Untuk sesaat Lana membiarkan Raka memeluknya, merasakan dekapan erat yang membuat hatinya berdebar kencang. Tubuhnya bergetar saat Raka melepaskan pelukan itu. "Lana," desah Raka, matanya masih memandang penuh hasrat.Lana berbalik, menatapnya dengan pandangan yang penuh kebingungan dan keragu-raguan. Raka merengkuh Lana lagi, mencium bibirnya dengan penuh gairah, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk berkata apa-apa. Lana mencoba mendorongnya lagi, tetapi Raka terlalu kuat dan tak terkendali. Bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mendalam dan membara.Sesaat, Lana merasa terhanyut dalam pesona Raka yang tiba-tiba menguasai seluruh dirinya. Panas dan dingin bergulir di tubuhnya, menciptakan sensasi yang tak terlupakan. Ia merasa lemah, tetapi di saat yang bersamaan, gairah meletup di dalam dirinya.Ciuman Raka sangat membara, bahkan lebih bergairah daripada ciumannya saat mereka berada di Paris. Sekejap kenangannya melayang pada saat-saat indah yang pernah mereka habiskan bersama
Raka merasa kehangatan tangan Lana yang lembut seakan-akan memberinya sedikit ketenangan di tengah-tengah kekacauan emosinya. Matanya yang tadinya penuh dengan kebingungan dan keputusasaan, kini mencoba mencari pengertian dalam sorot mata hangat Lana. Dia bisa merasakan denyut nadi yang berdetak cepat di telapak tangan wanita itu, seolah-olah merasakan getaran emosi yang sama di dalam hatinya.Lana duduk di samping tempat tidur, tetapi matanya masih terlihat ragu dan penuh pertanyaan. Dia membiarkan Raka menggenggam tangannya, tidak menghindar atau menariknya.Raka duduk dengan perlahan, mencoba mengusir rasa pusing yang masih mengganggunya. Dia melepaskan tangannya dari Lana dan memandang wajah wanita itu dengan ekspresi yang tampak bersalah."Maaf, Lana," katanya dengan suara lembut, penuh penyesalan. "Aku tidak seharusnya melampiaskan amarahku seperti tadi. Itu tidak adil untuk kamu. Aku... aku kehilangan kendali diri. Tapi aku tidak bermaksud menyakiti kamu."Raka menatapnya denga
Lana melangkah keluar dari bangunan proyek hotel yang sedang dibangun, merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai. Proyek ini adalah salah satu yang cukup penting bagi perusahaannya, dan melihat perkembangannya membuatnya merasa yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar.Lana melangkah keluar dari bangunan proyek dan menuju tempat mobilnya terparkir. Sinar matahari menyinari wajahnya, dan angin sejuk membuatnya merasa lebih baik. Lana membuka pintu mobil dan duduk di dalam, bersiap untuk kembali ke kantor. Namun, ketika dia menyalakan mesin mobilnya dan berbalik untuk meninggalkan tempat itu, pandangannya tertangkap oleh sesuatu yang sangat tak terduga.Rudi baru saja keluar dari salah satu toko perhiasan yang terletak tidak jauh dari tempat ia berada. Dia tidak sendirian; di belakangnya terlihat Sandra, sekretarisnya yang cantik, yang mengikuti langkahnya. Mata Lana melebar dalam ketidakpercayaan saat dia memandang pemandangan itu. Lana tahu bahwa Rudi sedang melakukan
Lana duduk di ruangannya dengan fokus penuh pada pekerjaannya. Dia menandatangani beberapa dokumen yang sebelumnya tertunda dan menjawab beberapa email penting. Tak lama, Rudi masuk ke ruangan Lana dengan senyum yang manis, dan begitu bibirnya menyentuh bibir Lana dalam ciuman tiba-tiba, wanita itu langsung merasa terkejut. Lana membiarkan dirinya terbawa dalam momen kejutan itu, terkejut oleh kehangatan yang hilang dalam beberapa waktu belakangan.Ketika Rudi melepaskan ciumannya, Lana masih terengah-engah, mencoba mengembalikan nafasnya. Dia menyadari bahwa dia sudah merindukan keintiman seperti itu. “Kenapa nggak bilang kalau mau datang?” Rudi tersenyum dan mencubit perlahan hidung Lana. "Aku cuma mau kasih kamu kejutan, sayang. Sekalian aku mau bawa istriku yang cantik ini makan siang.” jawab Rudi dengan santainya.Lana merasa senang mendengar itu. Selama beberapa waktu terakhir, hubungan mereka terasa dingin dan tegang, dan sekarang Rudi kembali seperti dulu. "Terima kasih, Rud.
Lana merasakan detak jantungnya semakin cepat saat melihat jam di dashboard mobilnya menunjukkan waktu yang semakin mendekati acara ulang tahun ayah mertuanya. Jalanan Jakarta yang macet membuatnya semakin gelisah. Sudah sejak tadi Rudi menelponnya, menawarkan untuk menjemputnya, tetapi Lana memilih menolak. Pikirnya, jika Rudi harus mengambilnya, mereka berdua akan terlambat, membuat ayah mertuanya kecewa karena putra semata wayangnya terlambat dalam momen bersejarah ulang tahun yang ke-60.Ponselnya berdering lagi, menandakan panggilan dari Rudi. Dengan cepat, Lana mengangkat telepon."Hey, sayang. Kamu sudah sampai?" tanya Rudi dengan suara hangatnya."Belum, Rud. Aku masih stuck di jalan. Maaf, ini luar kendaliku," jawab Lana, mencoba menyembunyikan kecemasannya.“Apa acaranya sudah dimulai?” tanya Lana dengan sedikit cemas.“Papa masih menunggu kamu, belum mau mulai kalau menantunya belum datang. Tapi kamu tenang aja, aku akan kasih pengertian sama Papa,” balas Rudi.“Maaf ya, Ru
Setelah acara selesai, beberapa anggota keluarga Rudi masih berkumpul dan mengobrol bersama di ruang keluarga. “Katanya kemarin kalian liburan ke Paris. Masih belum ada kabar apa-apa?” tanya Liza sambil menatap ke arah Lana.Sementara, Lana hanya diam, ia sangat mengerti kemana arah pembicaraan Liza. Jika bukan karena Rudi, mungkin Lana sudah menyiramkan segelas jus di sampingnya ke arah wanita itu. Rasanya tingkat kesabaran Lana sudah habis, tapi ia tidak boleh tersulut emosi karena hubungannya dengan Rudi sudah membaik.“Belum, Tante. Masih usaha,” balas Lana dengan datar.“Bagaimana mau ada kabar kalau dia selalu sibuk bekerja. Mungkin di sana dia hanya melakukan perjalanan bisnis,” timpal Maya dengan sengit. “Cukup, Ma! Mau sampai kapan Mama menyerang Lana seperti ini?” bentak Rudi sambil menggebrak meja membuat semua orang terkejut, tak terkecuali Lana yang menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. “Sudah berani kamu membentak Mama?” kesal Maya sambil menatap Rudi dengan t
Ruang kerja Lana terasa sunyi setelah Lia menutup pintu, meninggalkannya dengan bayang-bayang masalah yang menghantuinya. Sejak rapat pagi, ketidaknyamanan dan keragu-raguan merajai pikirannya. Lana merasa pusing dan lelah, berusaha keras untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin ia mencoba mengusir bayangan tentang Rudi dan Sandra, semakin kuat pula mereka mendera benaknya.Sudah berjam-jam Lana duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputernya. Pikirannya melayang ke peristiwa-peristiwa yang membuat hatinya gelisah. Ia merasa seperti terperangkap dalam suatu masalah yang tidak tahu bagaimana caranya keluar.Ketika pintu ruangannya terbuka dengan pelan, Lana segera menoleh. Lia memasuki ruangan dengan ekspresi cemas, mencoba memahami keadaan bosnya. "Maaf, Bu. Saya sudah memberitahunya untuk tidak mengganggu Ibu, tapi...," ucap Lia dengan suara pelan.Lana mengangkat tangannya untuk menghentikan Lia sejenak. "Tidak apa-apa, Lia. Biarkan Raka masuk," kata Lana dengan sua
Lana duduk di ruangannya, fokus pada dokumen-dokumen yang tersebar di atas meja. Ia sedang sibuk memeriksa dan menjawab beberapa email yang masuk. Suasana kantornya begitu tenang sampai pintu terbuka dan Lia, sekretarisnya, memasuki ruangan sambil membawa amplop besar berwarna cokelat.Lana mengangkat pandangannya dari dokumen yang tersebar di atas meja saat Lia mendekatinya. Ia menempatkan amplop itu di atas meja Lana dengan cermat."Ada apa, Lia?" tanya Lana, suaranya tenang meskipun rasa penasaran terlihat di matanya.Lia menghampiri Lana, menatapnya dengan penuh kehati-hatian. "Maaf mengganggu, Bu Lana. Ada kiriman paket untuk Ibu dari seseorang, saya tidak tahu siapa yang mengirimnya karena paket itu sudah ada di meja saya saat saya tiba," jelas Lia seraya memperlihatkan amplop cokelat itu.Lana mengangguk, rasa penasaran muncul di wajahnya. "Terima kasih, Lia. Kamu bisa pergi sekarang."Setelah Lia pergi, ia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di atasnya terdapat tulisan "Untuk
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka