan Raka, Lana sekarang bertekad untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan lagi waktunya untuk memikirkan berbagai perasaan dan masalah pribadi yang menghampirinya. Lana ingin m
Lana telah menciptakan suasana yang sempurna untuk malam itu, memilih gaun yang memancarkan keanggunan dan kepribadian yang kuat. Setiap detailnya diperhatikan, rambutnya diatur dengan indah, riasan wajahnya menyempurnakan penampilannya. Dia ingin menampilkan diri terbaiknya dalam pertemuan ini.Ketika tiba saatnya, Lana melangkah keluar dari kamarnya dan melihat sebuah mobil mewah yang sudah menunggunya. Pengemudi dengan santainya membuka pintu untuknya."Selamat malam, Nyonya," kata pengemudi dengan ramah saat Lana masuk ke dalam mobil.Lana tersenyum dan membalas salam. Selama perjalanan ke restoran, Lana merenung tentang Rudi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria itu akan mengatur malam yang begitu istimewa baginya. Lana yang telah mengenal Rudi selama hampir lima belas tahun belum pernah melihat sisi romantisnya seperti ini sebelumnya.Angin sepoi-sepoi menyibak rambut halus Lana saat dia turun dari mobil mewah itu. Sentuhan dinginnya membuatnya merinding meskipun gaun malamn
Dalam gemuruh malam yang sunyi, Lana melangkah gontai menuju kamarnya, langkahnya tidak lagi seindah ketika dia tiba di restoran tadi. Rasa hangat dari alkohol yang merasuki tubuhnya mulai memudar, digantikan oleh kekosongan hatinya yang dalam. Begitu pintu kamar terbuka, sinar tipis lampu di ruangan itu menyilaukan matanya yang lelah. Rudi telah tidur, lengkap dengan tatanan rambut cokelatnya yang kusut dan wajahnya yang damai saat dia tertidur.Sayangnya, damai bukanlah kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan Lana saat ini. Dia merasa terjebak dalam labirin emosionalnya sendiri, dan malam ini alkohol telah menjadi penyelamat sementara dari kenyataan yang sulit dia terima. Lana melihat bingkai foto pernikahan mereka yang selalu berada di meja nakasnya. Tatapan mereka dalam foto itu terlihat bahagia, ceria, dan penuh cinta. Pandangannya terpaku pada foto itu ketika senyuman mereka yang dulu begitu riang kini terasa seperti kenangan yang jauh.Dalam ledakan emosi, Lana me
Lana melangkah dengan penuh percaya diri menuju kantornya. Setelah seminggu berlalu sejak malam yang penuh gairah dan kasih sayang, kehidupan pernikahan Lana dan Rudi semakin membaik. Suasana hatinya jauh lebih cerah daripada sebelumnya, dan dia merasa seperti hubungan mereka akhirnya bisa dipulihkan.Ketika Lana tiba di kantor, ia merasa seperti ada atmosfer yang berbeda. Sejumlah wajah baru tampak sibuk di sekitarnya, dan beberapa karyawan baru tampak bersemangat menyambutnya. Lana tersenyum dan membalas sapaan beberapa karyawan yang menyapanya, merasa senang dengan semangat dan antusiasme mereka. Ia merasa bahwa semuanya berjalan dengan baik, hingga pandangannya tertuju pada seorang pria di tengah kerumunan, yang tampaknya menjadi pusat perhatian.Pria itu adalah Raka. Ia berdiri di tengah kumpulan karyawan baru, tersenyum cerah, dan terlihat sangat percaya diri. Pria itu tersenyum hangat ketika melihat Lana memasuki ruangan. Lana terdiam, dan hatinya berdegup lebih cepat. Lana te
Raka membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya yang lelah. Beberapa hari terakhir, ia telah bekerja keras, mengerjakan tugas-tugas yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan ia lakukan. Ia telah mengorbankan segala energinya untuk membuktikan diri kepada Lana, wanita yang memenuhi pikiran dan hatinya dengan kerumitan yang tak terbayangkan sebelumnya. Perasaan tergila-gila pada sosok wanita yang lebih dewasa, tegas, dan independen seperti Lana adalah hal baru bagi Raka. Ia lebih terbiasa dengan para wanita yang mendekatinya terlebih dahulu, bukannya sebaliknya.Wajah cantik Lana muncul di depan matanya, bahkan dalam keadaan separuh sadar seperti ini. Aroma harum parfum dari tubuh wanita itu menyelinap ke hidungnya, membuatnya semakin terhanyut dalam pesona Lana. Tanpa sadar, bibirnya membisikkan nama wanita itu dengan lemah."Lana..."Suara lembut Lana memecah keheningan. "Di luar hujan," katanya dengan nada penuh perhatian. "Kamu harus segera pulang dan beristirahat, Raka."Raka
Untuk sesaat Lana membiarkan Raka memeluknya, merasakan dekapan erat yang membuat hatinya berdebar kencang. Tubuhnya bergetar saat Raka melepaskan pelukan itu. "Lana," desah Raka, matanya masih memandang penuh hasrat.Lana berbalik, menatapnya dengan pandangan yang penuh kebingungan dan keragu-raguan. Raka merengkuh Lana lagi, mencium bibirnya dengan penuh gairah, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk berkata apa-apa. Lana mencoba mendorongnya lagi, tetapi Raka terlalu kuat dan tak terkendali. Bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mendalam dan membara.Sesaat, Lana merasa terhanyut dalam pesona Raka yang tiba-tiba menguasai seluruh dirinya. Panas dan dingin bergulir di tubuhnya, menciptakan sensasi yang tak terlupakan. Ia merasa lemah, tetapi di saat yang bersamaan, gairah meletup di dalam dirinya.Ciuman Raka sangat membara, bahkan lebih bergairah daripada ciumannya saat mereka berada di Paris. Sekejap kenangannya melayang pada saat-saat indah yang pernah mereka habiskan bersama
Raka merasa kehangatan tangan Lana yang lembut seakan-akan memberinya sedikit ketenangan di tengah-tengah kekacauan emosinya. Matanya yang tadinya penuh dengan kebingungan dan keputusasaan, kini mencoba mencari pengertian dalam sorot mata hangat Lana. Dia bisa merasakan denyut nadi yang berdetak cepat di telapak tangan wanita itu, seolah-olah merasakan getaran emosi yang sama di dalam hatinya.Lana duduk di samping tempat tidur, tetapi matanya masih terlihat ragu dan penuh pertanyaan. Dia membiarkan Raka menggenggam tangannya, tidak menghindar atau menariknya.Raka duduk dengan perlahan, mencoba mengusir rasa pusing yang masih mengganggunya. Dia melepaskan tangannya dari Lana dan memandang wajah wanita itu dengan ekspresi yang tampak bersalah."Maaf, Lana," katanya dengan suara lembut, penuh penyesalan. "Aku tidak seharusnya melampiaskan amarahku seperti tadi. Itu tidak adil untuk kamu. Aku... aku kehilangan kendali diri. Tapi aku tidak bermaksud menyakiti kamu."Raka menatapnya denga
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka