Bab 32Di dalam mimpinya, Kinanti berada di tempat yang gelap dan dingin. Suara langkah kaki mendekat, membuat bulu kuduknya meremang. Dia melihat sosok yang familiar, pamannya yang jahat, dengan tatapan yang penuh ancaman."Kinanti, kamu pikir bisa lari dariku? Aku akan membuatmu menderita seperti dulu. Hahahaha,” gelak tawa itu menambah takut rasa hati Kinanti. Pamannya mengeluarkan pisau dari balik jaketnya, dan Kinanti mundur dengan ketakutan, tapi kakinya terasa berat seperti ditahan oleh sesuatu. “Jangan, jangan sakiti aku. Jangan sakiti akuuuu.” Dengan mata terpejam Kinanti tetap mengigau, tapi pada akhirnya Brian membangunkan Kinanti dan langsung berkata, “Kinanti, apa yang terjadi padamu? Kinanti bangunlah, ini aku, Kinanti. Ini aku sayang.”Dengan lembut tangan Brian menyeka keringat dingin yang membasahi wajah Kinanti. “Kamu sedang bermimpi sayang, apa sesuatu ada yang mengganggu pikiranmu?”Perlahan tapi pasti Kinanti membuka mata, lalu dia menatap sosok Brian yang kini
Bab 33Indonesia, pusat perbelanjaan Sentral yang berada di kawasan milenial. Di tempat itu dihebohkan dengan berita kepulangan Brian dengan istrinya, seorang anak konglomerat ternama yang tinggal di pusat kota di salah satu kawasan terelit yang ada di Indonesia. Ada yang senang dengan kepulangan Brian dan ada juga yang takut dengan kepulangan Brian, serta banyak juga yang bersikap biasa saja. Namun, ada sepasang sosok mata yang sengaja menghentikan aktivitasnya setelah melihat sekilas wanita yang ada bersama dengan Brian. “Itu kan, Ki …..”Drttttt Belum sempat pria itu menyebut sebuah nama, sudah datang saja panggilan masuk ke ponselnya dari sang istri. “Pa, apa kamu melihatnya? Bukankah itu Kinanti? Atau aku salah lihat,” kata wanita dari balik telepon. Pria itu juga merasa yang sama, seperti melihat Kinanti atau hanya salah lihat, apalagi wanita itu langsung bersembunyi di belakang badan Brian. Membuatnya tidak bisa memastikan itu Kinanti atau tidak. “Pa, kenapa Papa diam sa
Bab 34Kejadian malam tadi di atas ranjang masih terngiang di ingatan Kinanti, tatkala Brian memberikan sentuhan kecil di badannya, dilanjutkan dengan gerakan Brian yang membuat Kinanti tidak mampu menolak. Apalagi Brian melakukannya dengan penuh perasaan. Kinanti sendiri sampai tidak sadar kalau dia sangat menikmati setiap sentuhan Brian di badannya, dan rasanya itu masih terbayang hingga kini. Apalagi rasa ngilu dari tengah selangkangan itu masih terasa oleh Kinanti. Dia tidak mampu membayangkan kalau Brian sesemangat itu memainkan tubuhnya.“Kamu kenapa Kinanti? Mereka semua sudah menunggumu, ayo Kinanti,” kata Brian yang terpaksa kembali datang ke kamar hanya untuk memanggil Kinanti. Kinanti mengangguk lalu ia berjalan ke arah Brian, tapi Brian merasa ada yang aneh dari cara berjalan Kinanti. “Apa kamu baik-baik saja, Kinanti?”Kinanti malu untuk mengatakan ini, tapi kalau dia tidak jujur yang ada Brian tidak akan berhenti mengkhawatirkan nya. “Sakit,” jawab Kinanti dengan mena
Bab 35Mendengar kata paman tidak hanya membuat Kinanti terkejut, melainkan takut. Dan sangking takutnya sampai Kinanti segera mungkin berjalan ke belakang badan Brian. Awalnya Brian pikir Kinanti mau apa, tapi sekali melihat mimik muka Kinanti membuat Brian paham kalau Kinanti sedang merasa takut. “Apa kamu tidak mau bertemu dengan pamanmu itu Kinanti?” Kinanti yang ditanyakan menggelengkan kepalanya, jangankan untuk bicara untuk ketemu saja Kinanti tidak mau. Brian menenangkan Kinanti dengan memegang tangan Kinanti, dilanjutkan dengan Brian yang menengadahkan kepala Kinanti yang tertunduk di hadapan Brian. Kinanti serasa seperti sedang menyembunyikan ketakutannya di hadapan Brian. “Baiklah, kamu di sini saja.”“Tapi Brian,” cegah Kinanti.Brian langsung menatap lekat ke Kinanti, dilanjutkan dengan Brian yang berkata, “Ada apalagi Kinanti?”“Brian, jangan bunuh pamanku. Aku memang belum siap bertemu dengannya, tapi aku mohon jangan bunuh pamanku Brian.” Brian tidak berkata apa
Bab 36Segera mungkin Kinanti bersembunyi di balik jendela kamarnya, setelah keberadaannya diketahui oleh bibi dan pamannya, dan kebetulan Marco juga sempat melihat Kinanti dari jendela kamarnya. Tidak ingin keduanya melampaui batas akhirnya Marco mengeluarkan suara garangnya. Dia gusar dan berkata, “Kalian pergi dari sini atau kalian aku laporkan ke polisi karena sudah membuat keributan di tempat orang ha?” “Tapi itu … Kinanti,” sang bibi menunjuk ke arah jendela kamar Kinanti. “Tidak ada disini keponakan kalian, sana kalian pergi!” Mendengar suara Marco yang marah-marah membuat Brian datang mendekat sambil berkata, “Mereka belum pergi juga Marco?” “Belum nih Brian, bandel amat keduanya.”“Ya sudah, pakai cara kekerasan aja. Kalau dibilang pelan gak bisa maka pakai cara kekerasan saja Marco. Mudahkan.” Brian berkata sambil dia yang sedikit menyingsing bajunya. Hingga memperlihatkan pistol di samping celana Brian. Marco juga ikut-ikutan, tapi bedanya Marco sengaja mengeluarkan pi
Bab 37“Kenapa sih Brian itu, tidak boleh banget Mama membawa kamu jalan Kinanti? Apa dia takut kalau Mama akan meninggalkanmu begitu saja Kinanti, tapi itu tidak akan mungkin kan? Bagaimanapun kamu itu menantu Mama, ya sudahlah Kinanti. Mendingan kita pulang sekarang,” wanita yang selalu glamor dalam berpakaian itu marah-marah, saat Brian memintanya segera membawa Kinanti pulang. Dan saat itu juga Martha membawa Kinanti pulang. “Padahal Mama baru belanja sedikit Kinanti, lain kali kita harus pergi ke Paris untuk berbelanja Kinanti. Nanti Mama akan membawamu ke langganan Mama yang di sana. Pokoknya kamu pasti suka Kinanti, lihat aja nanti,” sambung Martha yang mengajak Kinanti ngobrol, tapi Kinanti hanya menjawab dengan senyum dan sesekali mengiyakan ucapan Martha. Dia tidak begitu tertarik dengan tawaran dari mama mertuanya itu, sekalipun keluarga Brian benar-benar baik dan sangat menghormatinya sebagai anggota keluarga mereka. Hal yang tidak Kinanti dapatkan dari keluarga pamannya
Bab 38Pagi ini Kinanti merasakan sesuatu yang beda dari biasanya, dia tidak melihat para asisten pribadi yang ditugaskan untuk mengurus keperluan Kinanti, dan tidak itu saja. Saat sarapan pagi pun hanya ada kedua orang tua Brian, Marco, Brian dan tentunya Kinanti sendiri. Tidak seperti biasanya yang mana setiap sudut ruang makan itu ada asisten pribadi Brian yang berdiri menjaga keluarga Brian. “Apa Brian meliburkan semua pekerjanya? Tumben gak banyak yang mengawasi saat sarapan. Bukankah itu bagus? Aku kurang nyaman juga karena mereka, tapi tadi pagi juga begitu. Gak ada yang masuk ke kamar untuk mengantar keperluanku? Lagian aku bukan anak kecil yang harus dimanjakan tapi aku juga bisa melakukan semuanya. Kalau begini terus kan enak,” gumam Kinanti di dalam hatinya, dan tidak berselang lama Brian datang menghampiri Kinanti dan langsung mencium pipi Kinanti. Kinanti sontak terkejut dan langsung menoleh ke arah Brian. “Kamu memikirkan apa sih, sayang?” Kinanti menggelengkan kepa
Bab 39Kinanti benar-benar jengkel dibuatnya, dia hanya ingin pergi bertemu dengan teman lama, tapi yang ikut sangat banyak. Bagaimana caranya Kinanti bisa berbicara dengan teman lamanya kalau begitu? Pasti rasanya sangat tidak nyaman saat dilihat oleh banyak orang. Kinanti tidak bisa membayangkan dia yang tiba-tiba bertemu dengan teman lamanya tapi seisi kafe itu memperhatikannya dengan teman lamanya. “Oh my God, kalau begitu mendingan aku gak usah pergi aja.” “Ayo Nona,” kata sang supir, bukannya masuk ke dalam mobil justru Kinanti putar arah menuju arah dalam rumah. Hatinya langsung jengkel melihat pengawasan yang ekstra ketat padanya, hingga moodnya secara spontan langsung hilang. “Apaan sih si Brian? Bisa-bisanya dia meminta semua anak buahnya untuk mengawal ku, memangnya aku apaan. Anak presiden enggak kan? Aku bukan anak presiden dan aku bukan putri raja apalagi permaisuri. Tapi Brian sudah berlebihan padaku. Dia meminta semua anak buahnya mengawal ku. Mendingan aku gak usah
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d
**Bab 97**Malam telah menyelimuti kota ketika Marco mengantar Sarah ke hotel kecil yang aman. Setelah BabSetelah memastikan Sarah baik-baik saja dan sudah masuk ke dalam kamarnya, Marco merasa lega. Namun, rasa tanggung jawabnya memanggilnya kembali ke rumah Brian. Dia tahu ada hal yang lebih penting yang harus dihadapi—pabrik Brian yang terbakar. Dengan hati yang masih resah, Marco memacu mobilnya menuju rumah besar keluarga Brian.Sesampainya di sana, suasana terlihat tenang, jauh dari apa yang Marco bayangkan setelah mendengar kabar kebakaran pabrik. Biasanya, Brian akan sangat murka jika bisnisnya terganggu. Tapi malam ini, rumah itu dipenuhi kehangatan. Marco segera menuju ruang kerja Brian, merasa tak nyaman dengan situasi yang terkesan aneh.Ketika dia membuka pintu, Brian duduk di kursi besar di belakang meja, tampak tenang dan bahkan tersenyum sedikit. "Brian..." Marco memulai dengan nada hati-hati, "Aku baru dengar soal pabrik... Aku minta maaf, aku baru kembali dan terla